Ijinkan Hati Bicara...: Desember 2013 google-site-verification: google642dcb3a3836b309.html

30 Des 2013

Budaya di Atas Kepala Kita

Perkembangan teknologi dewasa ini berhasil mengajak orang untuk tidak lagi harus berpikir susah-susah tentang apa yang harus dilakukan. Hal-hal praktis yang dulunya rumit menjadi instan. Apa yang dulunya hanya bisa dinikmati orang kaya, kini bisa juga dinikmati bahkan mungkin oleh orang paling miskin menurut catatan statistik.
Teknologi baru memang diciptakan untuk membuat hidup manusia menjadi lebih mudah. Tetapi kreatifitas para ahli dengan beberapa inovasi teknologi justru menjerumuskan generasi berikutnya menjadi tidak lagi produktif sebagai orang kreatif juga komunikasi face to face menjadi sesuatu yang tidak lagi penting.
Jika dulu seorang anak kecil dengan segala upaya menciptakan mainannya sendiri dari bahan yang bisa ia temukan di alam, kini kita lebih banyak menemukan banyak anak kecil yang merengek di toko atau mall untuk sebuah mainan mahal yang rusak setiba di rumah. Jabat tangan dari rumah ke rumah ketika natal kini berganti dengan sepotong SMS yang dirasa sudah cukup sebagai bagian dari silaturahmi.
Banyak pakar memiliki pendapat yang bertolak belakang tentang teknologi baru yang muncul akhir-akhir ini. Games di smartphone oleh beberapa ahli diklaim mampu meningkatkan kreatifitas anak. Namun, ada ahli lain yang berpendapat bahwa games tersebut membuat anak menjadi malas belajar dan menurunkan minatnya terhadap hal yang lain. Meski secara empiris belum ada kejadian yang membuktikan pendapat pertama, tapi pendapat kedua adalah fakta yang tidak bisa dibantah.
Selain berdampak pada perkembangan anak, teknologi juga secara perlahan meruntuhkan kekekalan sebuah tradisi yang telah dijalani manusia dari abad ke abad. Budaya komunikasi yang terjalin dalam pertemuan fisik perlahan sirna seiring berkembangnya media komunikasi seluler. Misalnya tradisi “okomama” orang Timor yang mulai ditinggalkan berganti dengan undangan via telepon atau SMS.
Okomama dalam budaya Timor adalah silahturahmi antar keluarga. Biasanya Okomama dipersembahkan sebagai undangan dari keluarga yang satu kepada keluarga yang lain untuk menghadiri acara atau pesta yang dibuat oleh keluarga yang mengantar okomama. Secara fisik, okomama adalah tempat sirih dan pinang yang dianyam dari daun lontar dengan corak tradisional Timor. Di dalamnya akan diisi dengan sirih dan pinang yang dalam perkembangan selanjutnya diisi dengan sejumlah uang. Semakin tinggi nilai uang dalam okomama, semakin penting arti kehadiran orang yang diundang tersebut dalam acara yang akan dimaksud. Okomama biasanya dibawa oleh tokoh adat atau utusan adat dari keluarga yang mengutus. Orang yang diutus tidak sembarangan. Dia harus menguasai pantun atau syair orang timor yang harus dikatakan ketika menyampaikan undangan.
Okomama tidak hanya berlaku untuk pesta tetapi juga ketika seseorang meninggal. Keluarga jauh atau tokoh adat yang memiliki pengaruh langsung terhadap yang meninggal harus diundang secara adat dengan okomama untuk melayat. Tanda bahwa yang bersangkutan akan memenuhi undangan adalah dengan diambilnya isi dalam okomama. Jika tidak diambil, maka yang diundang berkeberatan untuk hadir dengan alasan-alasan tertentu.
Kisah okomama kini hanya menjadi nostalgia budaya. Dan sekali lagi perkembangan teknologi komunikasi menjadi kambing hitam dari hilangnya tradisi ini.
Selain okomama, permainan tradisional anak-anak kini tak berbekas. Tidak ada lagi anak meluncur dengan pelepah pisang ketika musim hujan tiba. Di kota besar bahkan tidak lagi kita temukan anak kecil bermain mobil-mobilan dari bahan-bahan alam maupun bahan daur ulang. Jika dulu anak-anak berlomba membuat petasan dari bahan daur ulang yang bisa dipakai berkali-kali, kini orang tua harus menyediakan budget khusus menjelang natal untuk membeli petasan mahal yang tidak berbekas dalam sekali ledak. Jika dulu mobil-mobilan dari kayu yang bisa diperbaiki ketika rusak, kini sudah berganti barang plastik berbahaya tanpa garansi bisa diperbaiki apabila rusak.
