Ijinkan Hati Bicara...: September 2013 google-site-verification: google642dcb3a3836b309.html

27 Sep 2013

Balada Anak Petani



Dia kecewa karena menurutnya, wajahnya pas-pasan, tidak cantik, tidak bisa menarik perhatian lawan jenis. Maka olehnya, dengan uang kiriman orang tua, dibelinya pakaian seksi. Beberapa ia beli dari mall mall ternama, beberapa ia beli dari tempat pakaian rombengan. Tak apa, katanya, asal masih layak pakai.

Kesederhanaannya seketika berubah keseksian. Belahan dada yang selama ini tabu ditunjukan, kali ini ia pamerkan setengah bagian atas. Dada padatnya tak lagi dibungkus BH murahan tapi kali ini, ia benar benar menabukan BH. Di usia yang masih 20 ini, BH baginya hanyalah pengganjal penampilan seorang perempuan sepertinya yang sangat butuh diperhatikan lawan jenis.

Dia tak butuh waktu lama untuk menggaet perhatian kaum adam sejak pakaian seksi mulai membungkus tubuh mungilnya. Celana 5 cm di atas lutut, baju 3 cm di atas pinggang dan 4 cm di bawah leher jadi andalannya kini, termasuk juga, tentu saja, bahasa bahasa gaul semakin mentereng ia ucapkan.

Dia tak lagi memikirkan pulang kampung, toh bapaknya yang petani itu tinggal ia teriaki minta duit sudah terbirit birit dari sana mengantarkan untuknya. Tentu saja bukan sedikit, uang ortunya harus memenuhi semua kebutuhan gaulnya. Dia tak peduli bagaimana perjuangan orangtuanya di kampung demi semua ambisinya. Baginya, sekali teriak, apa yang ia teriaki harus segera tersedia.

Namun, ortunya hanya tahu bahwa semua uang yang mereka berikan karena pendidikan anaknya. Mereka tak pernah bertanya untuk apa uang-uang itu. Bagi mereka, seberat apa pun kehidupan yang dijalani, harus ada generasi penerus mereka yang sukses dalam pendidikan, jangan seperti mereka yang hanya bisa mengecap pendidikan sebatas SD.

Hari demi hari, si anak dalam tahun ke tahun pergaulannya terus menerus menjelma dari satu dunia ke dunia lainnya. Ketika di tempat lain, ia merasa kurang dihargai, berpindahlah ia ke dunia yang lain. Begitulah seterusnya ia berpindah dunia hingga akhirnya ditemukannya dunia yang ia ingini. Dunia yang penuh kebebasan dan menurutnya, penghormatan terhadap upayanya untuk terlihat seksi. Dunia ini baginya adalah segala-galanya. Dunia yang tak pernah mengenal tidur. Dunia yang mampu memuaskan hasratnya yang menggebu-gebu. Dunia inilah, segala yang ia butuhkan tersedia cuma-cuma.

Ia tak perlu lagi berteriak kepada sang petani di desa untuk mengantarkan uang. Sebab uang dari sang petani kini tak lagi cukup membiayai hidupnya. Sekarang ini, ia tinggal melepaskan celana atau menaikan roknya yang selalu di atas lutut dan pundi-pundi rupiah akan mengalir deras di atas perutnya.

Rumahnya kini adalah hotel-hotel, bukan lagi kamar kost butut yang dindingnya ditempeli kertas. Temannya adalah pengusaha-pengusaha ternama yang dengan sukarela memberikan apa yang diinginkan atau berapapun yang di-mau selama ia tak mengganggu kebahagiaan rumah tangga mereka. Teman-teman sekampusnya yang dulu sering menghinanya, kini ada dibawah kekuasaannya. Tugas kuliah tak perlu lagi ia kerjakan, sebab kini ia pun telah berteman sangat baik dengan beberapa dosen, bahkan yang terkenal paling killer sekalipun. Untuk mata kuliah yang dosennya perempuan pun ia tak perlu ragu sebab tugas dari mereka akan dengan sangat sukarela dikerjakan oleh teman-temannya, asalkan ia bisa sedikit bermurah hati membagikan rejekinya kepada mereka. Atau paling tidak, tidur bersama di kost temannya untuk memberikan balas jasa atas apa yang telah dikerjakan. Tentunya, setelah ia memastikan bahwa tugasnya telah dikerjakan dengan baik.

