Ijinkan Hati Bicara...: 2014 google-site-verification: google642dcb3a3836b309.html

31 Okt 2014

Elleora

I
antara waktu kemarin dan tadi
waktu tangismu mulai menjelma senyum menggemaskan
dan geliatmu meminta segera dipangku
kami tak lelah berjaga meski mata mulai sayup kuyu

ingin kami segera mengajakmu berlari
menendang dunia merobek langit
menghitung hitung segala kemungkinan hari esok
sebab kemarin yang kami lupakan
penuh drama dan kepalsuan

II
kelak akan kau jadikan rumahmu istana
dan kau adalah putri kecil yang terus menjaga sukacitadi dalamnya

kelak akan kau singkirkan segala kemunafikan yang menyusahkan permai negerimu
dari hatimu bukan hanya akan terbit doa
karena yang akan kau kerjakan adalah ketulusan tanpa peduli puja puji
atau caci maki seperti yang sering dinyatakan penuh kesombongan



III
kau bukan hanya cahaya
kau terik yang akan membakar hangus setiap hitungan kemunafikan
kesombongan akan kau kuburkan lantas membangkitkan harapan yang pernah mati
kepadamu, Tuhan tak akan melepas tangan

Anakku, musim musim akan hilang
Cinta mungkin akan dipenuhi seribu satu persyaratan
Tetapi kami berjanji kepadamu
Kita akan bersama sama mengikat dunia dengan kebijaksanaan
sambil bermain cahaya



27 Oktober 2014




Share

11 Mei 2014

Surat cinta dari Natan kepada Marta

Kepada
Yth. Adik Marta Teboko
Di
Sebelah kali panite

Dengan hormat,
Beta tulis surat ini dengan setengah mati karena susah hati sejak ditinggal adik pergi nun jauh ke sebelah kali. Beta tulis tapi bet bingung dengan gamatar yg bet alami karena bet sonde biasa gamatar bagini. Beta bingung yg gamatar ini bet pung tangan ato bet pung hati. Semoga adik Marta tidak rasa sama ke yang bet rasa karna itu artinya adik lagi lapar atau sakit. Jangan tanya di beta itu sakit apa karena bet bukan dokter.

Adik Marta yang tercantik di dalam kampung kita, adik mo tau kenapa beta gamatar? Karna beta dengar gosip dari mama-mama yg biasa bacari kutu di bawah pohon asam Taeflolo bilang adik Marta su kawin dengan to'o Nehemia yang baru datang dari Rote. Adik eee,,, itu berita betul ko? Kenapa adik kawin deng dia padahal adik dulu bilang kalo dia pung model ke babi balanda, kadang ju adik bilang dia sama ke sapi paron. Ma kenapa ko sekarang adik mau dengan dia ko sampe nikah bagitu? Adik sonde takut kena tendes dari sapi paron kah?

Adik, kalo memang itu berita itu benar, beta hancur sudah ni, bet akan minum mabok mulai dari pasar nakmofa sampe pasar haekmeu dan finis di pasar panite biar ko adik nanti liat ame beta kalo adik pi balanja di sana. Tapi beta mohon di adik, sekali lagi kalo memang ini berita betul, beta mohon adik tolong kasi kembali bet pung dompet warna hitam berisi uang seribu rupiah yg ujung ada tarobek ko ada lem pake isolasi. Tolong adik jangan ambel itu uang karna itu uang kenang kenangan buat beta, karna itu uang adalah kembalian dari paman burhan waktu beta beli kasi adik lencu merah di Niufmetan. Adik su dapat lencu jadi biar bet dapat doi tarobek sa ju bae.

Adik Marta yg terkasih sekali selama ini, demikianlah surat cinta ini saya buat dengan kesadaran penuh dan tanpa paksaan dari bapa RT 12, bapa dusun Laukmone ataupun bapa deng mama di rumah. Beta harap surat ini sonde mengganggu hubungan suami istri antara adik dan to'o nehemia di pagi yg indah ini.

