Ijinkan Hati Bicara...: 2016 google-site-verification: google642dcb3a3836b309.html

14 Nov 2016

Intan dan Indonesia

Hari minggu, 13 November 2016 sampai sore hari saya hanya tiduran di kost mungil saya di pinggiran kota Kefa sampai siang menjelang. Rasa laparlah yang memerintahkan saya segera keluar dan mencari makan. Kebetulan, kost saya cukup dekat dengan warung makan khas jawa sehingga saya hanya membutuhkan waktu beberapa menit untuk tiba.

Seporsi makanan saya pesan, menikmatinya dengan lekas karena suhu udara yang sangat panas. Sebuah televisi kecil tepat menghadap ke arah saya dari meja kasir tidak saya pedulikan. Acaranya tidak menarik untuk ditonton. Selesai makan, saya lalu membayar dan segera keluar dari warung itu mencari udara terbuka. Tapi udara di luar juga sangat panas. Langit di atas kepala saya sangat cerah, sementara jauh di bagian timur, awan hitam menggantung pertanda hujan telah jatuh di sana.
Saya segera bergegas pergi. Satu-satunya tempat rindang yang bisa memberi kesejukan hanya kantor tempat saya bekerja selama ini. udara di sekitar kantor selalu sejuk karena banyak tumbuhan yang tumbuh subur sebab disiram setiap hari.

Tidak ada orang di kantor, selain penjaga yang saya ajak bercerita tentang hal-hal sepele. Lalu HP butut di saku saya berdering. Ah, hanya misscall dari orang iseng. Saya mengabaikannya, lalu membuka aplikasi facebook. Sekedadr menengok timeline karena sudah hampir seharian penuh saya mengabaikan banyak notifikasi yang muncul.

Dan, status seorang teman membuat saya terperanjat nyaris tak percaya. Ada boom di samarinda. Di gereja. Korbannya anak-anak. Rata-rata usia balita. Saya belum terlalu percaya. Situs berita langganan langsung saya buka mencari-cari berita tentang boom samarinda. Dan benar.
Kembali saya membuka facebook. Lalu foto-foto korban mulai menghiasi timeline. Rata-rata foto yang sama yang diposting ulang. Bukan dishare. Sehingga tidak bisa lagi dilacak siapa yang paling pertama mengunggah foto para korban.

Usia korban hampir sama dengan usia Elleora, putri saya. Ini usia di mana seorang anak sedang lucu-lucunya. Bahkan, terkadang semua tingkah sang anak adalah hiburan bagi orangtuanya dan orang-orang di sekitarnya. Saya merasakan benar bagaimana kerinduan pada putri saya tatkala setiap hari minggu malam harus kembali ke Kefa meninggalkan dia dan ibunya sendiri. Rasa rindu itu langsung tumbuh subur bahkan ketika saya baru berencana untuk pergi. Dan rasa rindu padanya selalu hampir tak bisa terbendung, beruntung jaman sudah canggih, sudah ada jaringan telepon yang bisa kami pakai melepas rindu, meski hanya dengan mendengar suaranya. Meski setelah menutup telpon, ribuan kesedihan berkecamuk dalam batin saya.

Sebagai orang tua yang jauh dari anak, saya merasakan betapa kesedihan adalah teman paling setia tatkala malam merangkum hari dan kesepian adalah teman setia. Membayangkan gelak tawa Elleora, pertanyaan-pertanyaannya, cara dia berlari, cara dia mencari perhatian. Sungguh, saya selalu ingin ada di sana berteman ia. Sungguh, tiada kebahagiaan selain melihat dia bertumbuh dalam kebahagiaan di dekap ini. Terkadang, di saat sejauh ini, berita yang paling tak enak didengar adalah jika dia tiba-tiba sakit. Batuk dan pilek adalah teman buruk di masa pertumbuhannya ini. Bukan sekali dua ini terjadi. Dan sudah berulang-ulang saya harus meninggalkan aktifitas kantoran saya hanya agar bisa menemani dia selama masa pemulihannya. Berita bahwa Elleora sakit adalah bencana bagi saya. Tetap berada di kantor sementara anak yang dicintai sedang sakit hanya akan membuat saya sangat tidak produktif. Dan saya, akan melakukan segala hal, agar dia yang saya cintai tidak pernah merasa saya tinggalkan. Elleora adalah segala-galanya bagi saya. Bila ada perasaan di atas rasa cinta, maka itulah perasaan saya baginya.

