Ijinkan Hati Bicara...: 2013 google-site-verification: google642dcb3a3836b309.html

30 Des 2013

Budaya di Atas Kepala Kita

Perkembangan teknologi dewasa ini berhasil mengajak orang untuk tidak lagi harus berpikir susah-susah tentang apa yang harus dilakukan. Hal-hal praktis yang dulunya rumit menjadi instan. Apa yang dulunya hanya bisa dinikmati orang kaya, kini bisa juga dinikmati bahkan mungkin oleh orang paling miskin menurut catatan statistik.
Teknologi baru memang diciptakan untuk membuat hidup manusia menjadi lebih mudah. Tetapi kreatifitas para ahli dengan beberapa inovasi teknologi justru menjerumuskan generasi berikutnya menjadi tidak lagi produktif sebagai orang kreatif juga komunikasi face to face menjadi sesuatu yang tidak lagi penting.
Jika dulu seorang anak kecil dengan segala upaya menciptakan mainannya sendiri dari bahan yang bisa ia temukan di alam, kini kita lebih banyak menemukan banyak anak kecil yang merengek di toko atau mall untuk sebuah mainan mahal yang rusak setiba di rumah. Jabat tangan dari rumah ke rumah ketika natal kini berganti dengan sepotong SMS yang dirasa sudah cukup sebagai bagian dari silaturahmi.
Banyak pakar memiliki pendapat yang bertolak belakang tentang teknologi baru yang muncul akhir-akhir ini. Games di smartphone oleh beberapa ahli diklaim mampu meningkatkan kreatifitas anak. Namun, ada ahli lain yang berpendapat bahwa games tersebut membuat anak menjadi malas belajar dan menurunkan minatnya terhadap hal yang lain. Meski secara empiris belum ada kejadian yang membuktikan pendapat pertama, tapi pendapat kedua adalah fakta yang tidak bisa dibantah.
Selain berdampak pada perkembangan anak, teknologi juga secara perlahan meruntuhkan kekekalan sebuah tradisi yang telah dijalani manusia dari abad ke abad. Budaya komunikasi yang terjalin dalam pertemuan fisik perlahan sirna seiring berkembangnya media komunikasi seluler. Misalnya tradisi “okomama” orang Timor yang mulai ditinggalkan berganti dengan undangan via telepon atau SMS.
Okomama dalam budaya Timor adalah silahturahmi antar keluarga. Biasanya Okomama dipersembahkan sebagai undangan dari keluarga yang satu kepada keluarga yang lain untuk menghadiri acara atau pesta yang dibuat oleh keluarga yang mengantar okomama. Secara fisik, okomama adalah tempat sirih dan pinang yang dianyam dari daun lontar dengan corak tradisional Timor. Di dalamnya akan diisi dengan sirih dan pinang yang dalam perkembangan selanjutnya diisi dengan sejumlah uang. Semakin tinggi nilai uang dalam okomama, semakin penting arti kehadiran orang yang diundang tersebut dalam acara yang akan dimaksud. Okomama biasanya dibawa oleh tokoh adat atau utusan adat dari keluarga yang mengutus. Orang yang diutus tidak sembarangan. Dia harus menguasai pantun atau syair orang timor yang harus dikatakan ketika menyampaikan undangan.
Okomama tidak hanya berlaku untuk pesta tetapi juga ketika seseorang meninggal. Keluarga jauh atau tokoh adat yang memiliki pengaruh langsung terhadap yang meninggal harus diundang secara adat dengan okomama untuk melayat. Tanda bahwa yang bersangkutan akan memenuhi undangan adalah dengan diambilnya isi dalam okomama. Jika tidak diambil, maka yang diundang berkeberatan untuk hadir dengan alasan-alasan tertentu.
Kisah okomama kini hanya menjadi nostalgia budaya. Dan sekali lagi perkembangan teknologi komunikasi menjadi kambing hitam dari hilangnya tradisi ini.
Selain okomama, permainan tradisional anak-anak kini tak berbekas. Tidak ada lagi anak meluncur dengan pelepah pisang ketika musim hujan tiba. Di kota besar bahkan tidak lagi kita temukan anak kecil bermain mobil-mobilan dari bahan-bahan alam maupun bahan daur ulang. Jika dulu anak-anak berlomba membuat petasan dari bahan daur ulang yang bisa dipakai berkali-kali, kini orang tua harus menyediakan budget khusus menjelang natal untuk membeli petasan mahal yang tidak berbekas dalam sekali ledak. Jika dulu mobil-mobilan dari kayu yang bisa diperbaiki ketika rusak, kini sudah berganti barang plastik berbahaya tanpa garansi bisa diperbaiki apabila rusak.
Contoh-contoh di atas hanya segelintir masa lalu yang makin jarang ditemukan di Kota Kupang. Salah satu lagi yang kemungkinan akan hilang ketika hari natal tiba adalah kebiasaan warga kota ini mengunjungi rumah ke rumah tetangga dan keluarganya untuk merayakan natal bersama. Hidangan minuman dan kue khas natal yang disajikan biasanya akan diikuti cerita penuh gelak tawa yang menambah keakraban hingga cerita-cerita inspiratif yang mengilhami orang lain untuk membuat hal yang lebih baik setelah natal berakhir dan tahun berganti. Kebersamaan setahun sekali ini kian langka dilakukan. Hidangan natal akhirnya hanya menjadi santapan bagi keluarga dalam rumah itu sendiri dan bertoples-toples kue tetap penuh hingga tahun berganti.
Jabat tangan natal kini bisa dilakukan di jalan-jalan, warung makan, kantor, mall, atau di mana pun ketika tanpa sengaja sesama kita bertemu di sana. Itu pun hanya sekedar basa-basi sambil menunggu waktu untuk urusan yang lain selesai dilakukan. Natal yang hangat di bulan desember kian mendingin. Hidup individualis telah menggantikan solidaritas natal. Kesibukan individu menjadi hakikat tunggal sementara kesibukan bersama kala natal tidak lagi menjadi nostalgia kebersamaan.
Pohon natal yang kreatif di gereja-gereja tidak lagi dirakit dari tangan terampil para pemudanya. Kewajiban majelis di gerejalah yang dengan telaten merangkai pohon natal yang dibeli di toko. Sekali lagi, kewajiban. Bukan panggilan nurani yang digugah untuk membuat natal kian bermakna.
Teknologi memang mampu menyediakan pohon natal yang indah tapi tidak kreatif. Gereja-gereja besar dengan dukungan jemaat kaya raya berlomba-lomba membeli pohon natal terbaik. Pemudanya didorong menciptakan pohon natal tertinggi. Sayangnya, inisiatif ini lahir karena ingin menonjolkan diri sebagai yang terbaik, bukan untuk menciptakan natal yang bisa mengajak semua orang merenungi dirinya.
Tradisi baru hari natal yang hanya memamerkan kekuatan telah meninggalkan kesederhanaan yang lahir bersama Yesus. Gemerlap pakaian baru di hari natal mengalahkan lampin yang membungkus sang bayi natal. Kemilau perhiasan mengalahkan cahaya tulus persembahan para gembala yang hanya membawa emas, kemenyan dan mur. Kemegahan gedung gereja nan hangat diagungkan melebihi dinginnya kandang tempat Yesus dilahirkan. Sementara di hati para janda, balu, yatim piatu, Yesus masih terbaring di sana sebagai bayi natal yang agung itu. IA kedinginan di sana, tanpa satu orangpun yang peduli. Merekalah yang setiap minggu selalu memberikan persembahan terbaik meski dihargai dengan diakonia yang tidak berarti jika diberi nilai.
Melihat hal yang jamak ini, pantaslah jika sang penyair dari Libanon menulis “Yesus tidak lahir untuk membangun kuil yang megah di dunia tapi untuk membangun bait yang agung dalam hati kita.” Gibran menuliskan keprihatinannya yang mendalam melihat gereja dan jemaatnya pada masa itu yang lebih mengagungkan kemewahan fisik daripada hati. Jika Gibran masih hidup hingga saat ini, mungkin ia juga akan menulis dengan penuh kesedihan bagaimana kita lebih mengagungkan apa yang kita pamerkan dari kemampuan kita menguasai teknologi tingkat tinggi dan bukan setinggi-tingginya keagungan natal.
Namun, sesungguhnya mengkambinghitamkan teknologi bukanlah hal yang bijaksana. Tidak ada ahli yang berpikir untuk menghancurkan budaya suatu bangsa ketika ia mulai merekayasa sebuah teknologi baru. Kesalahan terbesar adalah manusia itu sendiri yang menjadi konsumtif terhadap teknologi baru lantas mendewakannya dan meninggalkan nilai atau filosofi budayanya.
Bangsa yang kuat tradisi kebudayaannya tidak akan mudah terjerembab oleh kuatnya arus luar yang datang menerpa dari segala sudut. Justru terpaan itu menciptakan kekuatan baru untuk menunjukan eksistensi budayanya ke dunia yang lebih luas. Maka yang harus dipikirkan setelah ini bukanlah bagaimana menciptakan generasi yang menjunjung tinggi teknologi di atas kepalanya, tapi menjadikan teknologi sebagai pondasi baru yang menopang nilai-nilai budaya di atas kepala masing-masing. @dodydoohan