Oenaskui, 30 november 2013
Yang menulis

Natan Nehemia Nistamnasi
(N3 yang dibaca entri)

Nb : ingat kasi pulang dompet

Ps : i love you



Noted : tulisan ini dibuat dalam status facebook saya beberapa bulan yang lalu.




Share

3 Mar 2014

SASTRA BUKAN HASIL ONANI



(Sebuah Refleksi terhadap Sastra dan Tokoh Sastra Perempuan NTT)

Noted : Opini telah dimuat di Harian Pos Kupang, Sabtu, 1 Maret 2014

Sebuah claim dengan sengaja dilakukan oleh sekelompok doktor yang menjadi juri NTT Academia Award bahwa sastra NTT dewasa ini hanya dikuasai kaum maskulin. Claim ini memantik kerusuhan dalam berbagai diskusi sastra yang kemudian digelar baik itu di media sosial mau pun dalam pertemuan lainnya. Secara kolektif para sastrawan menolak tuduhan tersebut dan balik menyerang dengan pernyataan bahwa para doctor terlalu banyak membaca karya ilmiah tetapi jarang bahkan tidak pernah membaca karya sastrawati NTT yang notabene didominasi oleh perempuan. Tak kalah hebohnya, seorang teman menuduh para doktor terlalu banyak bergaul dengan laki-laki sehingga tidak pernah tahu perkembangan perempuan.
Diskusi sampai pada pertanyaan; apakah kata memiliki jenis kelamin sehingga pemilahan karya sastra pun harus berorientasi pada seksualitas seseorang? Bukankah ketika membaca sebuah karya sastra, pembaca selalu mengabaikan seksualitas penulis dan lebih menikmati isi bacaannya?

Karya Sastra VS Karya Ilmiah
Adalah dua hal kontras jika harus menyandingkan karya sastra dan karya ilmiah. Misalnya, jika seseorang menulis tentang siklus haid seorang perempuan, maka latar belakang seksual penulis minimal harus diketahui oleh pembacanya. Yang pertama, setidaknya penulis harus perempuan karena hanya kaum ini yang mengerti dan berpengalaman mengalami haid setiap bulannya selama bertahun-tahun. Kedua, jika dia bukan seorang perempuan, maka dia haruslah seseorang yang memiliki keahlian khusus terkait persoalan biologis perempuan. Di sini, latar belakang penulis memang harus diketahui karena menyangkut isi tulisan yang sangat ilmiah.

Sedangkan sastra, latar belakang penulis adalah urusan nanti setelah karyanya dibaca. Karena itulah muncul istilah “Pengarang sudah mati ketika karyanya terbit.” Jenis kelamin tidak berlaku dalam menelaah sebuah karya, pengalaman penulis adalah urusan nanti, sebab yang dinilai adalah keindahan karya bukan individu yang mencipta.

Jika sebuah karya ilmiah hanya bisa masuk dalam jurnal-jurnal internasional karena seseorang memiliki gelar akademik atau sudah memiliki nama dalam dunia riset, maka karya sastra terjadi sebaliknya. Karya sastra dihargai ketika pertama kali dihadirkan dalam dunia keindahan tanpa harus diketahui tokoh penciptanya. Rasa penasaran terhadap keindahan sastra-lah yang melahirkan pencarian terhadap tokoh dibalik karya tersebut. Penyebutan nama penulis dalam sebuah karya menjadi sebuah formalitas belaka ketika sastra berubah bentuk dari lisan menjadi tulisan. Artinya, keseringan menciptakan keindahan, maka persona penulis dengan sendirinya akan terlekat pesona susastraan. Sampai di sini, khalayaklah yang menentukan akan disebut sebagai apa sang penulis sastra. Apakah sekedar penulis sastra ataukah sudah pantas menyandang gelar sastrawan atau sastrawati.