Contoh-contoh di atas hanya segelintir masa lalu yang makin jarang ditemukan di Kota Kupang. Salah satu lagi yang kemungkinan akan hilang ketika hari natal tiba adalah kebiasaan warga kota ini mengunjungi rumah ke rumah tetangga dan keluarganya untuk merayakan natal bersama. Hidangan minuman dan kue khas natal yang disajikan biasanya akan diikuti cerita penuh gelak tawa yang menambah keakraban hingga cerita-cerita inspiratif yang mengilhami orang lain untuk membuat hal yang lebih baik setelah natal berakhir dan tahun berganti. Kebersamaan setahun sekali ini kian langka dilakukan. Hidangan natal akhirnya hanya menjadi santapan bagi keluarga dalam rumah itu sendiri dan bertoples-toples kue tetap penuh hingga tahun berganti.
Jabat tangan natal kini bisa dilakukan di jalan-jalan, warung makan, kantor, mall, atau di mana pun ketika tanpa sengaja sesama kita bertemu di sana. Itu pun hanya sekedar basa-basi sambil menunggu waktu untuk urusan yang lain selesai dilakukan. Natal yang hangat di bulan desember kian mendingin. Hidup individualis telah menggantikan solidaritas natal. Kesibukan individu menjadi hakikat tunggal sementara kesibukan bersama kala natal tidak lagi menjadi nostalgia kebersamaan.
Pohon natal yang kreatif di gereja-gereja tidak lagi dirakit dari tangan terampil para pemudanya. Kewajiban majelis di gerejalah yang dengan telaten merangkai pohon natal yang dibeli di toko. Sekali lagi, kewajiban. Bukan panggilan nurani yang digugah untuk membuat natal kian bermakna.
Teknologi memang mampu menyediakan pohon natal yang indah tapi tidak kreatif. Gereja-gereja besar dengan dukungan jemaat kaya raya berlomba-lomba membeli pohon natal terbaik. Pemudanya didorong menciptakan pohon natal tertinggi. Sayangnya, inisiatif ini lahir karena ingin menonjolkan diri sebagai yang terbaik, bukan untuk menciptakan natal yang bisa mengajak semua orang merenungi dirinya.
Tradisi baru hari natal yang hanya memamerkan kekuatan telah meninggalkan kesederhanaan yang lahir bersama Yesus. Gemerlap pakaian baru di hari natal mengalahkan lampin yang membungkus sang bayi natal. Kemilau perhiasan mengalahkan cahaya tulus persembahan para gembala yang hanya membawa emas, kemenyan dan mur. Kemegahan gedung gereja nan hangat diagungkan melebihi dinginnya kandang tempat Yesus dilahirkan. Sementara di hati para janda, balu, yatim piatu, Yesus masih terbaring di sana sebagai bayi natal yang agung itu. IA kedinginan di sana, tanpa satu orangpun yang peduli. Merekalah yang setiap minggu selalu memberikan persembahan terbaik meski dihargai dengan diakonia yang tidak berarti jika diberi nilai.
Melihat hal yang jamak ini, pantaslah jika sang penyair dari Libanon menulis “Yesus tidak lahir untuk membangun kuil yang megah di dunia tapi untuk membangun bait yang agung dalam hati kita.” Gibran menuliskan keprihatinannya yang mendalam melihat gereja dan jemaatnya pada masa itu yang lebih mengagungkan kemewahan fisik daripada hati. Jika Gibran masih hidup hingga saat ini, mungkin ia juga akan menulis dengan penuh kesedihan bagaimana kita lebih mengagungkan apa yang kita pamerkan dari kemampuan kita menguasai teknologi tingkat tinggi dan bukan setinggi-tingginya keagungan natal.
Namun, sesungguhnya mengkambinghitamkan teknologi bukanlah hal yang bijaksana. Tidak ada ahli yang berpikir untuk menghancurkan budaya suatu bangsa ketika ia mulai merekayasa sebuah teknologi baru. Kesalahan terbesar adalah manusia itu sendiri yang menjadi konsumtif terhadap teknologi baru lantas mendewakannya dan meninggalkan nilai atau filosofi budayanya.
Bangsa yang kuat tradisi kebudayaannya tidak akan mudah terjerembab oleh kuatnya arus luar yang datang menerpa dari segala sudut. Justru terpaan itu menciptakan kekuatan baru untuk menunjukan eksistensi budayanya ke dunia yang lebih luas. Maka yang harus dipikirkan setelah ini bukanlah bagaimana menciptakan generasi yang menjunjung tinggi teknologi di atas kepalanya, tapi menjadikan teknologi sebagai pondasi baru yang menopang nilai-nilai budaya di atas kepala masing-masing. @dodydoohan

