Ijinkan Hati Bicara...: 2015 google-site-verification: google642dcb3a3836b309.html

5 Agu 2015

The Island of Amor

Tidak ada yang hebat dari Pulau Timor. Cendananya sudah punah. Buah Apelnya entah dulu berbentuk apa. Katanya, ini pulaunya pulau ternak. Tapi entah bagaimana terjadi, harga daging di sini sama mahalnya dengan harga daging di Jakarta, ibukota negara yang katanya akan membeli berton-ton daging sapi dari sini. Untuk makan jagung pun harus diekspor dari luar negeri.

Apa yang harus dibanggakan dari Timor? Orang miskinnya lebih banyak. Kasus gizi buruk tertinggi ada di sini. Jalan rusaknya terpanjang ada di sini. Tanah gersang, minim sumber mata air, kekayaan alam pun terbatas. Semua angka statistik tentang kekayaan negeri Indonesia ini selalu menempatkan Timor dalam urutan terbawah alias terburuk. Untuk menyebutnya sejahtera, masih jauh panggang dari api.

Itulah Timor jika kita harus membandingkan grafiknya dengan tanah lain di Indonesia. Seorang teman yang baru datang dari tanah Jawa bahkan pernah berujar “lebar jalan negara di sini sama dengan jalan di Jawa pada tahun 60-an.” Ini berarti, jalan di sini tertinggal 50 tahun dari Jawa dan Timor butuh 50 tahun lagi agar jalan rayanya sama dengan kondisi di sana. Miris?? Iyalah...

Orang Timor dan Ketulusan 
Namun, ada yang luar biasa dari Timor dan menjadikannya spesial bagi siapapun. Orang-orang yang tinggal di tanah ini punya kekayaan hati yang tidak bisa disetarakan dengan apa pun. Bicara tentang ketulusan, bicara tentang berbagi, bicara tentang toleransi, tidak ada yang bisa menandinginya. Orang Timor menempati rangking teratas jika harus dibanding-bandingkan.

Di Timor, jika anda datang sebagai musuh pun akan dihargai bagai saudara. Urusan nanti anda akan membakar lumbung mereka, merusak tanah ladang mereka adalah persoalan nanti. Ini karena hati orang Timor jauh dari prasangka buruk. So, jika musuh pun diterima dengan baik, jangan tanyakan bagaimana orang baik diperlakukan di sini.

Itu cerita pendek tentang orang Timor yang kebaikan hatinya kadang dimanfaatkan dengan licik oleh orang-orang tertentu untuk mengambil untung di tanah yang malang ini. Kekayaan alamnya yang sedikit nyaris tergerus habis. Warisan leluhurnya bahkan sudah punah menyisakan hanya nama untuk sekedar nostalgia.

Di pedalaman pulau Timor, ribuan anak bahkan belum sanggup menulis jutaan mimpi mereka dalam buku yang layak. Jalan meraih mimpi itu pun masih tertutup debu tebal hingga mata kaki. Mata mereka belum mampu melihat bahwa dunia ini lebih luas dari yang mereka bayangkan. Mereka hanya tahu bukit gersang yang mengelilingi, batu jalanan yang tertutup debu, juga tetesan air kala kemarau yang tidak bisa dipakai mencuci pakaian seragam.

Di benak mereka, belum terbayang luas jalanan kota dengan ribuan kendaraan lalu lalang di atasnya setiap hari. Mereka mungkin akan merasa aneh jika tahu bahwa beberapa sekolah di kota sudah tidak lagi menggunakan buku untuk belajar atau mungkin juga akan ternganga jika tahu ada anak sekolah seusia mereka sudah diantar mobil pribadi ke sekolah. Ahhh... Sebenarnya, mereka tidak perlu tahu itu. Mereka harus setia kepada buku usang mereka, juga kepada jalan setapak yang setiap hari mengantar mereka ke sekolah. Yang mereka harus tahu adalah, mereka harus memiliki mimpi yang lebih besar dari yang sebelumya pernah mereka pikirkan. Mereka harus tetap berteman karib dengan alam yang belum terjamah polutan dan harus tetap menjaganya demikian. Mereka harus tahu, ada jutaan anak-anak di kota dengan segala fasilitas justru tidak sebebas mereka bermain di alam yang rindu canda tawa lepas yang telah lama hilang.

Mereka harus tetap menjadi orang Timor yang mengagungkan alam dan segala tradisi yang mengikatnya. Mereka harus tetap memiliki hati yang jernih dan jauh dari iri dalam bestarinya. Mimpi-mimpi mereka haruslah mimpi yang menjaga bumi ini tetap lestari. Yang harus dilakukan adalah, mengeluarkan mereka dari kotak yang selama ini membatasi mata menatap cahaya.

