Senja, pukul 17.35, waktu kamu sms
Kamu : Do, ni hari aku ultah... blh g aQ minta hadiah dari kamu
Aku : boleh... apa...? jangan yang mahal ya...
Kamu : g, ni g pake duit kok...
Aku : klo gitu apa dong...? kompie km ngadat ya?
Kamu : bukan, pokokNya Ada dech...
Aku : trs apA dong, masa km minta hadiAh DaRi aQ tp km G mo KasiH tau minTa apa?
Kamu : Kamu datang aja ke kosku ntAr malam Ya... nNt br Aku Ksh Tau km Apa.
AkU : yach,... Ntar Mlam aq g bisa,...
Kamu : keNApa...? Mo ke Cewek km ya...?
Aku : g, aq jaGa ntar malam
kamu : sAmPe jam BerapA..?
Aku : sampe Jam 11.
Kamu : kLo gitu Km Datang aJa jam 11 ke kos..
AKu : mang gpp aQ ke Kos Km tengah malam gt...?
Kamu : GpP, gak ada larangAn berkunjung kok,... datanG ya, aQ tgg ya.
Aku : ya DeCh, aQ usahain ya...
Kamu : PokokNya Harus datang abis jaga, Q gak peduli mo jam berapa km DaTanG.
"HARUS DATANG". Da....a..
Aku : (diam)
**** D****
Kupang, tengah malam, di kos kamu.
Tiba dengan lelah, tubuh malasku menjilati ranjangmu, sekedar renggangkan otot-otot yang kejang setelah seharian mengais rupiah.
Kamu, berdiri disitu, bersandar, dipintu yang tertutup, lembarannya dari triplex tua yang sudah mulai keropos. Menatapku, dalam diam...
"orang baru sampe buat kopi kek apa kek..." aku, coba bercanda.
"Do, lo tahu gak?"
"Ia, lo mo minta hadiah ultah kan? Dah tau kok, lu mo minta apa? Jangan yang macam-macam, aku lagi kere."
"Aku gak minta macam-macam kok, cuma satu macam" kamu tersenyum dengan candamu yang dingin. Aku tersentak, bukan oleh candamu. Senyummu. Astaga, senyummu menggetarkan imanku dalam kamar yang hanya kita berdua.
"trus apa dong?" jarak kita hampir dua meter, dan mata lelahku mulai menjangkau matamu dalam tatapku yang samar diterangi lampu 45 watt. Mata itu. Akh... Telaga bening yang selalu kurindukan dalam hari-hariku dulu, ketika aku begitu mencintaimu. Cahaya dari mata itu yang selalu membuat tidur malamku tak pernah nyenyak. Itu dulu, ketika akhirnya kamu pergi untuk menuntut ilmu di java sebelum aku sempat berkata tentang cintaku padamu. Berwaktu-waktu setelah kepergianmu aku disini memeluk rindu hanya dalam bayang rapuh. Gelap. Aku bahkan tak mampu meraba. Lalu aku jatuh cinta pada orang lain dan cahaya dari matamu mulai kulupakan perlahan demi perlahan hingga akhirnya aku tak ingat apapun tentang matamu, senyummu, cinta dan kerinduanku padamu...
"Do, aku selalu ingat kamu kalo lagi lihat purnama." Tubuh malasku langsung bergerak duduk diranjang besar milikmu. Ingat aku? Sesuatu yang tak pernah kusangka. Aku bahkan selalu berpikir bahwa kamu tak akan pernah ingat aku lagi. Dan mengingatmu saat purnama adalah Sesuatu yang tak pernah aku lakukan setelah beberapa bulan tak bersamamu... Apalagi setelah kepergianmu, aku disini selalu dipeluk cinta yang hangat, yang benar-benar memanjakanku, walau pun pada akhirnya aku hancur karena cinta itu.