Begitulah cara ia hidup dalam tahun-tahun pergumulannya. Hingga suatu hari dalam kepanikan ia ditemukan telah terkapar tak berdaya di sebuah kamar kost, tertidur dalam telanjang di sisi seorang manusia baru yang ia bunuh dalam rahimnya.

Ia pergi selamanya bersama keseksian yang selalu ingin ditunjukan kepada semua orang, tetapi juga meninggalkan kelegaan bagi mereka yang selalu memberinya uang atas nama tubuh seksi itu. Sementara itu, sang petani malang tak henti menangisi dukanya. Satu-satunya kebanggaan keluarga telah pergi membawa seluruh harapan tapi meninggalkan malu tiada terkata. Kekecewaan sang petani lebur dalam tangis nestapa berwaktu-waktu hingga akhirnya ia sadar untuk membiarkan kepergian itu terjadi.

Tetapi, sang petani tak jua melupakan malu yang dibuat sang anak meski telah berganti musim panen demi musim panen. Sehari-hari ia pergi ke ladang dengan topi yang menutupi wajah dan telinga agar tak perlu ia dengar ataupun melihat pergunjingan seantero kampung atas duka yang ia alami. Hari-harinya ia lewatkan dengan mencangkul duka sambil berharap akan datang harapan baru yang akan membuat ia mengerti mengapa sang anak tega melakukan semua itu.




Share

20 Sep 2013

Maha Ruang

Suatu hari, di waktu matahari meredup dan awan menghitam arang, kita akan berjalan sambil menerka nerka jalan kebenaran mana yang seharusnya dilalui. Perdebatan bukan lagi diskusi tentang solusi, tetapi lebih bagaimana kau menuntut kebenaran menurutmu dan aku menurutku.  

Di persimpangan, kita akan terus sibuk oleh pertengkaran tentang arah mana harus kita ambil, sementara orang lain di situ yang melihat dan hendak menolong  akhirnya hanya menjadi penonton, seolah kita adalah sepasang kebenaran tetapi mempertontonkan kebodohan ego masing masing.

Tersebutlah, pada akhirnya kita mengambil jalan salah lantas terjerumus memasuki lorong waktu yang kita tak pernah tahu apa, di mana, kapan dan bagaimana ini semua bisa terjadi. Tetapi kita tetap menganggap kesalahan ini sebagai kebenaran yang telah ditetapkan Tuhan dan terus berjalan tanpa arah. Memasuki masa lelah, mata kita seakan dibuka cahaya baru untuk melihat hidup sesungguhnya. Namun, saat semua itu terjadi, kita tak mungkin lagi kembali ke persimpangan awal perjalanan kita. Kita terus berjalan dan berjalan menemui persimpangan lain, mengambil salah satu arah yang menurut kita akan menuntun pada jalan seharusnya.  

Kita kian tersesat, terjerembab pasrah dan menganggap Tuhan sedang mencobai seberapa kuat kita mengatur alur hidup ini sendiri. Kita lalu mencari kata kata indah tentang kehidupan untuk menciptakan sedikit rasa percaya diri. Beberapa waktu kemudian, kita melupakan kata kata tersebut dan menemukan lagi kata kata yang baru. Semakin hari, semakin bertambahlah kata kata indah dalam ruang pikir hingga akhirnya kita pun memutuskan untuk menulisnya dalam bingkai yang mudah diterawang oleh kehidupan selain kita. Semakin banyak kita menulis, semakin bertambah tambahlah cara pandang terhadap kehidupan tercipta. Orang orang pada akhirnya menyebut kita dengan beberapa gelar sebagai apresiasi luar biasa terhadap setiap pikiran yang tertuangkan dalam lajur yang sengaja diciptakan terbatas. Di dalam lajur itu, terdapat lagi ruang ruang khusus yang membedakan kebesaran yang satu dengan kebesaran lainnya.  