Elleora tidak kaitannya dengan boom di samarinda. Tetapi hati saya memiliki ikatan yang sama tatkala melihat anak-anak seusia Elleora harus menjadi korban dari kekerasan yang dengan sengaja kita ciptakan mengatasnamakan agama. Saya bisa membayangkan bagaimana kedekatan orangtua Intan Intan seperti saya dan Elleora. Usia mereka sama. tingkah laku Intan pasti tidak akan jauh-jauh dari yang selama ini saya lihat dari Elleora. Saya, maupun orangtua Intan pasti memiliki kebanggaan yang sama terhadap anak kami.

Saya dan Elleora hanya terpisah jarak. Rindu masih mampu kami bayar dengan canda lewat telepon. Seminggu sekali saya bisa pulang memeluk dan mencium Elleora. Tapi Intan?? Bocah tak berdosa ini telah pergi untuk selamanya. Meninggalkan ribu duka mendalam bagi ayah dan ibunya. Tidak ada telepon yang bisa dipakai untuk saling berbicara satu sama lain tatkala mereka saling merindu. Tak ada waktu seminggu sekali untuk bertemu. Intan telah pergi. Sangat jauh. Sangat jauh dari ayah dan ibunya.

Intan pergi bukan karena cinta orang tuanya. Tapi jiwanya telah direnggut dengan paksa dan tak berperikemanusiaan. Intan telah pergi sebagai martir. Sebuah bayaran yang sangat mahal dan tak dapat dinilai dengan apa pun hanya karena beberapa orang yang merasa diri paling benar, paling suci secara laknat dan bajingan telah membunuhnya.

Intan diambil secara paksa dari depan gereja, tempat ia baru saja menghabiskan waktu doanya bersama ayah dan ibunya. Ia harus merasakan perihnya neraka akibat luka bakar di sekujur tubuh sebelum menghembuskan nafas terakhir. Ia pergi dengan penderitaan yang tak terkatakan. Meninggalkan hati yang hancur berkeping-keping orangtuanya. Sementara orang yang telah merenggut hidup Intan percaya bahwa dengan membunuh sesama manusia maka kematiannya akan disambut seribu bidadari.

Entah ajaran agama apa yang dipakai si pembunuh. Sebab setahu saya perintah Tuhan sangat jelas “Jangan membunuh!!!”

Jika mereka dapat berkoar bahwa kematian sebagai jihadis akan disambut seribu bidadari. Berarti  mereka tidak pernah tahu, bahwa kami dijanjikan sebagai warga kerajaan sorga. Janji yang diberikan kepada kami adalah pasti. Bukan janji politik. Ini janji sorga. Dan ketika kami mati, seluruh sorga akan bernyanyi menyambut kami. Bukan hanya seribu bidadari.


Selamat jalan, nak. Selamat jalan Intan. Damailah bersama Tuhan Yesus di sorga. Biarlah kami yang masih diijinkan tersisa, terus berjuang pada jalan kebenaran. Memang terjal dan berliku, tapi pasti akan sampai pada tujuan. Tujuan menciptakan Indonesia yang saling menghargai, saling menghormati, saling mencintai.




Share

7 Nov 2016

Mendikbud dan UU Perlindungan Anak*

Opini ini dimuat di Pos Kupang, 14 Oktober 2016

(Tulisan berikut adalah opini pribadi saya dan tidak mewakili lembaga mana pun)

Saya terkejut ketika muncul berita di beberapa media tentang wacana dari Mendikbud Muhadjir Effendy untuk memberlakukan sistem belajar satu hari penuh di sekolah (full day school/FDS) dengan alasan agar para siswa bisa mendapatkan lebih banyak pendidikan karakter dan etika. Alasan kedua, agar anak bisa dijemput oleh orang tuanya yang baru pulang kerja setelah jam 5 sore. Menurut saya, ini alasan yang sangat tidak logis sebagai orang Indonesia, juga kebijakan ini sangat tidak berpihak pada anak.