Karya sastra tidak lahir dari hasil onani, karena itu, adalah kecelakaan fatal jika sebuah karya sastra dinilai atau dihargai karena alat kelamin yang menempel dalam tubuh seseorang pelaku sastra. Karya sastra adalah keindahan yang lahir dari batin dan pikiran seseorang hingga mampu memberi evokasi terhadap batin insani lainnya. Orang yang memilih masuk dalam liang gelap sastra harus memiliki komitmen untuk hidup dalam kegelapan itu. Tetapi fakta akhirnya menunjukan kepada kita bahwa tidak semua orang mampu bertahan dalam kegelapan itu. Banyak yang memilih pergi karena tak tahan dalam penderitaan bersastra. 
Pernyataan-pernyataan di atas adalah untuk menjawab pertanyaan apakah kata memiliki jenis kelamin sehingga harus ada perbedaan penulis laki-laki dan perempuan? Mari kita bahas lagi pertanyaan, apakah benar sastra NTT hanya dikuasai kaum maskulin?

Lika-liku dunia sastra yang pucat dalam rentang dekade yang cukup lama justru menjadi segar karena peran para perempuan. Para perempuan ini mampu bertahan di tengah terjangan topan sastra luar NTT yang sangat deras masuk hingga ke sendi-sendi pendidikan dengan seijin Dinas Pendidikan ke sekolah-sekolah di NTT. Anak-anak SMP bahkan lebih mengenal JK Rowling, Mira W, Dewi Lestari dan penulis perempuan lainnya karena buku-buku mereka yang selalu berjejer rapi dalam perpustakaan-perpustakaan. Anak-anak ini bahkan kebingungan jika ada pertanyaan apakah mereka mengenal Maria Mathildis Banda atau Mezra Pellandou?? Mohon diperhatikan, jangan menambah kebingungan mereka dengan nama-nama lain pendatang baru seperti Sandra Frans, Anaci Tnunay, Diana Timoria, Franseska Eka, Lanny Koroh, dll.

Jika kita masih dengan pertanyaan yang sama, apakah kaum maskulin menguasai sastra NTT, maka pertanyaan baliknya adalah berapa banyak karya perempuan NTT yang sudah dibaca oleh-oleh yang mempertanyakan itu? Berapa banyak orang yang membaca karya sastra dan menyadari bahwa sastra hanya mengenal kata, kata hanya mengenal huruf, huruf hanya mengenal lekuknya. Dan di dalam huruf-huruf yang melekuk itu, tidak ada jenis kelamin. @dodydoohan




Share

28 Feb 2014

Engkau dan Rindu



Engkau mengerti jarak, yang dibenamkan waktu sore yang juga berpulang meninggalkan kita. Engkau mengerti setiap rindu yang terjadi karena jarak itu. Engkau juga mengerti, setiap rindu dalam berapa pun jarak terjadi karena cinta bersama setiap pesonanya selalu mengajakmu tenggelam dalam mimpi-mimpi setiap harimu.

Tetapi engkau tak pernah mampu mengerti, seseorang di sana menunggumu harap-harap cemas. Mendoakanmu setiap jantungnya berdegub tanpa sebab. Atau setidaknya memikirkanmu tatkala seseorang sepertimu melintas di jalan depan rumahnya. Kau ada dalam tiada di setiap persinggahan lamunannya. Kau tercipta begitu sempurna dalam pahatan ingatannya. Kau, mungkin tak pernah percaya, kata-kata yang ia keluarkan dari kedalaman pikirannya hanya ditujukan untukmu, tanpa sebab apa pun. 

Dan, kau yang sering terdiam mengabaikan semua garis-garis kecil yang melintas sekejab di matamu, bahkan tak pernah tau ada begitu banyak garis waktu tercipta dari hatinya untukmu. Sengaja ia pagari setiap kata agar atas namamu, kelak dapat ia temukan lagi di mana atau kapan pun ia ingin mengingat betapa indah membayangkanmu.