Artikel ini sudah dimuat di Harian Umum Victory News




Share

4 Des 2013

Gengsi Negara Tak Mampu

Di pertengahan tahun 2005, tiba-tiba mata media nasional dan lokal tertuju ke Desa Bena, kecamatan Amanuban Selatan. Di sana ada sebuah panti rawat gizi yg merawat balita gizi buruk akut. Adalah Metro TV yg pada waktu itu menjadi televisi pertama yg mewartakan kasus gizi buruk di Amanuban Selatan ini. Bagai Kebakaran jenggot, Bupati TTS waktu itu dijabat oleh Daniel Banunaek langsung menelpon Camat Amanuban Selatan. Beberapa saat kemudian, Panti Rawat Gizi yang saat itu sedang merawat 9 Anak yang terkena Marasmus Kwasiorkor dipenuhi camat dan jajarannya. Staff CARE yang bertugas saat itu ditanyai banyak hal, sampai sang camat menuding staff CARE International telah membuat sensasi dengan berita yang sudah tersebar. Para staff ini kemudian diancam untuk tidak boleh memberikan informasi apa pun untuk wartawan.

Sebelumnya, Panti Rawat Gizi atau istilah kerennya waktu itu Theurapic Feeding Center (TFC) diresmikan ini oleh Duta Besar Amerika Serikat pada tahun 2003. Pengresmian ini dihadiri juga bupati TTS Willem Nope yang beberapa saat kemudian digantikan oleh Daniel Banunaek.

Hebohnya berita kasus gizi buruk waktu itu tentu saja mengundang banyak media untuk turun melihat realitas yang ada. Media tidak hanya memberitakan kejadian anak gizi buruk di TFC, tapi juga yang tersebar dan dirawat di pusat-pusat rehabilitasi yang dibuat oleh CARE International di tingkat Posyandu yang disebut Community Feeding Center (CFC). Ribuan Balita pada saat itu diberitakan mengalami gizi buruk akut. Selain Marasmus, Pneunomia juga menjadi salah satu penyakit yang selalu turut serta dibawa dalam kasus gizi buruk ini.

Media lokal dan nasional memberitakan dan menganggap kejadian gizi buruk di Amanuban Selatan sebagai KLB, tapi tentu saja, penyangkalan dari Bupati dan staffnya menarik perhatian Frans Lebu Raya yang pada waktu itu baru menjabat sebagai Gubernur NTT.

Dalam sebuah kunjungan ke Kecamatan Kualin, Gubernur NTT singgah beberapa saat di TFC Panite untuk melihat keadaan yang sebenarnya. Tidak ada kata lain saat itu dari beliau, selain bahwa akan disediakan dana dari APBD untuk mengantisipasi kasus ini lebih meluas.