Hakikatnya, sebuah kebijakan dibuat dengan mempertimbangkan kebijakan lainnya atau untuk mendukung kebijakan lainnya, bukan sebaliknya. Gagasan FDS berpeluang akan bertentangan dengan upaya-upaya perlindungan anak yang sudah disuarakan dalam UU No 23 tahun 2002 dan 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU No 23 thn 2002 tentang perlindungan Anak (selanjutnya disebut UU Perlindungan Anak/PA). Di mana dalam UU ini, aspek-aspek perkembangan anak telah diperhatikan dengan sangat baik oleh pemerintah.

Mari kita lihat definisi anak; pasal 1 ayat 1 UU Perlindungan anak mengatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak dalam kandungan. Ini berarti murid SD – SMU masuk dalam kategori anak. Jika sampai gagasan FDS penuh menjadi kebijakan, tentu akan sangat bertentangan dengan UU PA dan Mendikbud patut disangkakan melanggar UU PA karena telah merampas sebagian hak anak sebagaimana yang tertuang dalam pasal 11 yang menegaskan bahwa anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.

Berikutnya, Pak Mentri kita yang baru ini lupa bahwa Indonesia bukan hanya di Jawa. Indonesia tidak hanya kota beserta fasilitas pendidikan nan mapan. Indonesia disusun oleh gugus pulau dan desa terpencil yang sangat sulit baik infrastruktur maupun informasi. Jika pun kebijakan ini berlaku dan hanya terjadi di kota, maka sekolah-sekolah kota akan semakin maju karena infrastruktur dan sarana pendukung FDS diperhatikan, sementara mereka yang di desa akan tetap menjadi penonton bagaimana sekolah di kota mempertontonkan segala kelebihan mereka. Ini sangat diskriminatif dan menyakitkan.

Pak Mentri juga lupa, bahwa perkembangan mental anak bukan diukur dari berapa lama waktu dia di sekolah dan menerima setiap pelajaran tentang pembentukan karakter dan etika, tapi lingkungan tempat anak bermain yang supportif terhadap perkembangan anak memiliki dampak yang lebih besar daripada seharian dalam kelas. Sehari penuh di lingkungan sekolah tidak menjamin bahwa seseorang akan lebih beretika dibanding jika di luar, karena belum tentu lingkungan sekolah itu sendiri supportif terhadap perkembangan anak.

Kembali ke pasal 11, dalam hal bermain, anak-anak harus diberi kebebasan untuk memilih permainan apa yang dia sukai. Menghabiskan waktu di sekolah jelas hanya akan menjebak mereka terpaku pada permainan yang itu-itu saja, yang bisa jadi cara bermainnya juga akan diatur dalam kurikulum yang monoton dan tidak berpihak pada kepentingan terbaik anak. Ini seperti memberi tali kekang pada leher mereka karena tidak diberi ruang untuk berkreasi sesuai dengan minat dan bakat. Jika terjadi terus-menerus, maka sekolah tidak ada bedanya lagi dengan Lembaga Pemasyarakan Anak.