Artikel ini sudah dimuat di Harian Umum Victory News




Share

4 Des 2013

Gengsi Negara Tak Mampu

Di pertengahan tahun 2005, tiba-tiba mata media nasional dan lokal tertuju ke Desa Bena, kecamatan Amanuban Selatan. Di sana ada sebuah panti rawat gizi yg merawat balita gizi buruk akut. Adalah Metro TV yg pada waktu itu menjadi televisi pertama yg mewartakan kasus gizi buruk di Amanuban Selatan ini. Bagai Kebakaran jenggot, Bupati TTS waktu itu dijabat oleh Daniel Banunaek langsung menelpon Camat Amanuban Selatan. Beberapa saat kemudian, Panti Rawat Gizi yang saat itu sedang merawat 9 Anak yang terkena Marasmus Kwasiorkor dipenuhi camat dan jajarannya. Staff CARE yang bertugas saat itu ditanyai banyak hal, sampai sang camat menuding staff CARE International telah membuat sensasi dengan berita yang sudah tersebar. Para staff ini kemudian diancam untuk tidak boleh memberikan informasi apa pun untuk wartawan.

Sebelumnya, Panti Rawat Gizi atau istilah kerennya waktu itu Theurapic Feeding Center (TFC) diresmikan ini oleh Duta Besar Amerika Serikat pada tahun 2003. Pengresmian ini dihadiri juga bupati TTS Willem Nope yang beberapa saat kemudian digantikan oleh Daniel Banunaek.

Hebohnya berita kasus gizi buruk waktu itu tentu saja mengundang banyak media untuk turun melihat realitas yang ada. Media tidak hanya memberitakan kejadian anak gizi buruk di TFC, tapi juga yang tersebar dan dirawat di pusat-pusat rehabilitasi yang dibuat oleh CARE International di tingkat Posyandu yang disebut Community Feeding Center (CFC). Ribuan Balita pada saat itu diberitakan mengalami gizi buruk akut. Selain Marasmus, Pneunomia juga menjadi salah satu penyakit yang selalu turut serta dibawa dalam kasus gizi buruk ini.

Media lokal dan nasional memberitakan dan menganggap kejadian gizi buruk di Amanuban Selatan sebagai KLB, tapi tentu saja, penyangkalan dari Bupati dan staffnya menarik perhatian Frans Lebu Raya yang pada waktu itu baru menjabat sebagai Gubernur NTT.

Dalam sebuah kunjungan ke Kecamatan Kualin, Gubernur NTT singgah beberapa saat di TFC Panite untuk melihat keadaan yang sebenarnya. Tidak ada kata lain saat itu dari beliau, selain bahwa akan disediakan dana dari APBD untuk mengantisipasi kasus ini lebih meluas.

Setelah kepulangan Gubernur NTT, beberapa hari kemudian berendus kabar bahwa TFC Panite akan diambil alih oleh Pemda TTS, dan perawatan seluruh anak gizi buruk akan menjadi tanggung jawab pemda.

Ternyata benar, tidak lebih dari sebulan, di pertengahan september 2005, seluruh aset CARE yang ada di TFC Panite diserahkan kepada Pemda untuk dikelola. Staff CARE yang bertugas di tempat tersebut dipindahkan ke divisi atau kabupaten yang lain untuk menangani hal yang sama.

Total asset yang diserahkan dari CARE ke Pemda TTS pada waktu itu bernilai ratusan juta rupiah. Susu, minyak, beras, sampai tempat tidur dan gedung TFC itu sendiri. Puskesmas Panite ditunjuk menjadi pengelolanya.

Sayang sekali, sebulan kemudian, TFC tersebut tidak lagi merawat pasien. Alasan ketiadaan biaya operasional dan tidak ada lagi pasien gizi buruk di Amanuban Selatan menyebabkan gedung TFC tersebut terlantar.

Di bulan desember, iseng-iseng saya melongok isi dalam gedung tersebut. Kosong. Tidak ada lagi 15 tempat tidur lengkap dengan spon lembutnya. Tidak ada lagi kulkas. Tidak ada lagi Lemari-lemari lain dan lemari obat, alat masak dan lain-lain. Entah ke mana berton-ton susu dan minyak goreng, kacang hijau, dll.

Hingga saat ini, gedung TFC tersebut masih berdiri kokoh berdampingan dengan Puskesmas Panite. Kosong, tanpa penghuni. Sementara dari tahun ke tahun, Dinas Kesehatan Kabupaten TTS terus merelease data gizi buruk yang angkanya tak pernah turun dari ribuan kasus. @dodydoohan




Share

Penyangkalan Kemiskinan NTT

Kemarin, setelah keluar dari ATM di ujung Ruko Oebobo, seorang anak laki-laki berusia 9 tahun dengan adiknya yg berusia 3 tahun menghampiri saya lalu menadahkan tangan sambil berkata “oom, minta uang do, kita belom makan…” 

Saya kaget dan marah. Keduanya berpakaian sangat kotor di mata saya. Ingus si balita tampak mengalir panjang di bawah hidung. Area sekitar hidungnya juga tampak hitam oleh ingus yg mengering karna diseka dengan terpaksa. 

Saya lalu bertanya di mana orangtuanya dan alasan mereka menjadi peminta di situ. Setelah itu mengantar mereka pulang ke rumah mereka di belakang pasar oebobo. Rumah mereka terbuat dari dinding bebak beratap seng dan terlihat sudah tua termakan hujan dan panas, dekat dengan sebuah kantor LSM Lokal yg cukup punya nama di kota kupang. Tidak ada orangtuanya di rumah itu. Dari cerita tetangganya, saya tau bahwa ibu anak-anak itu berjualan sayur di pasar oebobo dan bapaknya di pasar oeba. Mereka bersekolah di SD Bertingkat Oebobo. Setiap pulang sekolah, mereka selalu bermain di pasar tempat ibunya berjualan. Entah siapa yg menyuruh mereka jadi pengemis.

Saya lalu meminta tolong kepada ibu tetangga itu memberi maka anak-anak itu. Setelah melihat mereka makan, saya pulang tanpa memberi mereka uang. 

Beberapa hari lalu, ketika sedang makan di sebuah warung di daerah oebufu, saya juga dihampiri anak kecil yg meminta uang kepada saya dengan alasan belum makan. Karena tidak ingin memberi dia uang, saya mengajak dia makan. Tetapi anak yg mengaku lapar ini menolak dan memilih pergi.
Diperempatan lampu merah kantor gubernur dan juga patung kirab, ada banyak anak kecil menjadi penjual koran. Gaya menjual mereka yg kadang memelas membuat kita kadang tak sampai hati dan membeli koran mereka. Mereka bahkan berjualan sampai malam di tempat itu.

Saya membayangkan eksploitasi berlebihan dilakukan terhadap anak-anak ini. Eksploitasi di depan mata dan hidup kita sehari-hari tapi tak pernah kita hiraukan. Saya heran jika ada yg berkata bahwa di kota ini tidak ada pengemis. Adakah mereka pernah melintas di tempat-tempat yg saya sebutkan di atas ataukah kaca jendela mobil mereka terlalu hitam utk melihat ke samping sepanjang perjalanan mereka? 

