Ijinkan Hati Bicara...: November 2013 google-site-verification: google642dcb3a3836b309.html

22 Nov 2013

Sepotong Catatan dari Pentas Teater "CRASH+18, Suara Dari Gerbang Selatan NKRI


CATATAN ini bukanlah bentuk penghakiman terhadap karya seni, tetapi ini adalah sebuah tradisi berkesenian yang harus dibangun sebagai bentuk perhatian dan apresiasi. Kreativitas dan dialog yang kritis adalah dua hal yang harus seiring sejalan sebagai cara mendewasakan manusia dengan karya yang dihasilkan.


***

Apa yang anda bayangkan jika saya menyebut TEATER atau PERTUNJUKAN TEATER? Mungkin anda akan berpikir seperti saya; sebuah pertunjukan peran atau akting di atas panggung dengan adegan demi adegan yang penuh dialog, mimik, gesture, blocking, juga tata lampu dan panggung. Menurut wikipedia, Teater adalah istilah lain  dari drama, kisah hidup dan kehidupan manusia yang diceritakan di atas pentas dengan media yaitu percakapan, gerak dan laku didasarkan pada naskah yang tertulis ditunjang oleh dekor, musik, nyanyian, tarian, dsb. Tetapi dalam pengertian yang lebih luas, teater adalah proses pemilihan teks atau naskah, penafsiran, penggarapan, penyajian atau pementasan dan proses pemahaman atau penikmatan dari public atau audience (bisa pembaca, pendengar, penonton, pengamat, kritikus atau peneliti). Proses penjadian drama ke teater disebut proses teater atau disingkat berteater. Teater bisa diartikan dengan dua cara yaitu dalam arti sempit dan dalam arti luas. Teater dalam arti sempit adalah sebagai drama (kisah hidup dan kehiudpan manusia yang diceritakan di atas pentas, disaksikan orang banyak dan didasarkan pada naskah yang tertulis). Dalam arti luas, teater adalah segala tontonan yang dipertunjukkan di depan orang banyak.

“CRASH+18” Suara Dari Gerbang Selatan NKRI

Bicara tentang teater, Kota Kupang barangkali termasuk salah kota yang geliat berteater masih terbilang sepi. Nyaris hanya satu kali pementasan dalam setahun, itupun baru terjadi dalam tiga tahun terakhir. Dimulai dengan Rumah Poetika Kupang yang dua tahun berturut-turut menyuguhi Republik Ko’uk dan Ratu Balonita. Di susul monolog dari Forum Akademia NTT bertajuk Monologia Flobamora. Dan beberapa hari lalu oleh Karnaval Art Project dengan judul CRASH+18, Suara dari Gerbang Selatan NKRI. Jika sebelumnya Rumah Poetika menghadirkan sastrawan nasional seperti Gerson Poyk, Putu Wijaya dan Radhar Panca Dahana, Karnaval Art kali ini menghadirkan Cornelia Agatha yang turut memberikan nyawa dalam pementasan ini.

Adalah Mario Lema, sang penulis naskah, sutradara sekaligus pemeran sosok Raka menggambarkan niatnya membuat pementasan ini karena motivasinya untuk membangun seni dan budaya di NTT. Pementasan teater ini menyoroti masalah HIV/AIDS di Kota Kupang yang kian tumbuh subur dari hari ke hari dan dimainkan oleh anak-anak muda Kota Kupang sendiri.

Sayangnya, dalam pementasan ini Mario mungkin terlalu fokus pada gerak dan bukan pada kualitas teater secara menyeluruh. Gerak yang dimaksud di sini pun bukan gerak dalam keseluruhan adegan tapi hanya pada adegan dance. Sayangnya lagi, ternyata ini pun tidak dikuasai dengan baik sosok bernama Rere yang terlihat melakukan kesalahan pada adegan dance. Dalam adegan lainnya, gesture menjadi sesuatu yang monoton diantara dialog panjang yang membosankan. Para pemain terlihat ragu-ragu menghayati gerak. Beruntung ada sosok Jack yang menyelamatkan keadaan dengan keaktorannya yang kocak.

Persoalan gerak atau gesture ternyata tidak bisa ditutup dengan dialog yang baik. Mungkin karena sibuk berlatih gerak tari, Mario lupa untuk melatih vokal para pemain. Artikulasi dan volume dihampir semua adegan sangat tidak jelas. Alur drama atau konflik yang seharusnya bisa dinikmati penonton hilang ditelan ketidakjelasan ini. Selain itu, enam pemain yang menguasai panggung dari awal sampai akhir pementasan dengan kostum yang terus berganti membuat pergantian dari adegan ke adegan menjadi sangat lama karena harus menunggu pemain berganti kostum. Penonton pun menjadi bosan dalam penantian menuju adegan berikutnya.

Kesalahan fatal dalam pementasan ini sebenarnya bukan hanya pada gerak dan dialog, tapi peran multimedia yang mengambil alih pementasan. Multimedia yang seharusnya hanya sebagai pendukung ternyata dijadikan film layar lebar hanya untuk menggambarkan bahwa para pemain berada di tempat lain. Alhasil, penonton pun disuguhi beberapa adegan yang diputar dari proyektor.