Aku mulai gugup. Buku usang yang sudah sempat terbuang itu kini ada dihadapanku, dan lembar demi lembar kenangan yang kita tulis bersama mulai terbuka secara otomatis dari file benakku. Aku, yang dulu begitu mengagumi dan mencintaimu, aku yang sekarang telah melupakan semua tentang kita dulu. Dan sekarang, kamu sendiri yang mengundang aku untuk mengingat semua memory yang telah terkubur itu. Dan aku...
"Mang apa hubungannya purnama sama ultah lo?" Aku sengaja lupa bahwa kita dulu pernah bersama dibawah bias purnama, menikmati purnama itu hingga larut malam, kemudian mengumpamakan diri sebagai bintang dan bulan dengan mengalihkan pembicaraan, kembali ke topik kenapa aku datang ke kos kamu.
"Menurut kamu wajar gak cewek ngungkapin perasaannya ke cowok?" Kamu tak bergeming, pengalihan topik gagal.
"Ya wajarlah, sekarang kan jaman modern, orang-orang dah pada modern dengan pikiran yang modern, picik tu orang klo bilang pamali cewek nembak cowok."
”Aku sudah nunggu lama Do, lama banget, aku pernah ngerasa gimana yang namanya bosen nunggu. Tapi aku tetap nunggu. Aku tau disaat aku menunggu, ada resiko dimana aku harus sakit melihat orang yang aku tunggu bertengger di bunga yang lain. Aku tau Do, aku tau bunga itu beracun untuk orang yang aku cintai, tapi aku gak bisa ngelarang dia untuk terus hinggap dibunga itu.”
“Kamu ngomong apa sih dari tadi, kamu panggil aku buat minta hadiah ultah ato apa?” Gugup, gagap, bingung mulai berperang dalam benak. Gak ngerti sebenarnya yang terjadi.
“Bunga itu sudah mengangkatnya terlalu tinggi dari tempat yang tak bisa lagi ku jangkau dari tempatku berpijak, tapi pada akhirnya menjatuhkannya kedasar yang aku juga tak bisa mengangkatnya.” Kamu menarik napas. Sepertinya terasa berat bebanmu. Aku memilih diam, membiarkanmu menghabiskan sisa cerita.
“Aku ikut sakit, aku ikut terluka ketika dia terkapar tak berdaya karena racun dari bunga itu. Aku menangis ketika dia menangis. Aku bahkan ingin sekali membelainya dan menenangkannya, tapi bahkan aku tak sanggup lagi mendekatinya…” Sejenak kamu terdiam. Tapi tatapmu tak melepaskan mataku. “Ketika dia berada dalam kehancuran dan membutuhkan semangat untuk bangkit, aku ingin ada disana menyemangatinya. Ketika dia membutuhkan seorang teman, aku ingin ada disana menemaninya. Ketika dia membutuhkan air karena dahaganya, aku ingin sekali menjadi mata air baginya. Tapi Do, lagi-lagi aku tak bisa mendekatinya. Dia telah masuk kedunia lain setelah kehancurannya. Dunia yang dia pikir bisa membuatnya jauh dari hiruk pikuk cinta. Padahal justru disitu dia menghancurkan dirinya sendiri. Aku yang tak bisa mendekatinya lagi berusaha sebisa mungkin agar dia jauh dari dunia itu, kudekati sahabat-sahabat terbaiknya untuk menyadarkannya. Kukirimkan doa untuk kesembuhan hatinya dalam setiap waktuku. Hingga akhirnya kemarin aku temukan dia telah berada pada jalan yang seharusnya, walau aku tau, terkadang dia masih bersenggolan dengan masa lalunya.” Sekali lagi ku lihat kau menarik napas panjang. Masih berat.
“Aku sangat mencintainya dari semua yang pernah kucintai, tak ada perumpamaan yang dapat mewakili rasaku. Semua kata bahkan serasa tak punya makna.” Kamu memandangku sambil berjalan kesisi ranjang.