Kau mungkin tak akan pernah membayangkan, ia ingin memelukmu setiap hari tapi rasa ragu lebih hebat dari keberaniannya sendiri. Seringkali, seolah-olah tanpa sengaja tangannya menyentuhmu, yang sebenarnya ia sudah tak tahan tak menyentuhmu. 

Seringkali, ia ingin menyentuhmu lebih, tapi ia takut, jari-jari tangannya yang terlalu kasar akan melukaimu. Maka ia menunggu. Menunggu hingga kau menyadari semua, lalu membuka tanganmu menyambut pelukannya.




Share

11 Feb 2014

Caleg Datang, Pohon Menangis

Tadi, sepanjang perjalanan ke luar kota Kupang, di tepi jalan-jalan utama, hingga pelosok kampung, terlihat pohon-pohon yang menghijau, rindang meneduhi terik hari ini.

Sayangnya, keteduhan yang mereka berikan harus dilukai oleh ulah serakah dan tidak tau malu dari calon orang-orang terhormat yang disebut Caleg. Senyuman mereka menempel di pohon-pohon tanpa beban. Seakan memang pohon-pohon itu dikhususkan utk memajang senyum palsu dan janji manis mereka yang dilukis tangan desain nan kreatif di baliho atau pun spanduk-spanduk.

Cara meraih simpati publik dengan merusak pohon-pohon adalah kampanye terbodoh yang dilakukan oleh seorang caleg. Jika lingkungan saja sudah tidak ia cintai, bagaimana mungkin dia mencintai konstituennya? Tipe caleg seperti ini adalah tipe orang yang akan lupa diri ketika jabatan atau kekuasaan sudah ada dalam genggamannya.

Saya membayangkan pohon-pohon ini menangis ketika paku-paku tajam mulai menusuk nusuk tubuh mereka demi menggantung selmbar baliho caleg. Pohon-pohon itu merelakan tubuhnya disakiti atas nama nafsu besar seorang caleg. Saya membayangkan nasib pohon-pohon itu adalah analogi kehidupan sebagian manusia yang rela kehilangan kebahagiaan demi menyenangkan hati orang lain.

Siang ini saya kembali ke Kupang dengan hati yang resah. Lagi-lagi, bundaran PU mengingatkan saya kepada cemara yang kini tinggal puntungnya hanya karena ada satu orang penting yang tidak suka mlihat cemara yang melambai riuh. Saya tiba di jalan Frans Seda, dan kali ini saya menyaksikan bagaimana beberapa pohon sepe di situ telah roboh oleh mesin sensor di malam sebelumnya.

Hati saya miris, diluapi tanda tanya yang tak selesai hingga perjalanan hari ini berakhir. Mungkinkah kota ini dikutuk untuk menjadi kota yang sangat panas setelah musim hujan karna kita yang seringkali egois terhadap alam?


Saya tiba lagi di kantor. Perjalanan hari ini sangat membuat saya lelah. Sudah 6 bulan dan baru hari ini perjalanan jauh saya tempuh lagi. Saya lalu memindahkan tempat duduk ke teras depan untuk melepas lelah sekaligus menghirup lagi udara segar yang sepoi-sepoi datang. Selembar koran hari ini tergeletak begitu saja di meja, sepintas mata saya menangkap sebuah judul berita "TANAM PAKSA PAKSA TANAM BUPATI KUPANG AKHIRNYA DIDUKUNG DPRD."




Share

15 Jan 2014

Mencari Kandidat Intoleran Sastra Flobamora



Catatan : Opini ini telah dimuat di Harian Umum Victory News, Rabu, 15 Januari 2014