Saya heran ketika ada yg menyebut kemiskinan kita telah dieksploitasi utk kepentigan corporate tertentu tanpa melihat realitas. Saya kuatir kita terlalu banyak menggunakan angan-angan lantas membungkam fakta yg sedang menari-nari di hadapan kita. Saya kuatir kita terjebak dalam fanatik egosentrisme sehingga tidak lagi melihat jauh ke luar jendela. Saya kuatir kita tidak menggunakan hati nurani utk menggugah diri kita sendiri ketika kita berupaya menggugat orang lain. Saya kuatir kita hanya melihat emas di ujung tugu monas tanpa sadar bahwa di mata kita melintang balok hitam. 

Saya percaya bahwa perubahan besar dimulai dari kelompok kecil. Saya percaya utk tidak melihat masalah hanya dari satu sisi. Saya percaya bahwa kekuatan mimpi mampu merubah diri saya jauh lebih baik dari saat kemarin dan hari ini. Saya percaya bahwa dlm diri seorang terdapat kekuatan luar biasa. Saya percaya bahwa kita harus kritis, kritis dengan nilai yg melihat isi gelas setengah penuh dan akan diisi penuh, bukan gelas setengah kosong yg akan menjadi kosong. Saya percaya bahwa kreatifitas lahir dari dalam jiwa terdalam seseorang, jika kita memberi apresiasi, bukan tidak mungkin itulah awal masa depan yg lebih baik. 

Saya pernah mengalami, rasa malu terhadap diri dan keadaan membuat saya bangkit, tetapi kemarahan menjerumuskan saya jauh lebih ke dalam jurang kekelaman. @dodydoohan




Share

3 Des 2013

Teknik Pemicuan Mengatasi Kemiskinan di NTT


Salah satu teknik pemicuan dalam STBM adalah masyakat harus dibuat malu dengan keadaan mereka. Dibuat jijik dengan keadaan di sekitar mereka. Teknik ini ternyata berhasil merubah pola hidup mereka menjadi lebih sehat.


Menimbulkan rasa malu dalam diri seseorang ternyata memang sangat efektif. Seseorang yang merasa malu dengan keadaan yang buruk dalam dirinya akan berusaha untuk menjadi lebih baik di hadapan yang lain. Seorang pencuri akan diarak keliling agar ia merasa malu dan tidak mengulangi perbuatannya. Seorang koruptor diberitakan dgn heboh, dicibir dan dipenjarakan agar malu dgn perbuatannya dan tidak mengulangnya lagi. Seorang mahasiswa yang nyaris DO akan dibuat malu agar termotivasi untuk menyelesaikan kuliahnya.

Rasa malu bisa membuat seseorang depresi, tapi setelah itu ia akan bangkit dengan tekad perubahan menjadi lebih baik.

NTT adalah propinsi penuh gengsi yang mencoba bangkit dari kemiskinan yang memilukan. Hasil perangkingan terbaru masih menempatkan propinsi ini ada di buntut propinsi lainnya dalam persoalan kemiskinan sejak propinsi ini berdiri. Tetapi gengsi propinsi ini sangat tinggi, rasa malu atas kemiskinan yang mendera tidak menyurutkan gengsi untuk menerima keadaan yang ada. Mulai dari pejabat pemerintah sampai klaster paling bawah menolak disebut miskin. Kekayaan alam yang tidak seberapa dipertontonkan sebagai kekayaan yang membanggakan agar tidak disebut miskin. Potensi pariwisata dikembangkan dengan trilyunan rupiah dana untuk menutupi keadaan sebenarnya bahwa yang miskin adalah rakyatnya.

Stigma NTT miskin yang seharusnya menjadi pemicu kebangkitan rakyat untuk melawan ternyata tidak menjadi tindakan perubahan malah stagnan sebatas argumen sampah dengan validitas absurd. Berita dan iklan di media tentang kemiskinan di NTT dianggap sebagai eksploitasi berlebihan yang bertentangan dengan realitas yang ada. Tentunya masih jelas ingatan kita pada iklan Lifebuoy yang menuai kontroversi. Sebelumnya, pernah ada iklan aqua yang tidak kalah hebohnya ketika dengan sengaja mereka mempertontonkan dialek dan kondisi di pedalaman Kabupaten TTS. Dua iklan tersebut mendapat penolakan karena dianggap mengeksploitasi kemiskinan untuk keuntungan perusahaan.

Aneh memang, jika sebuah fakta ditunjukan dengan data akurat saja sudah mendapat penentangan, entah bagaimana jika fakta tersebut berubah menjadi prokem yang terdengar lebih kasar atau kiasan yang menyembunyikan fakta.

Atas nama gengsi, kekayaan NTT dipertahankan dengan argumen dalam hampir semua diskusi atau debat tanpa tindakan konkrit. Tidak ada yang dihasilkan dari diskusi panjang sepanjang dekade kemiskinan ini. Program pengentasan kemiskinan berakhir meninggalkan nama dan kenangan tanpa strategi mempertahankannya agar tetap berjalan. Ratusan koperasi didirikan untuk mendongkrak ekonomi ternyata hanya berupa pinjaman untuk mempertahankan hidup, bukan sebagai modal usaha jangka panjang. Kelompok-kelompok ekonomi kreatif banyak dibentuk oleh pemerintah dan LSM-LSM ternyata juga hanya menjadi program sesaat yang gulung tikar setelah program itu berakhir. Ratusan program pemberdayaan lagi-lagi hanya sebuah simbol pengentasan kemiskinan.

Jika berpijak pada konsep pemberdayaan masyarakat yang digadangkan oleh PBB, maka sesungguhnya kita bukan pada taraf itu. Terjemahan yang salah oleh pelaku program malahan tidak lagi menjadikannya sebagai standar atau pedoman pemberdayaan, sialnya kesalahan menerjemahkan konsep ini dilakukan juga oleh badan-badan PBB dan NGO-NGO Internasional yang saat ini bekerja di Timor Barat. Atas nama quantitas, penerima manfaat tidak dipicu untuk melakukan perubahan tetapi dipicu untuk memenuhi target program. Inilah alasan utama mengapa program-program pemberdayaan selalu kandas ketika masyarakat tidak lagi didampingi.

Saya setuju bahwa NTT adalah propinsi miskin. Ini akan menjadi dorongan bagi siapapun untuk keluar dari zona yang tidak mengenakan ini. Tetapi untuk keluar dari situ bukan hal sepele yang bisa diselesaikan dengan argumen atas nama gengsi. Masyarakat NTT harus menerima kenyataan memalukan ini dengan lapang dada, melepaskan kepentingan pribadi dan kelompok, dan menerima dengan positif pihak luar yang hendak membangun masyarakat tanpa merusak budaya dan alam di sini.

Selama beberapa dasawarsa disebut sebagai propinsi miskin, seharusnya kita bisa melepaskan nilai itu dengan tidak mempertahankan gengsi kita. Sebab ketika kita menolak disebut miskin dengan alasan harga diri, maka saat itu juga kita telah kehilangan harga diri. Kehormatan adalah ketika kita dengan tulus mengakui diri kita apa adanya. Kita memang harus berpikir kritis, tapi kekritisan kita harus memiliki latar belakang dan memperhitungkan masa depan. Jika tanpa ini, maka kita ada di zona kritis, menunggu waktu diterkam krisis.

Jika ada orang yang ingin membangun NTT karena prihatin oleh kemiskinan kita tanpa merusak alam dan budaya, maka hilangkan gengsi kita yang tega menghakimi niat baik itu. Sebab mereka datang karena kita tidak bisa menyelesaikan persoalan yang ada. Mereka datang karena kita selama ini hanya banyak bicara tanpa aksi nyata. @dodydoohan




Share

22 Nov 2013

Sepotong Catatan dari Pentas Teater "CRASH+18, Suara Dari Gerbang Selatan NKRI


CATATAN ini bukanlah bentuk penghakiman terhadap karya seni, tetapi ini adalah sebuah tradisi berkesenian yang harus dibangun sebagai bentuk perhatian dan apresiasi. Kreativitas dan dialog yang kritis adalah dua hal yang harus seiring sejalan sebagai cara mendewasakan manusia dengan karya yang dihasilkan.