Alasan berikutnya dari upaya melegalkan FDS adalah menyesuaikan dengan waktu kerja orangtua. Sekali lagi Pak Mentri ini lupa diri bahwa dia sedang tinggal di Indonesia. Saya curiga alasan ini hanya muncul ketika argumentasi lain belum dipikirkan dan kebetulan argumen inilah yang muncul tanpa dipikirkan. Karena argumen tanpa dipikirkan, maka ini seolah keluar dari isi kepala seseorang yang bukan guru besar. Kita tahu, seorang guru besar tentunya akan berbicara berdasarkan sebuah kajian mendalam terhadap suatu masalah bahkan melewati serangkaian riset yang hanya orang-orang berjenis akademisi saja yang tahu. Pernyataan ini adalah bukti bahwa Pak Mentri ini kurang riset, juga kurang piknik. Alasan saya sederhana. Pertama, belum semua daerah di Indonesia memberlakukan jam kerja sampai pukul 5 sore. Kabupaten TTU - NTT misalnya, jam kerja di instansi pemerintah hanya sampai pukul 2 siang dan tetap masuk kerja pada hari sabtu. Kedua, kalaupun di tempat lain yang sudah berlaku jam kerja hingga pukul 5, tapi tidak semua orang tua murid bahkan yang di kota terikat dengan waktu kerja sampai jam 5 sore. Ketiga, setengah bagian lebih jumlah siswa SD-SMA bersekolah di desa-desa, yang  orang tuanya adalah petani atau peternak yang menyediakan waktu lebih setelah waktu pulang sekolah untuk mengajari anak-anaknya bagaimana cara bertani dan beternak sesuai dengan pengalaman mereka. Anak-anak petani inilah yang sudah tahu menanam padi lebih hebat dari gurunya yang hanya membaca bagaimana menanam padi. Mereka sudah mengenal bentuk sapi dan setiap hari berhadapan dengan sapi jauh sebelum kaki mereka menyentuh halaman sekolah lalu diperkenalkan dengan gambar sapi. Mereka sudah melihat langsung usus sapi terburai jauh sebelum mereka ke sekolah dan ditunjukan anatomi sapi. Mereka adalah anak petani yang tidak hanya belajar dari buku tapi juga belajar langsung pada kehidupan itu sendiri. Akhlak mereka yang teruji oleh alam jauh lebih mulia daripada harus terpenjara dalam lingkungan sekolah sehari penuh dan menghasilkan kebosanan. Keempat, tidak semua orang tua mampu memberi uang jajan untuk anak-anak mereka yang berangkat ke sekolah setiap hari. Siapa yang akan memberi jaminan bahwa anak-anak ini tidak akan kelaparan selama seharian di sekolah?

Hak anak berikutnya adalah hak untuk beristirahat. Tapi istirahat dalam UU PA berarti berhenti sejenak dari aktifitas yang membebani psikis dan fisik seorang anak. Sejalan dengan ini, bahkan jauh sebelum UU PA digulir, sudah wajib hukumnya bagi kebanyakan orang tua untuk memberi anak mereka waktu untuk tidur siang. Dari sisi kesehatan, ini adalah cara untuk mereset sistem dalam tubuh agar kembali lebih segar. Hal ini sudah dibuktikan oleh banyak riset bahwa anak yang terbiasa tidur siang lebih cerdas dan lebih kreatif dari anak yang jarang atau tidak pernah tidur siang. Sebaliknya, bila otak anak dibebani oleh seharian penuh aktifitas yang menguras pikiran tanpa istirahat, maka efeknya adalah anak menjadi stress. Anak yang stress akan mudah melakukan hal-hal diluar kendali untuk melampiaskan semua hal yang membebani pikirannya, yang oleh orang dewasa diberi nama kenakalan atau kejahatan. Jika ini sampai terjadi, bukan tidak mungkin sekolah akan dikambinghitamkan karena telah gagal mengajarkan etika kepada anak.

Selanjutnya, para ahli kita dahulu sudah memikirkan banyak hal sebelum memutuskan jam belajar di sekolah hanya tujuh jam. Salah satu pertimbangan adalah bahwa anak tidak hanya dididik dalam sekolah tapi juga dalam lingkungan keluarga sebagai unsur terkecil dari masyarakat. Hubungan yang lebih dekat dan intens antara anak dan orang tua adalah hal paling utama dalam perkembangan anak. Anak yang menghabiskan waktu lebih banyak bersama orang tua atau keluarga akan lebih baik perkembangan psikologisnya dibandingkan dengan anak yang tidak tinggal bersama orang tua atau keluarga terdekat. Jika sekolah sehari penuh diterapkan, maka justru akan memotong waktu interaksi anak dan keluarga yang tentu akan berakibat fatal terhadap perkembangan psikologis anak.

Saya sampai pada kesimpulan, bahwa sebaiknya ide pak mentri ini cukup sudah sebatas ide. Jangan sampai ini menjadi sebuah kebijakan yang malah akan menjadi boomerang bagi anak-anak. Kebijakan ini juga tidak perlu dicoba di sekolah mana pun. Dan kalaupun sudah ada sekolah yang telah menerapkan FDS ini, sebaiknya dihentikan.





Share