Betapa bangganya berada dalam ruang ruang yang membatasi itu karena tidak semua insan mampu menempati ruang itu. Kebesaran ruang itu ternyata membuat kebebasan justru terbatas pada hanya ruang itu. Kebanggaan tanpa menyadari keterbatasan, menjadikan ruang itu satu satunya ruang gerak.  

Sementara itu, tanpa disadari, orang lain di luar sana sedang bergerak bebas tanpa dibatasi sekat apapun. Mereka berlari bahkan terbang tanpa sayap dan kita terus bermimpi menciptakan sayap agar mampu terbang. Mereka telah melihat seisi dunia sementara kita masih menuliskan mimpi mimpi untuk melihat seisi dunia. Kita terus menulis tentang mimpi mimpi yang tak pernah bisa kita wujudkan, sementara orang lain mewujudkan mimpi mereka oleh karena kita.  

Lebih parah lagi, ketika kita sedang berpikir, orang lain telah mengerjakan. Ketika kita mulai menulis, orang lain telah selesai mengerjakannya. Lalu kita kian membanggakan diri sebagai pencipta teori teori dasar kemanusiaan. Ketika kemanusiaan tak berjalan semestinya dan kita pun menjadi sarkastik karenanya.  

Harusnya, bukankah yang lebih banyak tahu teori ini belajar pada orang lain yang lebih banyak telah melakukan tindakan? Sebab keseimbangan tidak muncul dari teori teori tetapi lahir dari tindakan tindakan murni kehidupan yang menjadikan kebijaksanaan memiliki mutu. Rotasi ataupun revolusi bumi tidak terjadi karena teori, tetapi sebaliknya. Teori hanya memberi nama terhadap setiap tindakan, tetapi tidak menciptakan tindakan baru. Tindakan baru justru akan melahirkan teori kehidupan dengan nama baru.




Share

19 Sep 2013

Komodo, Kalian Memang Ajaib


Komodo. Mendengar namanya saja seantero nusantara langsung tahu binatang purba itu ada di ujung Flores, di sebuah pulau yang bernama sama dengan binatang ini. Beda ketika menyebut Kupang, orang-orang di seberang waktu sana yang pelajaran geografi di sekolahnya sering dapat angka merah pasti langsung mengernyitkan dahi.
“Itu nama tempat???” Ini pertanyaan lazim ketika kita bicara tentang Kupang dengan orang-orang tipe di atas. Ibukota provinsi Nusa Tenggara Timur yang di dalamnya ada Komodo dan pulaunya ini ternyata tidak dikenal di belahan nusantara lain. Lebih memprihatinkan lagi, ketika kita menjawab Kupang itu ada di Pulau Timor, spontan dengan gaya sok tahu mereka langsung menimpali “oooo... Timor Leste...”
Pada saat ini terjadi, sebaiknya segera ambil langkah mundur dan pergi sejauh mungkin sebelum anda punya niat mencaci maki orang tersebut.
Prihatin memang, ketika orang lebih mengetahui seluk beluk komodo daripada ibukota provinsi yang lambangnya seekor komodo lagi menjulurkan lidah seakan menghina manusia-manusia dibalik lambang itu. Apalagi ketika komodo menjadi salah satu dari tujuh keajaiban dunia hasil polling masyarakat dunia yang diselenggarakan oleh sebuah lembaga yang keberadaannya dipertanyakan.
Komodo memang unik. Liar, beracun dan sudah sangat tua. Konon keberadaannya di dunia ini sudah seumuran dinosaurus yang bahkan fosilnya nyaris punah jika tidak digali cepat-cepat oleh para ahli geologi. Keunikan komodo inilah yang mendorong pemerintah negara ini mempromosikan binatang langka ini ke level internasional. Apa??? Level Internasional??? Yang benar aja bro...!!!
Baru-baru ini dalam sebuah pertemuan pemuda di Filipina, saya coba bertanya kepada banyak peserta apakah mereka mengetahui tentang Komodo? Dan wow...!!! Tidak ada satu pun yang tahu tentang binatang ini. Saya mencoba berpikiran positif, mungkin promosi komodo sampai ke negara mereka, hanya saja orang-orang ini yang mungkin kurang membaca informasi dunia. Saya lalu menjelaskan apa itu komodo sampai akhirnya diakui sebagai salah satu keajaiban dunia, dan mereka hanya terperangah seraya berkata “.... wow... selamat, kalian memang ajaib...” BAH!!!