***

Apa yang anda bayangkan jika saya menyebut TEATER atau PERTUNJUKAN TEATER? Mungkin anda akan berpikir seperti saya; sebuah pertunjukan peran atau akting di atas panggung dengan adegan demi adegan yang penuh dialog, mimik, gesture, blocking, juga tata lampu dan panggung. Menurut wikipedia, Teater adalah istilah lain  dari drama, kisah hidup dan kehidupan manusia yang diceritakan di atas pentas dengan media yaitu percakapan, gerak dan laku didasarkan pada naskah yang tertulis ditunjang oleh dekor, musik, nyanyian, tarian, dsb. Tetapi dalam pengertian yang lebih luas, teater adalah proses pemilihan teks atau naskah, penafsiran, penggarapan, penyajian atau pementasan dan proses pemahaman atau penikmatan dari public atau audience (bisa pembaca, pendengar, penonton, pengamat, kritikus atau peneliti). Proses penjadian drama ke teater disebut proses teater atau disingkat berteater. Teater bisa diartikan dengan dua cara yaitu dalam arti sempit dan dalam arti luas. Teater dalam arti sempit adalah sebagai drama (kisah hidup dan kehiudpan manusia yang diceritakan di atas pentas, disaksikan orang banyak dan didasarkan pada naskah yang tertulis). Dalam arti luas, teater adalah segala tontonan yang dipertunjukkan di depan orang banyak.

“CRASH+18” Suara Dari Gerbang Selatan NKRI

Bicara tentang teater, Kota Kupang barangkali termasuk salah kota yang geliat berteater masih terbilang sepi. Nyaris hanya satu kali pementasan dalam setahun, itupun baru terjadi dalam tiga tahun terakhir. Dimulai dengan Rumah Poetika Kupang yang dua tahun berturut-turut menyuguhi Republik Ko’uk dan Ratu Balonita. Di susul monolog dari Forum Akademia NTT bertajuk Monologia Flobamora. Dan beberapa hari lalu oleh Karnaval Art Project dengan judul CRASH+18, Suara dari Gerbang Selatan NKRI. Jika sebelumnya Rumah Poetika menghadirkan sastrawan nasional seperti Gerson Poyk, Putu Wijaya dan Radhar Panca Dahana, Karnaval Art kali ini menghadirkan Cornelia Agatha yang turut memberikan nyawa dalam pementasan ini.

Adalah Mario Lema, sang penulis naskah, sutradara sekaligus pemeran sosok Raka menggambarkan niatnya membuat pementasan ini karena motivasinya untuk membangun seni dan budaya di NTT. Pementasan teater ini menyoroti masalah HIV/AIDS di Kota Kupang yang kian tumbuh subur dari hari ke hari dan dimainkan oleh anak-anak muda Kota Kupang sendiri.

Sayangnya, dalam pementasan ini Mario mungkin terlalu fokus pada gerak dan bukan pada kualitas teater secara menyeluruh. Gerak yang dimaksud di sini pun bukan gerak dalam keseluruhan adegan tapi hanya pada adegan dance. Sayangnya lagi, ternyata ini pun tidak dikuasai dengan baik sosok bernama Rere yang terlihat melakukan kesalahan pada adegan dance. Dalam adegan lainnya, gesture menjadi sesuatu yang monoton diantara dialog panjang yang membosankan. Para pemain terlihat ragu-ragu menghayati gerak. Beruntung ada sosok Jack yang menyelamatkan keadaan dengan keaktorannya yang kocak.

Persoalan gerak atau gesture ternyata tidak bisa ditutup dengan dialog yang baik. Mungkin karena sibuk berlatih gerak tari, Mario lupa untuk melatih vokal para pemain. Artikulasi dan volume dihampir semua adegan sangat tidak jelas. Alur drama atau konflik yang seharusnya bisa dinikmati penonton hilang ditelan ketidakjelasan ini. Selain itu, enam pemain yang menguasai panggung dari awal sampai akhir pementasan dengan kostum yang terus berganti membuat pergantian dari adegan ke adegan menjadi sangat lama karena harus menunggu pemain berganti kostum. Penonton pun menjadi bosan dalam penantian menuju adegan berikutnya.

Kesalahan fatal dalam pementasan ini sebenarnya bukan hanya pada gerak dan dialog, tapi peran multimedia yang mengambil alih pementasan. Multimedia yang seharusnya hanya sebagai pendukung ternyata dijadikan film layar lebar hanya untuk menggambarkan bahwa para pemain berada di tempat lain. Alhasil, penonton pun disuguhi beberapa adegan yang diputar dari proyektor.

Dalam pementasan teater, ini hal yang tidak boleh terjadi. Sebab apapun peristiwa yang terjadi dalam naskah harus digambarkan di atas pentas oleh sutradara lewat tata panggung dan kemampuan pemain di atas panggung. Penggambaran adegan lain lewat film yang mengambilalih peran panggung hanya akan memunculkan spekulasi atas ketidakmampuan sutradara dalam mengelola naskah dan panggung. Padahal jika dilihat, tata panggung yang ada sangat cukup untuk memunculkan adegan-adegan tersebut di atasnya. Kesalahan lain dalam pengelolaan multimedia ini juga sangat mengganggu pementasan ketika di tengah-tengah dialog antara Tata dkk, tiba-tiba muncul foto seorang lelaki yang tidak jelas untuk apa wajah narsisnya ditampilkan.

Meski tata panggung sangat baik, ternyata lighting menjadi masalah baru yang tidak bisa dimanfaatkan dengan maksimal oleh para pemain sebab masih ada yang gemar bermain di area shadow. Selain itu, banyaknya lighting ternyata hanya sebagai pendukung panggung dan bukan sebagai pendukung adegan yang disajikan karena tidak ada perbedaan warna lampu untuk setiap suasana yang terus berganti dari menit ke menit.

Tata busana yang sederhana dan tata rias yang menimalis sudah sangat mendukung setiap peran yang dimainkan. Kehidupan sehari-hari memang tidak perlu digambarkan dengan dandanan yang wah. Kesan minimalis sebagai gambaran realitas sehari-hari kehidupan anak muda kupang sudah sangat diwakili oleh hal ini. Demikian pula dengan tata suara cukup baik sehingga menghasilkan kualitas suara musik yang pas. Hanya sedikit masalah dengan mic yang dikenakan Cornelia Agatha pada saat membacakan puisi yang kedua.

Sampai akhir pementasan, saya lagi-lagi harus kecewa karena cerita berakhir di klimaks tanpa anti klimaks. Rere yang menangisi dirinya karena HIV ditutup oleh suara MC sebagai tanda berakhirnya pementasan. Padahal saya masih penasaran apa yang terjadi setelah itu dengan Rere, minimal yang ingin saya tahu adalah tanggapan sahabat-sahabat Rere atas kondisinya. Atau juga, apa sebenarnya makna “Suara dari Gerbang Selatan NKRI.” Apakah hanya sekedar informasi bahwa dari selatan NKRI ini ada juga penderita HIV/AIDS?

Penutup
Apresiasi tentunya harus diberikan kepada Mario Lema dan Karnaval Art yang sudah berhasil menyuguhkan hiburan langka bagi warga Kota Kupang. Pementasan teater yang kontinyu semoga bisa menjadi salah satu cara mengajak warga kota ini lebih mencintai dunia teater, dunia yang masih ditirikan di sini. Semoga Karnaval Art tidak menjadi seperti lainnya yang pentas hari ini untuk mati esok pagi, tetapi terus menghadirkan semangat berteater yang semakin berkualitas dari hari ke hari. Tentunya untuk menghadirkan ini bukanlah hal yang mudah karena harus terus dibarengi dengan latihan tanpa henti untuk meningkatkan kualitas vokal, gerak dan penghayatan terhadap peran.

Secara keseluruhan, naskah “CRASH+18” Suara Dari Gerbang Selatan NKRI memang belum maksimal secara dramaturgi meski sepertinya ini penuh dengan pesan moral. Tetapi, harus dimaklumi sebab Mario adalah pendatang baru dan niat untuk belajar sudah tentu menjadi nilai tambah. Dari sisi keaktoran dan blocking harus bisa lebih dimaksimalkan termasuk sinkronisasi keduanya dengan panggung dan lighting. @dodydoohan




Share

4 Nov 2013

Hari Terakhir Duka

Catatan : Cerpen ini pernah dimuat di rubrik Oase - Kompas

"Carilah seseorang untuk kau rindukan, aku tak mungkin terus ada di sisimu. Rindumu hanya akan membebani langkahku untuk terus berjalan, menyusur hari-hariku." katamu. Aku tertunduk. Bukan pertama kali kau meminta aku melakukan ini. Dan ini bukan hanya tentang aku yang terus merindukanmu, tapi juga masa depan yang telah kau bingkai seindah pelangi di sana. Di tempat segala duka kau kubur dan tak seorang pun mengetahuinya. Kecuali aku.