KITONG dan Nuataus
Desa Nuataus, semoga menjadi tempat berseminya para pemimpin negeri ini, pemimpin yang ramah, jauh dari jemawa. Desa ini, tempat ribuan inspirasi telah tumpah. Tempat ribuan motivasi telah menghangatkan mimpi-mimpi yang membeku. KITONG mungkin belum bisa berbuat banyak di sini. Tapi langkah kecil kita telah membuka ribuan kata yang selama ini terkatup dalam rahang yang tak sanggup membuka teriakan.

KITONG sudah tiba di Nuataus, disambut tarian dan natoni, dirangkul bonet dan lagu, dilepas kehangatan dan harapan. KITONG memberi inspirasi tapi juga mendapatnya kembali dalam refleksi kehidupan kita. KITONG tidak memberikan mereka mimpi, karena mereka sudah memiliki itu jauh sebelumnya. KITONG hanya mengatakan kepada mereka dengan seyakin-yakinnya, bahwa mimpi mereka bukan hal yang mustahil untuk diraih.
Perjalanan KITONG tidak boleh berakhir di sini. Di Nuataus ini. Masih banyak Nuataus lain yang anak-anaknya sedang merangkai mimpi namun terhalang ketidaktahuan, dan KITONG harus segera mencapainya. Dan inilah kelebihan kita, dalam bergerak bersama, hati kita diliputi ketulusan dan kemerdekaan mimpi adalah cita-cita kita bersama.

KITONG adalah TIMOR. The island of amor.




Share

21 Jul 2015

Lebaran di Papua

Sudah beberapa hari ini, blogger papua menghadang berita negatif tentang #Tolikara dengan hashtag #LebarandiPapua di twitter. Inilah kesekian kalinya netizen berbondongbondong melawan dominasi media online Indonesia yg selalu menyuguhkan berita yg sangat merugikan bahkan terkesan menghasut untuk merusak toleransi di bumi cendrawasih.

Hashtag #LebarandiPapua bukan utk membela diri, tapi untuk menyatakan kebenaran sejati yg disembunyikan dengan sangat jeli oleh pewarta kabar nun di jakarta. Kabar yg seharusnya diberitakan berimbang agar tidak dikonsumsi mentahmentah oleh sebagian orang yg belum bisa menerima kemajemukan Indonesia Raya dan toleransi yg terkandung di dalamnya.

Papua adalah Indonesia yang emasnya kita pakai penuh kebanggaan karena mahalnya rupiah yg kita keluarkan untuk membelinya tanpa berpikir bagaimana masyarakat di sana berjuang mempertahankan Indonesia sebagai bagian dari kedaulatan mereka. Papua adalah Indonesia yg tidak pernah bersalah terhadap media di jakarta dan juga seluruh tumpah darah Indonesia. Papua adalah Indonesia yg tidak harus mencari sensasi murah seperti salah seorang artis ibukota tibatiba bergerak menggalang dana utk memperbaiki mushola terbakar dan mengabaikan nyawa korban peluru aparat.
Papua adalah kita. Luka yg ada di sana adalah luka kita. Cinta yg ada di sana adalah cinta kita. Bila keberagaman adalah Indonesia, jangan mengoyak merah putih hanya karena setitik nila dalam sebelanga susu.




Share

2 Jul 2015

"Saya" dan "kami"

Jika saya melakukan atau menghasilkan sesuatu bersama sama orang lain, maka ketika harus bercerita, saya akan menyebut "kami" bukan "saya".

Jika harus menyebut nama, saya sebutkan satu persatu nama nama yg ada di balik apa yg telah dihasilkan itu dan tidak akan condong utk hanya menyebut "saya".
"Kami" menggambarkan sebuah tim, sebuah kesatuan, sebuah solidaritas yg membangunkan alam apresiasi terhadap hasil kerja bersama serta secara langsung membangun semangat baru untuk melakukan lebih dan lebih baik. Penyebutan "Saya" utk menonjolkan diri dari hasil kerja tim justru merendahkan diri sendiri atau malah dianggap egois atau bisa juga individualis.

Toh, tanpa menyebut "saya", orang pun akan sadar bahwa di dalam "kami" ada "saya" dan karna itu bukan mustahil bahwa "saya" akan mendapat apresiasi karna telah menjadi bagian dari tim yg memberi inspirasi.

Saya sedih ketika mendapati seorang teman yg gemar bercerita tentang "saya" tanpa sedikit pun "kami". Semangat "kami" utk bisa menghasilkan lagi hal hal luar biasa bersama dia semakin lama kian memudar. Bukan karna "kami" ingin juga disebut, tapi kerja tanpa apresiasi hanyalah menghanguskan semangat yg sebelumnya merah membara.




Share