Beberapa bulan lalu, sebuah pertemuan kecil dilakukan di Taman Nostalgia oleh anggota Rumah Poetika Kupang, Dusun Flobamora dan Blogger NTT. Bincang panjang di malam yang singkat itu mengantar kami pada perbincangan tentang sastra NTT yang terus berkembang dari hari ke hari hingga peluang-peluang yang mungkin bisa dilakukan untuk membuatnya semakin bersinar ke segala penjuru. Ada optimisme, bahwa kelak NTT mampu menjadi kiblat sastra Indonesia.
Perbincangan kami sampai pada keluhan tentang kritik terhadap sastra NTT yang masih ada di titik hitam putih. Belum ada satu pun penulis atau – kalau boleh dibilang - penyair atau sastrawan NTT yang maju sebagai kritikus sastra. Banyak postingan puisi di media sosial dan koran-koran hanya melahirkan pujian-pujian datar yang pada akhirnya tanpa disadari justru membunuh nalar penyair untuk keluar dari zona nyaman.
Ini terjadi karena mungkin masih kuatnya kedekatan antar sesama penulis NTT yang notabene masih ada dalam lingkaran yang sama. Kritik terhadap karya seseorang masih ditakuti akan menjadi nila yang merusak sebelanga susu solidaritas para penulis muda Flobamora. Ketakutan seperti ini tidak disertai kekuatiran bahwa apabila sastra NTT berkembang tanpa kritik maka sesungguhnya perjalanan menuju cita-cita besar akan terbatas pada sesuatu yang monoton dalam retorika dan perspektif sastrawan. Memilih untuk tidak melakukan kritik hanya akan membuat seseorang berada dalam zona nyaman tanpa pernah tahu sebaik apa karya yang dihasilkannya.
Kritik adalah komunikasi yang efektif untuk menggembleng seorang sastrawan tampil lebih mengkilap dengan karya-karyanya. Kritik adalah fondasi dari solusi-solusi cerdas untuk menemukan perspektif terbaru. Kritik mampu membangunkan alam tidur seseorang untuk melihat kenyataan dari perspektif yang lain.
Kita tahu, bahwa sebuah hasil tanpa kritik akan membuat hal tersebut seolah tanpa kelemahan. Sudut-sudut lemah yang tak mampu dijangkau oleh pikiran sebelumnya akan mampu dilihat ketika ada ruang yang dibuka untuk menerima kritik.
Beberapa teman yang saya harapkan bisa menjadi kritikus sastra yang baik justru memilih untuk nyaman sebagai penulis. Frater Januario Gonzaga, Mario Lawi, Ragil Sukriwul misalnya. Saya yakin orang-orang ini memiliki kapasitas yang luar biasa untuk menjadi kritikus yang tajam dan cerdas. Ketiga nama tersebut adalah sastrawan muda yang lahir di atas tajamnya karang Kota Kupang, tetapi percumbuan mereka yang romantis dengan penyair lainnya telah menutup mata batin mereka untuk tampil sebagai kritikus yang berani.
Dari generasi sebelum nama-nama di atas muncul nama Yohanes Sehandi. Tetapi, dosen asal Universitas Flores hanya mampu mencari nama-nama sastrawan yang lahir dari NTT sejak pra kemerdekaan hingga medio reformasi ini, kemudian mencatat karya-karya mereka sebagai bahan publikasi yang tentu saja efeknya hanya terbatas keagungan nama tanpa kritik terhadap hasil karya yang telah ditetaskan.