"Tidak, biarkan aku terus memujamu dengan caraku, dalam kesepianku. Sekian lama aku telah menikmati semua pahit ini, dan aku akan terus menikmatinya, sampai kutemukan cara lain untuk mencintaimu. Jika rinduku menjadi beban bagimu, anggap saja kita tak pernah bersama. Bukankah sekian lama, bagimu aku adalah kesepian."

"Tapi kau akan terus tersiksa dengan perasaanmu, dan aku tak mungkin menutup mata dengan semua hal tentang dirimu, terlebih cinta yang kau diamkan dalam kesepianmu. Buka hatimu, ada orang lain yang bisa mencintaimu lebih baik dari aku. Kita tak mungkin bersama lagi. Kau harus mengerti keadaanku.”

Evania, gadis ini kembali memohon padaku setelah dua tahun yang hilang kembali mempertemukan kami. Dua tahun yang hilang, dan hingga saat ini belum ada yang mampu meluruhkan seluruh perasaan kami. Rindu memuncak di tiap hari yang terlewat. Cinta masih berdetak sama layaknya dulu. Tapi pertemuan kali ini hanya untuk mempertegas masa silam kami akan kebersamaan yang tak mungkin lagi. Kebersamaan yang harus rela dipisahkan oleh pikiran kolot zaman Siti Nurbaya.
Aku menatapnya sambil memegang tangan yang semakin kurus itu. Mata itu, yang pernah melepaskan segala kesedihanku, kini tak mampu menyembunyikan duka meski bibirnya berusaha menutup itu dengan senyumnya yang meluruhkan kesepianku selama ini.

“Dua tahun lebih aku bersembunyi. Dua tahun pula aku menyimpan semua kepinganku sambil berusaha menyusunnya kembali seperti sediakala agar kelak aku mampu bangkit dan tak seorang pun yang tahu bahwa aku pernah hancur. Kau tahu, itu tak pernah mudah bagiku. Ini jalan terberat yang pernah kutempuh dan tak seorang pun yang datang untuk menopang aku. Kini kepingan itu nyaris sempurna kususun. Aku siap untuk bangkit, tapi aku ingin kau ada jika saat itu tiba agar bisa kau saksikan bagaimana seorang yang pernah hancur karena mencintaimu bisa bangkit dari kehancurannya tapi tetap mengagungkanmu dalam cintanya. Aku tak mungkin bangkit tanpamu. Kepingan ini harus ditopang ketika akan berdiri agar tak jatuh dan hancur lagi untuk kesekian kali. Dan kamu, hanya kamu yang bisa menopangnya.

“Tidak! Bukan aku. Kamu bisa bangkit bahkan berlari tanpa aku. Kehadiranku hanya akan membuatmu melangkah dalam bayang-bayangku yang tak mungkin lagi meneduhimu. Kamu harus bisa sendiri. Yang kamu butuhkan kini hanya satu keyakinan, bahwa akan ada orang lain yang mampu membuatmu jauh lebih baik. Bukan aku. Buka matamu. Dunia ini sangat luas dan aku bukan satu-satunya perempuan yang tinggal di dalamnya.”

Matanya beralih ke pintu yang setengah tertutup dengan pandangan kosong, menerawangi gersangnya rumpun pisang yang nyaris kering terbakar terik. Aku berharap ia dapat merenungi hidupku dari rumpun pisang itu. Hidup yang nyaris kering. Untuk terus hidup, harus ada yang menyiramnya dengan cinta dan perhatian yang tulus.

***
Memang benar apa yang dikatakan Evania. Evaniaku yang kini telah merintis deritanya dalam kesepian di negeri batas. Kesepian yang sengaja ia ciptakan untuk untuk menghalau lebih banyak duka berkecamuk dalam dadanya yang telah penuh dengan goresan luka masa lalu. Aku mengaguminya. Ketegaran Evania untuk terus bertahan menghadapi kehidupan yang bukan mimpinya. Dan bukan mimpi semua perempuan, tentu saja. Mimpi-mimpi yang ia ciptakan semenjak gadis harus ia buyarkan kala ia harus menikah dengan seorang lelaki yang tidak lebih dari pecundang. Lelaki yang tak pernah peduli apa yang dimakan seorang Evania dan anaknya. Lelaki yang menggunakan bajunya sirahnya agar selalu terlihat bijaksana dan berwibawa.

Di negeri barunya, Evania harus menciptakan juga mimpi-mimpi baru untuk hidupnya dan membangun semua itu dalam waktu satu malam. Bagaimana tidak, ia seperti memasuki belantara yang sangat kelam dan asing. Ia harus bergulat antara rasa takut oleh kekelaman itu atau mencari jalan agar mampu beradaptasi. Bertahan dengan rasa takut hanya akan membuat ia dikuasai oleh ketakutan itu sendiri dan kekelaman akan semakin menjerumuskan ia ke dalam ngarai yang kian dalam. Evania sungguh perempuan tangguh. Ia berhasil melawan arus, membalik ketakutan dan menerangi kekelaman jalannya, dan pada akhirnya dialah yang memegang pelita dikendalinya dalam hitungan waktu yang singkat.

Namun, sehebat-hebatnya seseorang dikehidupannya, toh ia memiliki rasa rindu untuk menggenggam kembali mimpi-mimpinya di masa silam. Inilah yang tak mampu ia kendalikan. Prahara rumah tangganya dari hari ke hari kian menjadi ruwet. Rasa cinta kian hari hanya sebuah kata untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan formal. Nyaris tak lagi bergetar.

Aku memahami semua yang terjadi pada Evaniaku akhir-akhir ini. Ia bangun mimpi tapi harus kandas oleh ego seorang bajingan. Dan bajingan itu juga yang memporak-porandakan ruang hati yang kusiapkan khusus untuk Evania tapi tiba-tiba hancur oleh undangan pernikahan yang sampai ke rumahku. Berhari-hari aku kehilangan selera makan, hanya tidur dan meratapi nasib hingga akhirnya aku merasa sadar, bahwa mungkin inilah jalan Tuhan untuk memberi kebahagiaan bagi Evaniaku. Mungkin pernikahannya akan mampu memunahkan luka dan duka yang sebelumnya sering digoreskan dengan sempurna oleh sekian jumlah lelaki dalam hatinya. Aku mencoba iklas meski tak iklas oleh kenyataan ini. Dengan segala kekuatan, aku menggenggam tangannya, memberikan kecupan terakhir tatkala ia dipinang secara adat, lalu pergi dari kehidupannya selama berwaktu-waktu.

Aku pergi darinya untuk membuang segala perasaan tentang dia dengan susah payah. Berbulan-bulan kugembalakan kehidupan ini dalam padang kritis dukaku. Menjaga hakikat rindu sestabil mungkin agar tak terperosok ke dalam ngarai duka yang kelam. Hingga pada satu titik dan aku merasa percuma dengan perjuanganku menghalau bayang-bayangnya. Ia kurindukan kala malam dan siang, kala panas dan hujan. Pada akhirnya, ia menjadi alasan mengapa aku harus berdoa. Ia menjadi alasan aku harus menjadi kian tegar. Ia menjadi alasan bagiku untuk kembali menemukan dunia yang hilang, mencari lagi kepingan yang telah terbuang dan menyatukannya lagi.

Kami bertemu di sudut peradaban yang telah lama kutinggalkan setelah perpisahan yang sangat lama. Perjumpaan ini meninggalkan kesedihan yang teramat sangat, menambah lagi sehasta duka dalam cerita kelamku. Evania bukan lagi seperti yang kubayangkan. Sosok magis itu kian kurus tubuhnya termakan derita kesendiriannya. Pundaknya dipenuhi tanggungjawab kehidupan yang berat, melebihi apa yang mampu ia pikul.