Setelah kepulangan Gubernur NTT, beberapa hari kemudian berendus kabar bahwa TFC Panite akan diambil alih oleh Pemda TTS, dan perawatan seluruh anak gizi buruk akan menjadi tanggung jawab pemda.

Ternyata benar, tidak lebih dari sebulan, di pertengahan september 2005, seluruh aset CARE yang ada di TFC Panite diserahkan kepada Pemda untuk dikelola. Staff CARE yang bertugas di tempat tersebut dipindahkan ke divisi atau kabupaten yang lain untuk menangani hal yang sama.

Total asset yang diserahkan dari CARE ke Pemda TTS pada waktu itu bernilai ratusan juta rupiah. Susu, minyak, beras, sampai tempat tidur dan gedung TFC itu sendiri. Puskesmas Panite ditunjuk menjadi pengelolanya.

Sayang sekali, sebulan kemudian, TFC tersebut tidak lagi merawat pasien. Alasan ketiadaan biaya operasional dan tidak ada lagi pasien gizi buruk di Amanuban Selatan menyebabkan gedung TFC tersebut terlantar.

Di bulan desember, iseng-iseng saya melongok isi dalam gedung tersebut. Kosong. Tidak ada lagi 15 tempat tidur lengkap dengan spon lembutnya. Tidak ada lagi kulkas. Tidak ada lagi Lemari-lemari lain dan lemari obat, alat masak dan lain-lain. Entah ke mana berton-ton susu dan minyak goreng, kacang hijau, dll.

Hingga saat ini, gedung TFC tersebut masih berdiri kokoh berdampingan dengan Puskesmas Panite. Kosong, tanpa penghuni. Sementara dari tahun ke tahun, Dinas Kesehatan Kabupaten TTS terus merelease data gizi buruk yang angkanya tak pernah turun dari ribuan kasus. @dodydoohan




Share

Penyangkalan Kemiskinan NTT

Kemarin, setelah keluar dari ATM di ujung Ruko Oebobo, seorang anak laki-laki berusia 9 tahun dengan adiknya yg berusia 3 tahun menghampiri saya lalu menadahkan tangan sambil berkata “oom, minta uang do, kita belom makan…” 

Saya kaget dan marah. Keduanya berpakaian sangat kotor di mata saya. Ingus si balita tampak mengalir panjang di bawah hidung. Area sekitar hidungnya juga tampak hitam oleh ingus yg mengering karna diseka dengan terpaksa. 

Saya lalu bertanya di mana orangtuanya dan alasan mereka menjadi peminta di situ. Setelah itu mengantar mereka pulang ke rumah mereka di belakang pasar oebobo. Rumah mereka terbuat dari dinding bebak beratap seng dan terlihat sudah tua termakan hujan dan panas, dekat dengan sebuah kantor LSM Lokal yg cukup punya nama di kota kupang. Tidak ada orangtuanya di rumah itu. Dari cerita tetangganya, saya tau bahwa ibu anak-anak itu berjualan sayur di pasar oebobo dan bapaknya di pasar oeba. Mereka bersekolah di SD Bertingkat Oebobo. Setiap pulang sekolah, mereka selalu bermain di pasar tempat ibunya berjualan. Entah siapa yg menyuruh mereka jadi pengemis.

Saya lalu meminta tolong kepada ibu tetangga itu memberi maka anak-anak itu. Setelah melihat mereka makan, saya pulang tanpa memberi mereka uang. 

Beberapa hari lalu, ketika sedang makan di sebuah warung di daerah oebufu, saya juga dihampiri anak kecil yg meminta uang kepada saya dengan alasan belum makan. Karena tidak ingin memberi dia uang, saya mengajak dia makan. Tetapi anak yg mengaku lapar ini menolak dan memilih pergi.
Diperempatan lampu merah kantor gubernur dan juga patung kirab, ada banyak anak kecil menjadi penjual koran. Gaya menjual mereka yg kadang memelas membuat kita kadang tak sampai hati dan membeli koran mereka. Mereka bahkan berjualan sampai malam di tempat itu.