Dari Undana muncul nama Dr Marcell Robot dan Prof Felix Sanga. Lagi-lagi, nama dua budayawan ini sudah sangat sibuk dengan jam mengajar yang tinggi sehingga tidak memiliki waktu untuk membaca karya apalagi menuliskan kritik yang menguji mental para penerusnya. Telaah terhadap buah pena penyair NTT pada akhirnya hanya menjadi kewajiban yang dipaksakan kepada mahasiswa untuk menyelesaikan tugas akhir. Skripsi yang seharusnya menjadi nilai tambah, toh tetap menjadi koleksi di Undana sementara penulisnya setelah diwisuda malah mencari kiblat lain yang tidak ada kaitannya dengan apa yang telah ditulis.
Fakultas Bahasa dan Sastra Indonesia di kampus-kampus yang tersebar di seantero Flobamora yang diharapkan bisa melahirkan kritikus sastra teryata hanya mampu mendidik mahasiswanya sebagai calon pegawai. Jika pun dari sana ada yang lahir sebagai penulis atau sastrawan itu bisa jadi karena memang bakat alamnya dan bukan karena didikan dari tempat dia menimba ilmu.
Seorang teman berpendapat bahwa agak susah mengharapkan seorang kritikus lahir dari hasil didikan kampus. Ini karena dari dosennya sendiri tidak pernah siap dikritik. Mahasiswa yang kritis dianggap pembangkang, maka sebaiknya diam demi nilai yang aman. Selain itu, kritik dianggap bukan sebuah budaya yang baik untuk membentuk karakter seseorang dan membuatnya lebih maju, masih banyak cara lain. Saya kurang sepakat dengan pendapat yang terakhir ini.
Kritik memang bukan untuk membentuk karakter. Tetapi membuatnya selangkah lebih maju adalah pasti. Persoalan sesungguhnya adalah ketika kritik dikatakan sebagai bukan budaya yang baik karena orang yang dikritik tidak siap dikritisi, sehingga akan lahir gejolak yang tidak penting menanggapi hasil kritik itu sendiri.
Sebagai contoh kasus; beberapa bulan lalu, setelah menonton sebuah pertunjukan teater di Taman Budaya, saya menulis kritik terhadap hasil pementasan tersebut, tentunya setelah sebelumnya meminta ijin kepada sutradaranya. Tulisan yang kemudian saya muat di facebook ini mendapat tanggapan beragam. Namun, rupanya sang sutradaranya kaget karena tidak menyangka akan ada kritik seperti itu. Ketidaksiapan menerima kritik ditunjukannya dengan tanggapan yang ditulisnya.
Setelah terbitnya tulisan tersebut, kini mulai berdatangan kritik positif terhadap tulisan-tulisan yang lain. Terakhir, Mario Lawi dengan berani mulai membuka selubung pujian dengan kritik yang bernas terhadap terhadap novel terbaru karya Robby Fahik berjudul “Likurai untuk Sang Mempelai” dan saya anggap ini sebagai langkah maju dunia sastra NTT.
Seni, entah apa pun bentuknya, adalah dunia yang seharusnya dipenuhi kritik. Seni adalah bumi, dan kritik adalah udara yang melingkupinya. Siapapun yang tinggal di bumi pasti harus bernafas. Demikian pula yang memilih jalur seni sebagai bagian hidupnya harus menerima kenyataan untuk bernafas dalam kritik, setajam apa pun kritik itu. Atmosfer ini seharusnya hakiki dalam atma seni siapapun jika ingin tetap eksis.
Kritik pun harus ditulis dengan jelas pada inti persoalan yang harus dikritisi dan bukannya sindiran penuh metafora. Orang yang mampu membuat kritik cerdas menunjukan kemampuannya menelaah masalah, tetapi kritik dalam bentuk sindiran tak jelas menunjukan iri hati dari orang yang melakukannya. Sindiran berbeda dengan kritik. Sindiran adalah milik mereka yang memiliki pikiran dan hati tak jernih yang tak mampu keluar dari bayang-bayang ketidakmampuan untuk menghasilkan hal-hal produktif. @dodydoohan