Saat itu aku sadar, yang ia butuhkan bukan hanya doa. Tapi juga pelukan agar ia tak merasa sendiri menjalani hidupnya. Ia butuh teman berbagi duka. Teman yang mampu mengerti segala hal dalam pergumulan hidupnya. Ia butuh aku untuk mengurangi lingkar matanya yang menghitam termakan airmata. Ia butuh pundakku untuk berbagi beban hidupnya. Ia adalah cintaku. Maka kurelakan hatiku, jiwa dan ragaku untuk memberi setiap hal yang ia butuhkan untuk menemukan kembali kebahagiaan sejati yang sekian lama menghilang dari kehidupannya.

***
Aku kembali memegang tangan itu. Tangan Evaniaku yang malang, memberinya isyarat agar melihat aku yang di sisinya. Tapi Evania tetap menujukan matanya ke arah pintu dan gersang rumpun pisang di depannya. Dan aku merasakan gemuruh di dadanya, pergumulan batinnya antara menahan airmata agar tak mengalir atau membiarkan semua kesedihannya mengalir deras di hadapanku.


“Evania, kau tahu? Jiwa kembaraku mengarahkan langkah untuk kembali kepadamu. Hatiku setiap hari berseru-seru dalam dada untuk datang padamu. Bukan karena aku tak mampu menemukan perempuan lain, bukan. Bukan itu. Aku kembali, karena aku harus kembali kepadamu. Aku tidak datang untuk menawarkan kebahagiaan yang dulu pernah kusiapkan. Tidak. Aku juga tak datang untuk mengambil sisa kebahagiaanmu. Tidak. Sama sekali tidak. Aku tak datang untuk itu. Aku terlahir bukan untuk berbagi kebahagiaan denganmu tapi untuk mengambil semua duka dari hatimu menjadi milikku. Untuk memberikan pundakku agar kau bisa bersandar. Kau tahu, Evania, untuk alasan apa pun, kau tak pantas memiliki semua kepedihan ini.”

Kalimat terakhirku menyentaknya. Hentakan yang pelan tapi ternyata mampu membobol airmata yang sedari tadi ia bendung. Kubiarkan ia merebut dadaku dan jadikan tempat menangis, melepaskan semua perih yang selama ini membelenggu dan mengekang jiwanya. Kupeluk ia seerat aku memeluk dukanya. Aku tak akan melepasnya lagi untuk pergi menderita di sana. Sendiri.
“Menangislah sayang, sepuasmu. Karena ini adalah hari terakhir kau berduka.”

*Penulis adalah seorang pegiat Sastra di Kota Kupang – NTT dan tergabung dalam komunitas sastra Rumah Poetika Kupang. Beberapa karya pernah dimuat dibeberapa harian lokal Kota Kupang. Kompas merupakan salah media yang pernah memuat puisi-puisinya. Salah satu sajaknya juga menghias antologi karya Fiksi Surat Cinta hasil garapan bersama di Kompasiana, Antologi Puisi Sastrawan NTT, dan Antologi Cerita Pendek Sastrawan NTT. Sering berkicau tak jelas di twitter @dodydohan




Share

2 Nov 2013

Asnat dan Buruh

Jalanan kota jakarta macet total. Kali ini bukan macet karena terlalu banyak kendaraan, tapi karena demo ribuan buruh. Demo kali ini entah yang keberaparatus kali mereka lalukan untuk menuntut kenaikan upah. Ribuan massa buruh yang tergabung dalam beberapa organisasi buruh ini bahkan tak segan-segan bertindak anarkis. Tercatat puluhan kendaraan bermotor dan fasilitas umum dirusak. Ini baru yang sempat terhitung, kerugian materiil dan non-materiil lainnya belum sempat dihitung. Kerugian materi lain misalnya adalah kerugian perusahaan yang pada hari demo ini harus berhenti beroperasi, non-materi bisa berupa efek ke depan akibat hilang kepercayaan investor luar negeri terhadap Indonesia.


Namun, nyatanya tidak semua buruh menuntut hal yang sama. Sebagian buruh memilih tetap bekerja meski akhirnya mereka dipaksa keluar untuk ikut dalam demo. Ada hal menarik yang nampak ketika demo ini berlangsung. Beberapa kelompok buruh yang melakukan demo dengan konvoi kendaraan bermotor, entah disengaja atau tidak menggunakan sepeda motor yang kisaran harganya di atas 25- 60 juta rupiah. Sebut saja kawasaki ninja yang harganya nyaris 55 juta ini ada diantara barisan pendemo.

Tentu saja ini hal yang aneh dan lucu. Di kala mereka berteriak upah mereka tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup di kota Jakarta, saat itu juga mereka memamerkan harta yang bahkan mungkin tidak bisa dibeli oleh lain saking mahalnya.

Tuntutan mereka ini hanya didasarkan atas survey biaya hidup atau kita sebut saja Cost of Living Survey. Survey ini dilakukan untuk mengetahui pengeluaran yang dilakukan oleh seorang pekerja dalam waktu satu bulan, mulai dari hal yang paling kecil sampai pengeluaran besar lainnya. Tentu saja hasil survey ini tidak bisa dengan begitu saja dijadikan standar upah minimum, sebab setelah pengisian, biasanya akan terjadi over budget yang tidak sesuai dengan yang sebenarnya terjadi. Nah, standar hasil survey inilah yang ternyata dijadikan alasan para buruh melakukan demonstrasi menuntut upah yang layak.

Saya tidak ingin masuk lebih jauh ke ranah mereka. Tetapi tuntutan buruh yang berlebihan tanpa memikirkan hal lain-lain ancaman terhadap industri juga perekonomian Indonesia. Jika gaji buruh tetap naik sesuai tuntutan mereka, maka untuk menyelamatkan perusahaan hanya ada tiga cara yang bisa dilakukan oleh pengusaha. Pertama mengurangi jumlah tenaga kerja dan mengganti peran manusia dengan mesin. Ini berarti bahwa akan ada ribuan pengangguran baru mengisi statistik Indonesia. Kedua, menaikan harga hasil produksi. Ini adalah yang paling berbahaya karena dampaknya bukan hanya Jakarta tapi seluruh Indonesia. Semakin tinggi harga barang, semakin turun minat beli masyarakat atau bisa jadi semakin banyak masyarakat miskin di negeri ini, dan bukan tidak mungkin para buruh pun akan merasa berat dengan harga baru dan lagi-lagi mereka bisa saja menuntut lagi upah baru.  Ketiga, memindahkan tempat produksi tidak lagi di jakarta, tapi ke tempat lain yang jasa buruhnya masih murah. Tapi alternatif terakhir ini membutuhkan waktu yang panjang dan biaya yang tidak sedikit.

Buruh memang manusia, apalagi jika tempat mereka adalah Jakarta yang apa-apa serba uang. Tetapi tuntutan yang tidak logis hanya akan menjebak mereka pada tuntutan demi tuntutan hidup. setelah ini, bukan tidak mungkin akan adalagi tuntutan lain terhadap perusahaan atas nama hidup layak mereka.

Hidup layak di sini adalah buruh secara ekonomi dapat memenuhi kebutuhan dia dan keluarganya setiap bulan dengan upah yang cukup. Tuntutan hidup layak ini mengingatkan saya pada seorang Asnat Bell, seorang guru dengan gaji Rp. 50.000 per bulan di pedalaman kabupaten TTS. Asnat yang sederhana tak pernah menuntut kenaikan upah selama sepuluh tahun pengabdiannya. Asnat yang dengan tulus mengabdi demi menciptakan generasi-generasi berotak Habibie. Asnat yang sempat dipecat hanya karena menerima sumbangan dari orang-orang yang peduli padanya. Asnat yang luar biasa, yang mampu menahan perut lapar karena menyadari kemiskinan negerinya, meski ia tahu, bahwa seharusnya dia bisa saja menuntut upah yang layak untuk kehidupannya.

Asnat memang bukan seperti buruh di Jakarta yang pada akhirnya tuntutan mereka disetujui oleh Jokowi meski hanya 2,4 juta per bulan. Tetapi Asnat harusnya bisa menjadi inspirasi bagi banyak orang untuk mengabdi tanpa menuntut secara berlebihan. Asnat tidak punya organisasi yang kompak seperti para buruh, tetapi ia memiliki kepribadian sederhana yang jauh melebihi pikiran siapapun akan kehidupan.