60 Milyar Untuk Binatang
Pemerintah kita ternyata tak setengah hati mengurus komodo yang telah menjadi keajaiban ini. Guna mendongkrak jumlah wisatawan mancanegara untuk mengunjungi komodo, digelarlah sail komodo yang dananya menembus angka triliunan rupiah. Puncak acara yang mendatangkan presiden dan jajaran kabinetnya sukses menghabiskan dana 60 milyar rupiah. Fantastis!!!
Dalam laporan panitia yang diberitakan di koran-koran, sail komodo sangat sukses mendatangkan ribuan wisatawan yang ingin bersilaturahmi dengan komodo. Saking banyaknya sehingga penginapan di kota Labuan Bajo tidak sanggup menampung mereka yang datang. Buntutnya, rumah penduduk pun dijadikan penginapan. Kondisi ini sangat kontras dengan yang terjadi di Sikka, ribuan pengungsi akibat letusan Gunung Rokatenda terlunta-lunta tanpa perhatian pemerintah. Pengungsi-pengungsi ini tersaingi oleh popularitas komodo setelah sebelumnya mereka juga dibungkam oleh gemuruh pilkada. Ketika milyaran rupiah berjalan mulus untuk memberdayakan potensi binatang, mereka di Palue yang notabene manusia justru sekarat dalam ketidakberdayaan. Ketika sebuah negara berdiri kokoh karena cinta rakyat, tetapi perhatian terhadap binatang lebih baik ketimbang kepada rakyat sendiri, maka sesungguhnya kemanusiaan di negara tersebut berada dalam kondisi kritis.

Lebih Banyak Turis Lokal
Kembali ke persoalan komodo, benarkah tamu-tamu yang datang itu adalah turis mancanegara? Tentu saja tidak. Seorang kompasiana melaporkan langsung dari Bau-bau, Sulawesi Selatan, tentang perayaan sail komodo yang salah satu rangkaian acaranya dilakukan di sana. Persiapan matang panitia lokal ternyata tidak sebanding dengan turis yang datang ke sana. Ia menghitung dengan pasti bahwa saat itu hanya ada 21 orang turis yang datang dan betapa para turis itu terkejut karena disambut dengan sangat meriah di sana. Ratusan penari daerah itu diturunkan hanya untuk 21 orang ini. Acara yang dihadiri juga oleh Marie Elka Pangestu ini dipadati oleh masyarakat lokal, tidak ada yang lain.
Di Labuan Bajo lain lagi. Armada kapal perang Republik Indonesia menguasai pesisir pantai di sana. Yacth-yacth mewah yang diharapkan ada lebih banyak ternyata kalah banyak dari kapal perang kita. Ujung-ujungnya, atraksi armada perang kita lebih menarik dari kehadiran para turis. Ribuan turis lokal memenuhi pesisir pantai Pedhe untuk sekedar melihat presiden dan ibu negara mereka, sekaligus menjadi saksi pesta termahal di dunia ini.