Saya membayangkan eksploitasi berlebihan dilakukan terhadap anak-anak ini. Eksploitasi di depan mata dan hidup kita sehari-hari tapi tak pernah kita hiraukan. Saya heran jika ada yg berkata bahwa di kota ini tidak ada pengemis. Adakah mereka pernah melintas di tempat-tempat yg saya sebutkan di atas ataukah kaca jendela mobil mereka terlalu hitam utk melihat ke samping sepanjang perjalanan mereka? 

Saya heran ketika ada yg menyebut kemiskinan kita telah dieksploitasi utk kepentigan corporate tertentu tanpa melihat realitas. Saya kuatir kita terlalu banyak menggunakan angan-angan lantas membungkam fakta yg sedang menari-nari di hadapan kita. Saya kuatir kita terjebak dalam fanatik egosentrisme sehingga tidak lagi melihat jauh ke luar jendela. Saya kuatir kita tidak menggunakan hati nurani utk menggugah diri kita sendiri ketika kita berupaya menggugat orang lain. Saya kuatir kita hanya melihat emas di ujung tugu monas tanpa sadar bahwa di mata kita melintang balok hitam. 

Saya percaya bahwa perubahan besar dimulai dari kelompok kecil. Saya percaya utk tidak melihat masalah hanya dari satu sisi. Saya percaya bahwa kekuatan mimpi mampu merubah diri saya jauh lebih baik dari saat kemarin dan hari ini. Saya percaya bahwa dlm diri seorang terdapat kekuatan luar biasa. Saya percaya bahwa kita harus kritis, kritis dengan nilai yg melihat isi gelas setengah penuh dan akan diisi penuh, bukan gelas setengah kosong yg akan menjadi kosong. Saya percaya bahwa kreatifitas lahir dari dalam jiwa terdalam seseorang, jika kita memberi apresiasi, bukan tidak mungkin itulah awal masa depan yg lebih baik. 

Saya pernah mengalami, rasa malu terhadap diri dan keadaan membuat saya bangkit, tetapi kemarahan menjerumuskan saya jauh lebih ke dalam jurang kekelaman. @dodydoohan




Share

3 Des 2013

Teknik Pemicuan Mengatasi Kemiskinan di NTT


Salah satu teknik pemicuan dalam STBM adalah masyakat harus dibuat malu dengan keadaan mereka. Dibuat jijik dengan keadaan di sekitar mereka. Teknik ini ternyata berhasil merubah pola hidup mereka menjadi lebih sehat.


Menimbulkan rasa malu dalam diri seseorang ternyata memang sangat efektif. Seseorang yang merasa malu dengan keadaan yang buruk dalam dirinya akan berusaha untuk menjadi lebih baik di hadapan yang lain. Seorang pencuri akan diarak keliling agar ia merasa malu dan tidak mengulangi perbuatannya. Seorang koruptor diberitakan dgn heboh, dicibir dan dipenjarakan agar malu dgn perbuatannya dan tidak mengulangnya lagi. Seorang mahasiswa yang nyaris DO akan dibuat malu agar termotivasi untuk menyelesaikan kuliahnya.

Rasa malu bisa membuat seseorang depresi, tapi setelah itu ia akan bangkit dengan tekad perubahan menjadi lebih baik.

NTT adalah propinsi penuh gengsi yang mencoba bangkit dari kemiskinan yang memilukan. Hasil perangkingan terbaru masih menempatkan propinsi ini ada di buntut propinsi lainnya dalam persoalan kemiskinan sejak propinsi ini berdiri. Tetapi gengsi propinsi ini sangat tinggi, rasa malu atas kemiskinan yang mendera tidak menyurutkan gengsi untuk menerima keadaan yang ada. Mulai dari pejabat pemerintah sampai klaster paling bawah menolak disebut miskin. Kekayaan alam yang tidak seberapa dipertontonkan sebagai kekayaan yang membanggakan agar tidak disebut miskin. Potensi pariwisata dikembangkan dengan trilyunan rupiah dana untuk menutupi keadaan sebenarnya bahwa yang miskin adalah rakyatnya.