“Do, kamu bisa kan Bantu aku untuk bilang padanya bahwa aku sangat mencintainya?”
Aku menelan ludah, pahit. Kutekan rasa gugupku, kutekan gemetar hatiku.
“Do, kamu bisa kan? Ini hadiah ultah yang kuminta dari kamu. Plez…”
kamu memohon. Ada bening mengalir dari telaga indah milikmu.
Aku masih diam, menatap telaga bening milikmu hingga kedalam dasar, kutemukan disana sepotong hati yang sangat berharap. Sepotong hati yang dulu sangat kuharapkan, kini mengharapkan aku menyampaikan cintanya pada seseorang yang entah siapa.
Jelas aku terkejut. Jelas ada rasa enggan jika aku yang harus menyampaikan. Jelas, sangat jelas lubuk hatiku tak akan rela kamu bersama orang lain.
Aku yang ini, yang ada dihadapanmu sekaranglah yang mencintaimu dengan segenap hati. Walaupun itu dulu. Walaupun pada akhirnya rasa itu sudah mati. Tapi sekarang, setelah semua yang baru kamu ceritakan, tiba-tiba rasa itu kembali tumbuh entah dari mana datangnya lagi. Aku ingin kamu mencintaiku saja. Bukan orang lain.
Aku tercipta bukan untuk menjadi mak comblang bagimu. Aku diciptakan untuk mencintai dan memilikimu. Tapi kenapa sekarang kamu mengundang aku untuk membuat luka diatas rasaku sendiri?
“Do, kamu bisa kan?” airmata tiba-tiba mengalir deras. Sebegitu besarkah cinta yang kau pendam sekian lama hingga harus tertumpah airmatamu. Kenapa harus kamu memohon padaku dengan airmata? Tidak tahukah kamu jika melihatnya aku luruh dalam segala?
Oh tidak… jangan paksa aku melakukan hal menyakitkan ini. Plez… aku tak sanggup. Tak adakah hadiah lain yang bisa membuat kita sama-sama merasa bahagia?
Kamu masih terisak menatapku. Dalam memohonmu. Dan masih dikedalaman telagamu yang membanjir, memang kutemukan sesuatu yang sangat jujur disana berbicara. Seolah itu dari dasar nurani.
Terasa berat saat kepala ini akan terangguk setuju. Kerongkonganku bagai disumbati sebongkah batu “aku harus bilang ke siapa, **?” akhirnya dengan suara yang kupaksakan keluar juga.
Masih dalam tangis kamu tersenyum mendengarku.
“kamu benar mau bilang ke dia Do?” kenapa harus ditanya lagi? Akh… langsung bilang kenapa? Aku kembali mencoba mengangguk.
Lalu tanpa sepatah kata kamu bangkit dan menarikku turun dari ranjang itu. Berdiri. Sesaat aku tertegun. Bertanya. Apa yang akan terjadi lagi?
Kamu tepat didepanku. Menatapku dalam diam yang panjang, mungkin mencari kesungguhan dari mataku atas jawaban yang kuberikan. Tapi akh... Jangan menatap aku seperti itu. Kamu tahu kan aku tak pernah bisa menatap mata itu lebih dari sepersekian detik.
Tanganmu tiba-tiba menggengam erat tanganku yang gemetar dan berkeringat dan menuntun untuk memegang pinggangmu, dan tanganmu kau tempatkan persis di kedua bahuku. Hhhhhh… aku pernah memimpikan ini dulu terjadi. Tapi itu tidak lagi berlaku sekarang saat kamu ternyata sangat mengidamkan seseorang yang bukan aku. Dan kini, kita nyaris tak berjarak, hanya terpisah mungkin sesenti, setelah dulu samudra pernah memisahkan kita dan harapanku padamu.