Mahal Tapi Tidak Berkualitas
Sayangnya, di lokal NTT, acara yang mahal ini tidak dikelola oleh orang-orang yang kompeten untuk mengurus sebuah event internasional. Persiapan yang asal-asalan hingga nelayan yang harus dikorbankan demi sail komodo adalah salah satu indikator untuk mengukur kemampuan para pengelola. Atraksi budaya yang ditampilkan dalam bentuk tari-tarian lebih ke komtemporer alias tariannya sudah dimodikasi sehingga kekentalan budaya dan filosofi tarian tersebut akhirnya hilang tertelan ambisi modernitas budaya.
Hanya berharap pada seven wonder agar dunia mengenal komodo tanpa promosi yang intensif sama saja berkenalan dengan orang asing yang sedang lewat, setelah meneruskan perjalanan, dia lupa dengan siapa berkenalan tadi. Sialnya lagi, dinas pariwisata provinsi NTT yang seharusnya menjadi ujung tombak promosi ini justru tidak memiliki website alias situs sendiri. Kejayaan dana promosi yang milyaran habis hanya untuk mencetak baliho raksasa bergambar wajah pejabat kita sedang berdampingan dengan komodo. Sangat ironis ketika informasi pariwisata NTT justru bisa kita baca di blog-blog para traveller, ini pun hanya sekelumit kisah perjalanan mereka dan tidak bisa dijadikan referensi utuh untuk perjalanan ke Pulau Komodo.
Lalu apa manfaat sail komodo untuk NTT, terutama untuk penduduk lokal dan komodo itu sendiri? Dalam konteks pariwisata, bisa saja acara ini memiliki gaung ke seluruh dunia. Diharapkan nanti, setelah ini, ribuan turis mancanegara akan berdatangan ke pulau komodo - dan membantu tim ranger di sana untuk memberi makan komodo – sehingga bisa meningkatkan pendapatan daerah dan negara. Penduduk lokal akan semakin maju secara ekonomi dengan dijualnya tanah-tanah mereka kepada investor lalu mereka akan mundur ke hutan dan menetap di sana sebagai orang miskin setelah uang hasil tanahnya habis. Sepuluh tahun mendatang, Labuan Bajo akan mengalahkan Bali. Ribuan investor akan menanamkan modal di sana. Setiap jengkal tanah kosong saat ini, kelak akan bernilai puluhan juta rupiah. Tak adalagi garis pantai yang kosong karena sudah dikepung ratusan hotel. Kapal-kapal nelayan tidak lagi memiliki dermaga mereka sendiri. Tuan tanah akan bergeser menjadi tuan tanganga yang hanya ternganga melihat tanahnya dulu telah menjulang beton-beton kokoh.
Bagi komodo sendiri, ini adalah ancaman terbesar terhadap habitat mereka. Sekian lama hidup dalam ketenangan tanpa terlalu banyak keriuhan, kali ini mereka harus siap diganggu oleh keingintahuan manusia. Sebuas-buasnya binatang, pasti memiliki tingkatan stress yang harus kita antisipasi. Ketika habitatnya terus diganggu, bukan tidak mungkin mereka akan mengalami stress dan berakibat pada menurunnya kemampuan bereproduksi. Ketika hal ini terjadi, kepunahan komodo sudah di depan mata dan kita harus siap kehilangan kebanggaan.
Seharusnya, masyarakat disiapkan untuk menghadapi kenyataan yang akan terjadi ke depan agar kemungkinan-kemungkinan seperti di atas dapat diminimalisir. Promosi komodo pun tidak harus dengan event milyaran rupiah. Di jaman digital seperti ini, seharusnya pemerintah dapat memanfaatkan dunia mayantara untuk mengenalkan komodo ke dunia internasional, sehingga dana lain bisa digunakan untuk peningkatan infrastruktur yang bisa mendukung pariwisata dan ekonomi. Apalagi event ini menggunakan dana rakyat yang seharusnya peruntukannya dikembalikan kepada rakyat, bukan kepada komodo apalagi calon investor. Sebab, ketika infrastruktur sudah memadai, komodo dengan sendirinya akan semakin dikenal oleh dunia karena adanya akses yang samakin mudah ke sana. @dodydoohan




Share

18 Sep 2013

Sebuah Narasi Ulang Tahun



 *dibacakan pada saat ulang tahun CIS Timor ke-14 di Sillu*


Sudah hakikat, Tuhan menunjukan kebesaranNya dengan menunjukan jalan hingga kita tiba di tempat ini. Sudah hakikat, kami berdiri di sini penuh kebanggaan. Menunjukan pada dunia betapa kami sangat percaya diri untuk mengubahnya menjadi lebih baik. Kami bukan pejanji riuh yang setelah berkata-kata di atas tepuk tangan lalu menyuguhi kesunyian kepada penanti. Kami telah hentikan segala kata-kata, merubahnya sebagai tindakan. Hari ini engkau telah melihat, tanda dan waktu selalu menunjukan bukti berwarna warni seribu atas setiap prasasti yang kami dirikan di pedalaman sanubari negeri ini.