Share

14 Jan 2014

Bersyukur, Belajar, dan Bersyukur Lagi


Baru-baru ini seorang teman bertanya kepada saya, apa kunci sukses yang dipakai, berapa banyak buku motivasi yang saya baca sebagai pedoman saya melangkah sampai sejauh ini?


Saya tersenyum mendengar pertanyaannya tapi juga bingung mencari kata yang tepat untuk menjawabnya. Pada akhirnya saya menjawab, ketika kamu mampu merenungi jalan hidupmu dan menjadikan semua yang terjadi sebagai alasan kamu bersyukur, maka kamu tidak membutuhkan buku-buku motivasi dan Mario Teguh.

Perjalanan hidup manusia tidak pernah bisa lepas dari hubungan sosial antara satu dengan lainnya. Langsung atau tak langsung, sadar atau tak sadar kita telah banyak dibantu oleh relasi ini. Entah orang lain itu membantu kita secara langsung atau tidak. Entah dia membantu secara sadar atau tidak. Atau entah kita pernah merasa terbantu atau tidak.

Saya percaya, bahwa kasih Tuhan bekerja lewat orang-orang yang telah membantu kita dan juga bahwa apa pun peristiwa yang terjadi dalam hidup saya memiliki makna ganda. Misalnya jika hari ini saya dipecat dari pekerjaan, maka pasti ada rencana indah dibalik peristiwa ini. Indahnya rencana ini mungkin baru akan kita sadari dalam rentang waktu yang lama atau bahkan saat itu juga.

Banyak pengalaman, sepahit apapun telah mengajari saya arti mengucap syukur. Orang-orang yang ada dibaliknya saya percaya sebagai motivator terbaik. Saya merenungi hidup saya detik demi detik dan bersyukur atas apa pun yang terjadi pada saya. Hinaan, caci maki, difitnah, dibenci, dicintai, disakiti saya terima dengan ikhlas lalu bersyukur lagi karena saya telah ditunjuk oleh sang sutradara agung untuk bisa belajar darinya. Mungkin terdengar klasik, tapi itulah cara saya menikmati hidup.

Tidak semua orang dibentuk dengan cara yang saya alami. Tidak semua orang diterima seperti cara saya diterima. Seorang teman bahkan pernah berkata kepada saya, “takdirmu ya sudah seperti itu, mau bagaimanapun kamu akan tetap seperti itu.”

Kata-kata itu masih terngiang di telinga saya sampai saat ini. Bahkan ekspresinya masih saya ingat dengan jelas. Teman ini adalah salah seorang atasan saya ketika untuk pertama kali saya bekerja di lembaga sosial masyarakat. Saat itu, saya adalah seorang security di gudang yang ia kepalai. Dia mengatakan demikian karena rasa ingin tahu saya tentang urusan logistik di gudang tersebut, mulai dari cara menata barang dalam gudang hingga laporan-laporan yang harus dibuat. Saya membutuhkan waktu yang lama untuk merenungi kata-kata itu, hingga akhirnya saya tiba pada satu kesimpulan bahwa mungkin apa yang dikatakannya itu benar. Ikuti saja air mengalir, jika dia mengalir ke tempat yang baik, maka baiklah hidupmu. Jika tidak??

Ya, bagaimana jika tidak. Apakah saya harus kembali ke masa lalu, masa yang penuh masalah sosial yang saya ciptakan. Kejahatan demi kejahatan. Perkelahian demi perkelahian antar kampung. Judi dari pasar ke pasar. Mabuk-mabukan atas nama geng, dll???

***

Tuhan memberi kita banyak cara untuk belajar. Kesempatan demi kesempatan dalam ribuan peristiwa adalah cara Dia mengingatkan kita bahwa Dia selalu ada dalam segala ruang dan waktu. Yang perlu kita lakukan hanyalah selalu merenungkan jalan-jalan yang telah kita lalui, tetap jujur dan tulus dalam menerima dan memberi, selalu bersyukur atas semua itu, tidak menjadi pongah apalagi takabur dengan setiap pencapaian hidup.

Jika apa yang saya ceritakan di atas tidak menginspirasi karena bagi anda biasa-biasa saja, saya anggap wajar pikiran itu ada. Semua orang mengalami pencapaian itu. Bahkan lebih hebat dari itu. Dan lagi, saya bukan menulis kisah inspiratif.

Namun, bagaimana jika ternyata tokoh yang saya ceritakan di atas adalah seorang pemuda yang tingkat pendidikannya sangat minim. Bukan seorang sarjana, bahkan pendidikan tertingginya kelas satu SMA?