Stigma NTT miskin yang seharusnya menjadi pemicu kebangkitan rakyat untuk melawan ternyata tidak menjadi tindakan perubahan malah stagnan sebatas argumen sampah dengan validitas absurd. Berita dan iklan di media tentang kemiskinan di NTT dianggap sebagai eksploitasi berlebihan yang bertentangan dengan realitas yang ada. Tentunya masih jelas ingatan kita pada iklan Lifebuoy yang menuai kontroversi. Sebelumnya, pernah ada iklan aqua yang tidak kalah hebohnya ketika dengan sengaja mereka mempertontonkan dialek dan kondisi di pedalaman Kabupaten TTS. Dua iklan tersebut mendapat penolakan karena dianggap mengeksploitasi kemiskinan untuk keuntungan perusahaan.

Aneh memang, jika sebuah fakta ditunjukan dengan data akurat saja sudah mendapat penentangan, entah bagaimana jika fakta tersebut berubah menjadi prokem yang terdengar lebih kasar atau kiasan yang menyembunyikan fakta.

Atas nama gengsi, kekayaan NTT dipertahankan dengan argumen dalam hampir semua diskusi atau debat tanpa tindakan konkrit. Tidak ada yang dihasilkan dari diskusi panjang sepanjang dekade kemiskinan ini. Program pengentasan kemiskinan berakhir meninggalkan nama dan kenangan tanpa strategi mempertahankannya agar tetap berjalan. Ratusan koperasi didirikan untuk mendongkrak ekonomi ternyata hanya berupa pinjaman untuk mempertahankan hidup, bukan sebagai modal usaha jangka panjang. Kelompok-kelompok ekonomi kreatif banyak dibentuk oleh pemerintah dan LSM-LSM ternyata juga hanya menjadi program sesaat yang gulung tikar setelah program itu berakhir. Ratusan program pemberdayaan lagi-lagi hanya sebuah simbol pengentasan kemiskinan.

Jika berpijak pada konsep pemberdayaan masyarakat yang digadangkan oleh PBB, maka sesungguhnya kita bukan pada taraf itu. Terjemahan yang salah oleh pelaku program malahan tidak lagi menjadikannya sebagai standar atau pedoman pemberdayaan, sialnya kesalahan menerjemahkan konsep ini dilakukan juga oleh badan-badan PBB dan NGO-NGO Internasional yang saat ini bekerja di Timor Barat. Atas nama quantitas, penerima manfaat tidak dipicu untuk melakukan perubahan tetapi dipicu untuk memenuhi target program. Inilah alasan utama mengapa program-program pemberdayaan selalu kandas ketika masyarakat tidak lagi didampingi.

Saya setuju bahwa NTT adalah propinsi miskin. Ini akan menjadi dorongan bagi siapapun untuk keluar dari zona yang tidak mengenakan ini. Tetapi untuk keluar dari situ bukan hal sepele yang bisa diselesaikan dengan argumen atas nama gengsi. Masyarakat NTT harus menerima kenyataan memalukan ini dengan lapang dada, melepaskan kepentingan pribadi dan kelompok, dan menerima dengan positif pihak luar yang hendak membangun masyarakat tanpa merusak budaya dan alam di sini.

Selama beberapa dasawarsa disebut sebagai propinsi miskin, seharusnya kita bisa melepaskan nilai itu dengan tidak mempertahankan gengsi kita. Sebab ketika kita menolak disebut miskin dengan alasan harga diri, maka saat itu juga kita telah kehilangan harga diri. Kehormatan adalah ketika kita dengan tulus mengakui diri kita apa adanya. Kita memang harus berpikir kritis, tapi kekritisan kita harus memiliki latar belakang dan memperhitungkan masa depan. Jika tanpa ini, maka kita ada di zona kritis, menunggu waktu diterkam krisis.

Jika ada orang yang ingin membangun NTT karena prihatin oleh kemiskinan kita tanpa merusak alam dan budaya, maka hilangkan gengsi kita yang tega menghakimi niat baik itu. Sebab mereka datang karena kita tidak bisa menyelesaikan persoalan yang ada. Mereka datang karena kita selama ini hanya banyak bicara tanpa aksi nyata. @dodydoohan




Share