Kami tidak sendiri, doa-doa sering menari-nari di bibir mulut kami, agar hati kami tak hanya berisi harapan yang kosong, tapi penuh optimisme yang tak bisa dibantah kemustahilan. Kekuatan kami adalah solidaritas yang tumbuh diantara simpati dan empati untuk kemanusiaan. Kehidupan kami adalah kicau burung pagi hari yang memberi tanda bahwa kehidupan baru telah dimulai. Jika malam kembali datang, kami riuhi dengan nyala obor yang benderang dari nurani, agar kegelapan tidak menjadi kuasa yang menggetarkan titik moralitas siapapun.

Empat belas tahun, dan kami tak lagi harus merangkak. Kami tak ingin hanya berjalan, kami ingin berlari, terbang melesat, melintasi setiap depa kehidupan dan menyadarkan alam bawah sadar kemanusiaan bahwa kita semua, negeri ini, dunia ini, sangat bisa dirubah dengan tekad dan kerja keras. Dengan harapan dan optimisme. Dengan kekuatan solidaritas. Kita bisa merubah dunia jika semua ego individu kita tanggalkan. Kita bisa melakukan apapun, jika kita tidak hanya diam dan menunggu. Dunia esok pagi,ditentukan oleh sikap kita hari ini untuk bangkit.

Sekali lagi, kami tak asal bicara, perjalanan panjang empat belas tahun sudah mengilhami nilai-nilai yang tak abstrak. Nominasi awan dan langit biru bahkan tak menutup setiap lembar catatan sejarah yang kami reliefkan di tanah negeri ini.

Pernah kami beradu cepat dengan peluru di Noelbaki, membangun cinta di Raknamo sambil menyulam asa dari butir-butir tanah di Tanah Merah. Di jantung nusa ini juga, akan kau temukan jejak kami di belantara Wemer, sisa-sisa keringat kami di tanah Malaka, juga darah dan airmata kami di Kota Atambua. Kini pun, kebekuan Kota SoE telah kami cairkan dengan semangat bergelas gelas kopi sambil memantik kehidupan baru di Tanah Takari dan Amabi.

Maka bagi kami tiada lagi yang mustahil untuk dikerjakan. Cinta telah mengajarkan kami tentang solidaritas. Doa telah menguatkan harapan dan optimisme kami. Untuk kami belajar bagaimana menyeka keringat dan airmata, untuk kami belajar bagaimana perjuangan hidup sesungguhnya. Untuk kami belajar tidak hanya sekedar bermimpi, tapi bertindak mewujudkan mimpi mimpi kami.

Selamat ulang tahun CIS Timor... gapailah dunia dengan mimpi mimpimu




Share

Bahasanisasi


Beberapa kata diterjemahkan secara bebas lantas kita menyelipkan arti baru didalamnya. Secara harfiah dapat kita pahami bahwa kata-kata ini pada akhirnya menjadi lazim sebagai gaya komunikasi baru. Kata-kata yang seharusnya menempati makna tertentu berpindah tugasnya untuk menerjemahkan maksud tertentu. Dan tentunya, ini hanya berlaku pada pergaulan yang terbatas alias tidak berlaku umum. Meski demikian, kata-kata ini bisa dikonsumsi masyarakat umum bahkan yang awam dalam komunikasi tak resmi dengan intensitas yang tidak sesering dan sefasih di kalangan kata-kata itu diciptakan. Ketika kata-kata tersebut semakin hari semakin populer dan terus digunakan lebih luas, bukan tak mungkin pada akhirnya kata-kata tersebut akan diakui sebagai bahasa serapan yang bisa digunakan sebagai bahasa yang resmi.