Share

28 Okt 2013

Bawa Beta Pulang



Redup, samar, dan gulitalah sudah...               
Segera!!!
Sebelum waktu pagi
Hingga di dahan embun

Lafas, lafaskan sudah...
Hingga nafasmu segara
Dan tak perlu kau garami
Supaya ia jangan lautan

Tarik, tarik...
tariklah sepanjang panjangnya kuatmu
sebab larik kita bukan tatanan huruf
di atas carik meterai

rindu, rindu...
rindukan beta meski pusara
nanti ini cinta beta tinggal jadi pusaka
jaga dia bae bae
penuh sukacita

jangan malele lai itu ina tana punya aermata
jang malele lai...!!!
kalo tusuk konde jangan sampai patah
beta punya doa sonde akan lepas

banjir, banjir, banjir....
banjir dari mama tar barenti
manangis lihat tanah su bapetak deng lobang mangan
lihat marmer su jadi orang kaya

di sana mama manangis
beta di sini bamandi banjir
mama pung sakit beta pung lompor
mama pung susah beta pung duka

Malaka deng Bena su bananah, mama....
di Benanain ada bunga dari mutis
ada juga kayu gelondong
ada juga anak kecil
mangalir bae ikot aer

padi su rata mama...
padi su rata di Rata Bena
rata deng mama pung banjir aermata
kalo mama sedih,
ini su ko dia pung akibat?

Mamaaa....
Bawa beta pulang
Bawa beta pulang sakarang
Kalo memang ini tanah sonde ramah lagi untuk mama
Bawa beta sakarang ju, pulang!

Mama, adi di sana manangis bacari susu
Tapi bawa beta pulang sakarang kalo mama sonde peduli dia
Bawa beta sakarang ju, pulang!

Mama...
Om deng tanta su dudu manangis di atas bedeng
Sayur su sonde ada lai
Kalo mama sonde peduli ju
Sakarang ju bawa beta pulang

Mama...
Kaka di sana batunjuk sapa harus babujuk mama
Kasi diam mama barenti basusah hati
Kalo ada hari bae nanti
Semoga dong sonde lupa kasi senang mama
Tadah mama pung aermata ko jang banjir lai
Kalo sonde...
Bawa beta pulang sakarang ju...




Share

20 Okt 2013

Lagi-lagi, Media Kupang Memperkosa Sastra.



Alangkah kecewanya saya membaca dua koran lokal Kota Kupang Edisi hari ini, Minggu, 20 Oktober 2013. Adalah Victory News dan Pos Kupang, koran kebanggaan NTT ini lagi-lagi membuat kecerobohan dalam rubrik sastra mereka.
Memang ini bukanlah dosa yang besar, tapi jika dipikirkan lagi, saya patut mempertanyakan keseriusan dua media ini mengelola rubrik sastra mereka (VN : Rubrik Sastra dan Budaya; PK : Puisi –Cerpen) karena adalah sebuah kebodohan jika hal yang sama masih terulang.
Sebelumnya, karya saya dan teman-teman pernah diperkosa dua media ini berulangkali. Tetapi kesalahan tersebut tidak pernah diralat oleh mereka. Dalam kasus kami saat itu, orang yang saya tuduh paling bertanggung jawab adalah editor dan layouter. Kesalahan mulai dari puisi yang terpenggal, urutan bait yang berubah, kesalahan nama penulis, juga merubah tanda baca dan huruf dari huruf kecil menjadi kapital dan sebaliknya. Padahal, seringkali dalam puisi, berlaku yang namanya semiotika, di mana tanda baca dan huruf menjadi sesuatu yang sangat penting sehingga hal tersebut selalu disengaja oleh penulis untuk berada di situ.
Hal-hal yang saya sebutkan di atas bukan hanya sekali terjadi dan bukan hanya diderita oleh satu penulis, karena beberapa penulis yang saya kenal pun sudah mengeluhkan hal yang sama sejak lama. Menyikapi tidak adanya niat baik dari media-media tersebut untuk meminta maaf maka saya dan beberapa teman-teman akhirnya memutuskan untuk tidak lagi mengirim karya kami untuk media lokal yang ada di Kupang.
Untuk edisi hari ini, saya tidak tahu apakah puisi yang dikirimkan penulis memang seperti yang sudah dimuat itu ataukah ternyata sudah ada perubahan sana-sini oleh editor kedua surat surat kabar tadi. Jika memang tidak ada perubahan apa pun dari editor, maka pertanyaan saya selanjutnya adalah; bagaimana mungkin puisi yang menggunakan Bahasa Indonesia dengan beberapa ejaan yang salah ini bisa dimuat di media yang punya kapasitas dan nama besar?
Salah ejaan ini bukan hanya terdapat dalam sebait dua bait puisi, tapi nyaris semua puisi di dua media ini menampilkan kesalahan yang sama. Salah ejaan yang saya maksud di sini adalah kata yang seharusnya lengkap dituliskan ternyata telah kehilangan satu huruf alias kurang huruf atau ada kata yang malah kelebihan huruf, dan ada kata yang huruf vokalnya sudah diganti dengan huruf yang lain.
Kesalahan fatal ini bisa kita baca dalam puisi-puisi di Victory News karya Philipus Keban dan Engky Keban. Sementara Pos Kupang merilis 4 buah puisi yang semuanya ditulis oleh Margareth Febhy Irene.
Mungkin salah ejaan ini kelihatannya sederhana. Ya, sederhana. Tapi sederhana itu hanya berlaku jika yang kita tulis adalah kata-kata puitis dalam sms atau BBM kita. Sederhana itu hanya jika kita menulis untuk dimuat sebagai status facebook atau twitter. Sudah tidak sederhana lagi jika kesalahan dibuat oleh dewan redaksi dari media cetak yang namanya sudah sangat terkenal di mana-mana.
Adalah kesalahan sangat fatal, jika penulis mengabaikan ejaan yang baik dan benar, apalagi jika ini bertalian dengan karya sastra, karya puisi. Puisi adalah bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga mempertajam kesadaran orang akan pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama dan makna khusus (KBBI). Memang puisi sekarang bukanlah puisi yang masih terikat oleh rima, matra, bait dan larik. Tetapi sampai kapanpun puisi akan selalu terikat oleh bahasa induknya. Kesalahan dalam menulis tanda baca atau huruf dalam puisi bisa berakibat puisi tersebut kehilangan makna di tangan orang-orang yang membacanya. Apalagi jika puisi dihasilkan dari bahasa daerah yang rumit, yang tidak pernah didengar orang lain, maka semakin sulitlah puisi tersebut mempertajam kesadaran orang.
***
Ternyata, kesalahan hari ini tidak hanya terjadi pada puisi. Di Pos Kupang halaman 14 menulis dengan sangat salah nama cafe di Lasiana yang sering jadi tempat nongkrong kita. Bukan OCD Cafe yang tertulis, tapi ODC Cafe. Semoga setelah dimaafkan beberapa penyair Kota Kupang, kali ini Om Ody Messakh juga mau memaafkan mereka.


Sumber Gambar : Google




Share

17 Okt 2013

Zahania

Zahania,
Aku menjerang terik di batas kota
Menyambutmu yg datang sebagai hujan

Zahania, jika ada kata yg ingin kau sampaikan
Katakanlah lewat tetes hujan yg jatuh
Jangan lagi kau tulis di tengah mendung dan gelisah...

Zahania, ribu waktu ribu senja
Kita masih suka bermain kesenjangan
Sementara di sana, di utara cakrawala
Ada yg kusebut kemarau terus membakar
Menjadikan aku tak lebih dari jelaga

Zahania, dalam cinta sudah hening padam
Aku masih berupaya tak kehilanganmu...


Kupang, Oktober 2013




Share

10 Okt 2013

Dicky itu Pernah Menjengkelkan!!!