Share

7 Jan 2014

Kontroversi Denny JA Sebagai Sastrawan Paling Berpengaruh



Sambil mempertanyakan kredibilitas 8 orang yang selanjutnya disebut Tim 8 saya menulis pikiran picik saya ini. Tersebutlah Tim 8 ini dengan segala kelihaian mereka telah membaptis 33 orang Indonesia sebagai sastrawan paling berpengaruh di tanah air ini hanya dengan 4 kriteria yang diciptakan dari hasil pergolakan selama dua hari. Entah yang disebut dua hari itu adalah dua hari penuh yang dua puluh empat jam atau dalam dua hari itu hanya ada lima menit diskusi. Intinya, dua hari.

Saya tidak tau persis 8 orang luar biasa itu -yang tak perlu saya sebutkan namanya alias silahkan googling- karena hanya beberapa karya mereka yang selintas saya baca. Selebihnya, di dalam Tim 8 tersebut tidak lebih hebat dari novelis dari kampung saya yg karna punya modal lantas melahirkan novel ecek-ecek memuakan ketika dibaca ataupun puisi-puisi mereka yg tak menggigit seperti nyamuk.

Jika menilik perkembangan sastra tanah tanah air, maka pantaslah jika sekalian penikmat sastra melantunkan protes mereka atas ditetapkannya Denny JA sebagai salah satu dari antara 33 sastrawan itu. Puisi esainya atau lebih banyaknya dia menggolontorkan dana untuk lomba puisi esai yang sampai saat ini masih dipertentangkan spesifikasi dan onderdilnya sepertinya menjadi salah satu alasan dia ditetapkan sebagai sastrawan berpengaruh. Inti protes bukan hanya masalah pada kualitas sastra, tapi kuantitas puisi yang dihasilkan Denny JA dari apa yang disebutnya sebagai puisi esai. Hanya ada satu buku karya Denny yang lantas oleh dia sendiri disebut sebagai pelopor genre baru sastra. Buku ini pun bukanlah keluaran penerbit mayor, tapi indie ala Denny.

Mencermati lagi salah satu kriteria penetapan yaitu “menempati posisi sebagai pencetus atau perintis gerakan baru yang kemudian melahirkan pengikut, penggerak, atau bahkan penentang” yang menjadi dasar pengangkatan Denny, maka alangkah sangat tak bijaknya Tim 8 ini. Lihat saja pendapat para sastrawan yang sampai saat ini masih mempertanyakan label “Puisi Esai” yang diciptakan Denny. Juga, Denny tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap dunia baru di ranah sastra Indonesia. Apa yang selanjutnya disebut sebagai pengikut Denny adalah manusia-manusia setengah sadar yang ikut dalam lomba puisi esai karena iming-iming hadiah yang WOW!!!

Penggerak??? Penggerak apa yang dimaksud dalam kriteria ini?? Apakah orang yang bergerak untuk ikut dalam fenomenona puisi esay yang diciptakan Denny? Tidak. Tidak ada. Selain tentunya tim sukses Denny yang dibayar untuk bekerja keras demi nama besarnya.

Penentang?? Ya jelaslah banyak yang menentang jika Denny menyebut diri sebagai pelopor puisi esai dengan – sekali lagi – ketidakjelasan kriteria yang diciptakannya. Puisi Esai Denny tidak lebih dari prosa yang sudah diciptakan sebelum Denny dilahirkan. Yang membedakannya hanyalah jumlah karakter dalam puisi esai dan prosa. Jika prosa memiliki karakter yang lebih sedikit namun tetap bernyawa hingga akhir. Esai Denny tidak lebih seperti orang tua bernafsu tinggi tapi loyo. Tidak ada evokasi yang tercipta dari puisi-puisi Denny.

Maka, penting untuk diketahui oleh dunia sastra Indonesia, bahwasanya ada kemungkinan Tim 8 ini telah dibayar untuk menyebut nama Denny JA dalam jejeran sastrawan paling berpengaruh. Kapasitas pas-pasan Tim 8 juga menjadi acuan untuk ditolaknya hasil penetapan yang berlebihan dan memalukan ini. @dodydoohan




Share