Bahasa Indonesia adalah salah satu bahasa yang diakui dunia internasional sehingga dapat digunakan sebagai media komunikasi antar negara. Beberapa negara di kawasan Asia dan Australia bahkan membuka jalur khusus dalam perguruan tinggi mereka untuk mempelajari Bahasa Indonesia. Sayangnya, harus kita akui bahwa penghargaan bangsa sendiri terhadap Bahasa Indonesia masih terbilang minim. Ini dibuktikan dengan banyaknya tulisan-tulisan yang banyak menyelipkan istilah-istilah asing di dalamnya. Laporan presiden SBY bahkan selalu terselip bahasa inggris yang sebenarnya jika dibahasaIndonesiakan akan lebih mudah dimengerti oleh masyarakat kalangan bawah.

Pada akhirnya, istilah-istilah asing ini dirubah sesuai dengan struktur keIndonesiaan lalu diakui sebagai Bahasa Indonesia yang sah. Kata-kata serapan ini menjadi “bahasa tinggi” yang sering latah diucapkan orang-orang terpelajar bahkan masuk dalam tulisan-tulisan mereka yang penuh teori. Masyarakat tidak terpelajar yang notabene tidak paham kata-kata serapan ini akhirnya hanya bisa menjadi pendengar yang setia. Di sinilah ketimpangan komunikasi terjadi, yang terpelajar merasa puas karena misinya menyampaikan maksud tercapai, sementara yang tidak terpelajar mendengar dengan seksama tapi tidak mengerti apa-apa.