Christian Dicky Senda, saya lupa kapan nama ini pertama kali saya dengar, mungkin dipenghujung tahun 2007 atau awal tahun 2008 lewat sebuah blog yang dengan bangga memperkenalkan dirinya sebagai anak Mollo yang lagi merantau di negeri orang. Karena saya juga blogger baru, iseng-iseng saya komen pada salah satu tulisannya, sekedar kasih tau lah ke dia kalau saya lagi memantau pergerakan *cieh* dia di dunia blogger memblogger. Apalagi saat itu lagi heboh yang namanya blog walking ditambah semangat ngeblog saya yang masih tinggi *maklum, pemain baru*
Berminggu-minggu saya menunggu balasan dari orang ini. But, dia tetep cool di negeri sana. Meski demikian tulisan tulisan terbarunya terus muncul dari minggu ke minggu. Akhirnya, saking jengkelnya, link blog dia di sidebar saya hapus. Saya marah, jengkel. Ini orang kampung dari kampung kok sombong banget...!!!
Demikianlah saya menyimpan dendam saya terhadap anak mollo ini tanpa dia tau sampai tulisan ini saya buat. Tetapi kejengkelan saya terhadap orang ini semakin menjadi jadi ketika salah satu iklan yang kami buat dengan susah payah di pedalaman Timor dengan segala perhitungan yang matang dan mempertimbangkan semua resiko andai iklan itu dimuat diprotes oleh Dicky Cs lewat sebuah milis yang berisi para akademisi di NTT. Intinya, saat itu dicky mengirim sebuah tulisan protes atas iklan itu yang ditulis tanpa rasa malu oleh temannya karena iklan itu menjatuhkan reputasi mereka di dunia perantauan. Sebagai anak timor dengan gengsi yang tinggi, mereka merasa bahwa iklan itu sangat menjatuhkan kredibilitas orang timor. Mungkin dicky ini gak salah sih, dia hanya meneruskan sebuah curhat temannya, tapi diskusi di milis tentang iklan tersebut akhirnya menjadi panjang sampai sampai beberapa orang mengusulkan untuk melakukan investigasi terhadap aliran dana untuk pelaksanaan program itu sampai apa yang didapat si anak yang akhirnya jadi bintang iklan terkenal itu.
Saya yang semula hanya menjadi silent reader di milis itu tentu saja berang. Hasil kerja saya dan team untuk membangun kehidupan masyarakat di sana hingga proses pembuatan iklan untuk mengangkat tanah timor diprotes begitu saja tanpa pertimbangan hanya karena dialeg timor yang sangat kental dalam iklan tersebut. saya akhirnya bicara banyak di milis itu, mempertanyakan kapasitas mereka untuk memprotes iklan tersebut juga rasa malu mereka. Mengapa harus malu dengan budaya sendiri jika memang demikianlah budaya kita. Lihat dong film denias yang meledak karena sukses mengangkat gaya bicara orang papua dan budayanya. Mereka tidak malu, tidak ada yang protes, tidak ada yang malu. Mereka bahkan sangat membanggakan film itu. Lalu kenapa orang timor harus marah?
Setelah itu, saya semakin tidak menyukai Dicky, blognya tidak lagi saya baca sekali pun saat itu saya adalah penggemar setianya. Saya bahkan meninggalkan dunia bloggernisasi *eh* hanya karena kejengkelan saya terhadap Dicky Cs. Cukup lama lah pokoknya saya berhenti ngeblog.

Waktu berlalu, Dicky pulang kampung!!! Membawa pulang dengan bangga gelar sarjana untuk orang tua tercinta dan buku kumpulan puisi Cerah Hati. Ahhh anak ini luar biasa. Tapi saya hanya diam, gak mungkin dong saya jungkir balik sambil bilang Palateeee...!!! atau Wow...!!! sambil tepuk tepuk tangan kan???
Dia pulang kampung saat saya dan teman-teman sedang gencar gencarnya dengan promosi sastra di Kupang lewat Temu Sastra Bulanan yang tiap bulan kami gelar di Taman Nostalgia. Lewat pengumuman yang saya buat di facebook, dia menyatakan kesediaannya untuk hadir, itupun kalau punya waktu.  Bah... alasan lagi orang ini. Kalo mo hadir ya hadir aja, gak perlu ngeles bro...
Saya lalu menanyakan kepada teman-teman, emangnya si Dicky itu kerja di mana sih. Lalu dari hasil penelusuran teman teman dan dari intel yang bisa dipercaya saya tau bahwa setelah balik kupang dia bekerja di salah satu perusahaan provit. Pantas aja gak bisa hadir, lha dia harus kejar target, apalagi ditambah frekuensi pulang kampungnya yang nyaris seminggu sekali di akhir minggu, jelaslah sampai kapan pun dia gak akan pernah bisa hadir, lha acara kita ini buatnya di akhir minggu.
Instruksi saya hanya untuk teman teman saat itu, jangan lagi percaya sama si Dicky. Dalam hati, saya semakin tidak menyukai orang ini. Saya benci, benci...!!!
Hingga tibalah di suatu malam yang cerah, ketika itu bintang sudah saya hitung sampai angka dua puluh dua ribu tiga ratus *apa sih* dan bulan sedang nongkrong dengan indah di atas kegelapan yang merdu. Kejutan yang tidak disangka sangka dari Dicky untuk saya datang menghampiri. Dicky dan seorang teman penyair yang juga baru saya kenal menyambangi gubuk deritaku. Saking menderitanya sampai gubuk itu tidak punya tempat duduk selain bekas spanduk caleg yang dicopot dari jalanan dan dijadikan tempat lesehan. Silahturahmi Dicky mengurai kebencian saya selama ini jadi takdir untuk saya harus mengenal seorang Dicky menjadi lebih baik. Dalam hati, saya menarik kembali semua sumpah serapah yang pernah dilontarkan untuk anak ini *emangpernahya?* :D
Akhirnya, saya dan dicky menjadi satu geng, sahabat yang seia sekata dalam aktivitas sastra di Kota Kupang. Sampai akhirnya, kejutan baru dari Dicky datang lagi. Buku kumpulan cerpennya siap terbit, menghampiri dunia sastra NTT. Sialnya bagi saya, kumpulan cerpen yang akan dia terbitkan secara indie ini akan dilakukan saat saya sudah berhenti kerja dan saya membutuhkan dana yang besar untuk sebuah perjalanan jauh menyusuri garis khatulistiwa untuk berpromosi tentang keadilan dan perdamaian di dunia, juga tentang adaptasi perubahan iklim dan manajemen resiko bencana. Padahal, untuk buku ini hanya bisa terbit jika ada preorder oleh orang-orang yang tertarik membeli sekaligus hasilnya akan disumbangkan ke perpustakaan perpustakaan dan rumah baca yang ada di NTT. Intinya, Buku ini akan diterbitkan dengan sistem crowd funded.
Pada akhirnya, saya hanya bisa mendukung teman saya yang baik hati, rajin sembahyang karena masih jomlo, tidak pernah tidur lewat dari jam 10 malam, suka menolong, rendah hati, tidak sombong, dan suka menabung untuk membayar belis ini dalam doa. Dicky telah memulai hal hal positif untuk perkembangan sastra di bumi Flobamora yang penuh dengan padang sabana kesusastraan namun selalu terlihat gersang dan dahaga. Kanuku leon tentunya akan memberi inspirasi dan mendorong semua penulis muda di tanah ini untuk terus berkarya. Semoga buku ini akan menghijaukan bumi flobamora lebih luasnya Indonesia dengan semangat mudanya.
Saya pasti akan membeli kanuku leon, mungkin bukan sekarang tapi yang jelasnya bukan bulan depan apalagi tahun depan. Rasa penasaran saya dengan cerpen-cerpen yang saya baca di sini membuat saya harus membeli bukunya begitu terbit.
Dicky, jangan Menghapus Ilona sekalipun itu adalah Suatu Malam yang Penuh Hujan dan Aku Gila karena Ada Kisah Tentang Lukisan Ikan di Fetonai yang memberi inspirasi Kanuku Leon untuk memberi Namaku Neontuaf dan Soleman, lihatlah Dicky, Sakura dari Fujikawaguchiko tak pernah mengenal Suanggi’ yang harus Sifon ketika Menikahi Anjing . Kabut Kota Ini telah membuatku Tersesat di Netmetan sambil mengenang Gugur Sepe Usapi Sonbai oleh  Dua Aktor Mamatua yang menyanyikan Klang-klang dibawah Pohon Kersen dan Batman.
Oh ya, Dicky, sorry ya, jika kamu pernah begitu menjengkelkan di hati saya... hahahaha... lagian, saya butuh dua botol sopi untuk curhat tentang kamu di tulisan ini. Sorry ya.... 




Share