Aroma tubuh dan napasmu menyenggol indra penciumanku, merasuk hingga ke kedalaman paru-paru, lalu berlabuh dihati. Ada kebahagiaan yang tersangat. Tapi aku sadar bahwa itu hanya sebentar. Karena sesaat lagi pelukan ini akan segera lepas dan aku kembali tersakiti. Aku sudah tak kuat lagi. Aku ingin segera melepaskan, lalu pergi sejauh mungkin dari tubuhmu. Tapi tiba-tiba, saat aku tak sanggup menatapmu dan pandangku menerawang langit kamarmu, cup… sesuatu yang dingin menyentuh bibirku. Kecupanmu. Aku tersentak. Tak menyangka. Senjata macam apalagi yang kau pakai meremukan aku untuk menyampaikan pesan cintamu? Aku memandangmu, masih tak percaya kau baru menciumku. Tapi kamu tersenyum seolah penuh kemenangan.
“Do, orang itu adalah kamu.” Lagi-lagi kau buat aku terbelalak. Untungnya dokter tak pernah mendiagnosa aku ada penyakit jantung. Lalu satu kecupan darimu kembali mendarat. Lagi, dan lagi, dan aku masih tak percaya semua itu. Kucoba mencubit lenganku. Sakit. Berarti bukan mimpi. Lalu pelukanmu makin erat diantara kebingunganku.
"**, ni bukan mimpi kan?" aku bertanya diantara rasa tak percaya. Kamu tersenyum dan menganguk meyakinkanku.
“**, are u sure?” Tanyaku lagi meyakinkan hati.
“ya, ini hadiah ultah yang aku minta dari kamu Do, cinta kamu… aku tau kita sudah lama saling mencintai. Tapi aku tau kamu gak akan pernah bisa bilang karena aku tau seperti apa kamu. Kamu terlalu malu untuk bilang perasaan kamu. Kamu terlalu lama membiarkan rasa cintamu menyiksa diri kamu. Aku selalu menunggu kamu Do, tiap hari, tiap detik. Tapi aku sadar bahwa penantianku akan sia-sia kalo bukan aku yang mengambil inisiatif untuk ngomong duluan.” Dan lagi-lagi… cup… ciumanmu kali ini kusambut tanpa ragu. Dan…
"Kamu mau kan menjadi bintang untukku?" Aku mengangguk pasti. Siapa Takut...???
"**, aku sudah mencoba untuk lupa bahwa aku pernah bermimpi menjadi bintang untukmu. Aku bahkan sudah membunuh harapanku untuk bisa bersama denganmu. Dan sekarang, hadiah ultah yang kamu minta ini sebenarnya bukan aku yang memberikan untuk kamu, tapi kamulah yang sudah memberinya untuk aku." Pelukanmu makin erat, sambil kepalamu bersandar didadaku.
"Thanks **, ini hari yang gak akan aku lupakan dihidupku." Ku ucapkan terima kasih yang tulus, yang tak pernah terucap dari bibir ini sebelumnya.
Masih ada bening mengalir dari telaga indah milikmu. Tapi aku tau, itu berasal dari kebahagiaan hari ini.
Bukan hanya hari ini dan esok aku ingin menjadi bintang untukmu **, tapi aku ingin selamanya menjadi bintang dihatimu. Agar selamanya aku bisa memelukmu, entah itu saat mendung, hujan, panas, kelaparan, entah itu dalam saat apapun, aku ingin terus bersamamu selamanya.
Siapa sih yang mo nolak klo cinta datang dengan tangan terbuka?
Lagian kan dah Lama pacaran dengan someone tapi kayak still jomlo...
So... hari gini... Jomlo.... Cape DeH....!!!
Thanks God… cinta yang kucari selama ini telah kembali.
“Terkadang Tuhan terlebih dahulu memberikan orang yang salah untuk kita cintai, baru sesudah itu memberikan orang yang benar. Sehingga ketika hal itu terjadi kita akan sangat bersyukur.”
dedicated to my master DW
Kita punya cerita yang hampir sama boss... but BetHa agak happY Ending...