Akhir-akhir ini Bahasa Indonesia dibanjiri banyak kosa kata baru. Orang-orang menyebutnya bahasa ALAY karena gaya penulisannya yang aneh dan kadang menggunakan kombinasi angka di dalamnya. Apa yang ditulispun berbeda jika harus dibaca. Bahasa ini menjadi tren pergaulan di kalangan remaja Indonesia bahkan hingga kalangan mahasiswa. Dan inilah satu-satunya bahasa yang paling banyak dihujat generasi di atas mereka karena faktor-faktor tersebut di atas. Toh, bahasa ini tetap hidup dan tumbuh subur di kalangan remaja kita. Mereka bahkan terkadang tanpa beban meng-SMS kita dengan gaya bahasa itu dan kita pun dipaksa untuk mengerti maksud yang tertulis di situ.
Selain bahasa alay, sebelumnya sudah lahir bahasa gaul orang Jakarta yang tak kalah hebohnya. Entah dari mana kata-kata itu dipetik, yang jelasnya tidak satupun kata-kata itu datang dari Bahasa Indonesia yang baku.
Kita belum paham betul makna dari dua bahasa di atas, baru-baru ini kembali heboh gaya bahasa baru yang tak kalah menggelitik ketika seorang Vicky berhasil menghipnotis penonton setia telivisi Indonesia dengan cara bicaranya yang penuh “teka-teki.” Hebatnya, gaya vickynisasi ini langsung booming di media sosial, mengalahkan dua bahasa sebelumnya yang sudah malang melintang di jagad kosa kata kita.
Saya tak ingin menyebut contoh-contoh dari bahasa-bahasa di atas, sebab tulisan ini akan menjadi sangat panjang karenanya, dan lagian, saya sangat yakin bahwa kita semua pernah menjadi korban yang meski sekali dua kali pernah latah mengucapkannya.
Saya tidak tahu apa motivasi Vicky dengan gaya bahasanya, tapi pada intinya adalah semua kasus di atas hanya satu anak tangga yang dipakai orang-orang untuk dapat mempermudah pergaulan dengan kalangan mereka di ruang yang mereka ciptakan sendiri. Tidak jauh beda dengan Vicky, bahasa alay atau pun bahasa gaul seakan menjadi keharusan yang harus dipakai para remaja agar dapat diterima di kelompoknya. Juga, dengan menggunakan gaya yang sama, seseorang diharapkan dapat memiliki idealisme kelompoknya, dan memiliki gaung yang bisa didengar. Paling tidak, dari sini saya menangkap satu cara pandang baru tentang bagaimana dunia sekarang dan tempo doeloe membangun interaksinya. Dunia sekarang tidak lagi hanya mengandalkan intensitas pertemuan tetapi juga gaya bahasa yang sama. Di sini idealisme seseorang dan kemampuan bersosialisasinya diuji dihadapan yang lain. Jika sanggup mengikuti arus maka ia akan diterima, jika tidak, ia akan dianggap tidak gaul.
Namun, untuk menjadikan kosakata bahasa alay sebagai kosa kata baru yang diserap Bahasa Indonesia adalah hal yang tidak mungkin alias mustahil meski bahasa ini telah bergaung luas di seantero Nusantara, sebab bahasa tersebut terbatas dan tidak seragam dalam gaya penulisan juga pelafalan. Ini jelas berbeda ketika beberapa kata dari bahasa asing diserap sebagai Bahasa Indonesia karena memiliki unsur-unsur untuk diakui sebagai kosakata baru.
Lalu, apakah munculnya gaya bahasa baru ini bisa mengancam bahasa indonesia? Tentu saja bisa. Mari kita lihat bahasa-bahasa daerah yang nyaris punah ketika generasi muda Indonesia dipaksa untuk selalu berbahasa Indonesia. Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris dijadikan mata pelajaran wajib di semua jenjang pendidikan tanpa ada satupun kurikulum yang berbicara tentang bahasa lokal suatu daerah. Mata pelajaran muatan lokal yang ada pun, adalah sesuatu yang sangat dipaksakan untuk ada, sehingga pendalaman terhadap lokalitas kebudayaan daerah tidak terjadi tetapi lebih ke konteks yang lebih umum.
Bahasa Indonesia memiliki peran yang sangat besar terhadap punahnya bahasa daerah tanpa kita sadari. Proses pemunahan ini dilakukan dengan sangat rapi oleh sistem negara hingga kita pun tidak pernah menyadarinya. Ironisnya, pemerintah lokal kita melakukan pembiaran tanpa ada upaya pelestarian. Lembaga seni budaya yang didirikan hanya untuk menjembatani tarian-tarian tradisional dan bukan bahasa lokal. Sialnya lagi, tarian-tarian daerah dirubah seenak perutnya oleh mereka yang mengaku ahli tari hanya agar tarian lokal bisa go international tanpa memikirkan orisinalitas dan filofosi mendalam dibalik tari-tarian itu.
Sadar atau pun tidak, bahasa-bahasa yang baru-baru muncul juga menjadi ancaman terhadap bahasa indonesia, memang belum sampai ke konteks suatu negara, tetapi generasi di bawah 20 tahun saat ini terancam tidak bisa menulis kosa kata bahasa indonesia dengan benar.
Pernah seorang teman yang berprofesi sebagai dosen bercerita kepada saya tentang beberapa orang mahasiswinya yang beberapa kali membuat janji pertemuan dengannya via sms. Tidak ada satu pun dari sms yang masuk ke Hpnya bisa dia baca. Akhirnya, teman saya ini menunjukan sms alay itu kepada mahasiswa yang ada di situ, barulah teka teki sms itu bisa terjawab. 
Ada lagi, seorang teman yang mengajar di SMU ternama di Kota Kupang. Pada awal-awal tahun ajaran baru dimulai, dia langsung memberi pekerjaan rumah untuk anak didiknya. Seminggu kemudian, hanya tugas dari dua orang siswa yang bisa ia baca. Selebihnya harus dikembalikan karena bahasa alay.
Jika menilik kasus-kasus di atas, bukan tidak mungkin Bahasa Indonesia di kalangan pelajar indonesia berada dalam titik kritis. Ketegasan para pengajar mutlak diperlukan untuk mengembalikan mereka ke jalan yang benar. Orang tua dan lingkungan sekitar pun memiliki peran yang ini. Dan tentunya kita semua memiliki peran untuk mengatakan tidak terhadap bahasa alay.
Saya menerapkan hukuman sederhana untuk adik-adik yang mengirim sms dengan gaya bahasa yang tidak saya mengerti itu, yakni dengan tidak pernah membalas sms mereka. Hal ini ternyata sangat efektif, karena sejak hukuman ini berlaku, tak ada lagi sms alay saya terima.




Share