Dalam pementasan teater, ini hal yang tidak boleh terjadi. Sebab apapun peristiwa yang terjadi dalam naskah harus digambarkan di atas pentas oleh sutradara lewat tata panggung dan kemampuan pemain di atas panggung. Penggambaran adegan lain lewat film yang mengambilalih peran panggung hanya akan memunculkan spekulasi atas ketidakmampuan sutradara dalam mengelola naskah dan panggung. Padahal jika dilihat, tata panggung yang ada sangat cukup untuk memunculkan adegan-adegan tersebut di atasnya. Kesalahan lain dalam pengelolaan multimedia ini juga sangat mengganggu pementasan ketika di tengah-tengah dialog antara Tata dkk, tiba-tiba muncul foto seorang lelaki yang tidak jelas untuk apa wajah narsisnya ditampilkan.

Meski tata panggung sangat baik, ternyata lighting menjadi masalah baru yang tidak bisa dimanfaatkan dengan maksimal oleh para pemain sebab masih ada yang gemar bermain di area shadow. Selain itu, banyaknya lighting ternyata hanya sebagai pendukung panggung dan bukan sebagai pendukung adegan yang disajikan karena tidak ada perbedaan warna lampu untuk setiap suasana yang terus berganti dari menit ke menit.

Tata busana yang sederhana dan tata rias yang menimalis sudah sangat mendukung setiap peran yang dimainkan. Kehidupan sehari-hari memang tidak perlu digambarkan dengan dandanan yang wah. Kesan minimalis sebagai gambaran realitas sehari-hari kehidupan anak muda kupang sudah sangat diwakili oleh hal ini. Demikian pula dengan tata suara cukup baik sehingga menghasilkan kualitas suara musik yang pas. Hanya sedikit masalah dengan mic yang dikenakan Cornelia Agatha pada saat membacakan puisi yang kedua.

Sampai akhir pementasan, saya lagi-lagi harus kecewa karena cerita berakhir di klimaks tanpa anti klimaks. Rere yang menangisi dirinya karena HIV ditutup oleh suara MC sebagai tanda berakhirnya pementasan. Padahal saya masih penasaran apa yang terjadi setelah itu dengan Rere, minimal yang ingin saya tahu adalah tanggapan sahabat-sahabat Rere atas kondisinya. Atau juga, apa sebenarnya makna “Suara dari Gerbang Selatan NKRI.” Apakah hanya sekedar informasi bahwa dari selatan NKRI ini ada juga penderita HIV/AIDS?

Penutup
Apresiasi tentunya harus diberikan kepada Mario Lema dan Karnaval Art yang sudah berhasil menyuguhkan hiburan langka bagi warga Kota Kupang. Pementasan teater yang kontinyu semoga bisa menjadi salah satu cara mengajak warga kota ini lebih mencintai dunia teater, dunia yang masih ditirikan di sini. Semoga Karnaval Art tidak menjadi seperti lainnya yang pentas hari ini untuk mati esok pagi, tetapi terus menghadirkan semangat berteater yang semakin berkualitas dari hari ke hari. Tentunya untuk menghadirkan ini bukanlah hal yang mudah karena harus terus dibarengi dengan latihan tanpa henti untuk meningkatkan kualitas vokal, gerak dan penghayatan terhadap peran.

Secara keseluruhan, naskah “CRASH+18” Suara Dari Gerbang Selatan NKRI memang belum maksimal secara dramaturgi meski sepertinya ini penuh dengan pesan moral. Tetapi, harus dimaklumi sebab Mario adalah pendatang baru dan niat untuk belajar sudah tentu menjadi nilai tambah. Dari sisi keaktoran dan blocking harus bisa lebih dimaksimalkan termasuk sinkronisasi keduanya dengan panggung dan lighting. @dodydoohan




Share

4 Nov 2013

Hari Terakhir Duka

Catatan : Cerpen ini pernah dimuat di rubrik Oase - Kompas

"Carilah seseorang untuk kau rindukan, aku tak mungkin terus ada di sisimu. Rindumu hanya akan membebani langkahku untuk terus berjalan, menyusur hari-hariku." katamu. Aku tertunduk. Bukan pertama kali kau meminta aku melakukan ini. Dan ini bukan hanya tentang aku yang terus merindukanmu, tapi juga masa depan yang telah kau bingkai seindah pelangi di sana. Di tempat segala duka kau kubur dan tak seorang pun mengetahuinya. Kecuali aku.

"Tidak, biarkan aku terus memujamu dengan caraku, dalam kesepianku. Sekian lama aku telah menikmati semua pahit ini, dan aku akan terus menikmatinya, sampai kutemukan cara lain untuk mencintaimu. Jika rinduku menjadi beban bagimu, anggap saja kita tak pernah bersama. Bukankah sekian lama, bagimu aku adalah kesepian."

"Tapi kau akan terus tersiksa dengan perasaanmu, dan aku tak mungkin menutup mata dengan semua hal tentang dirimu, terlebih cinta yang kau diamkan dalam kesepianmu. Buka hatimu, ada orang lain yang bisa mencintaimu lebih baik dari aku. Kita tak mungkin bersama lagi. Kau harus mengerti keadaanku.”

Evania, gadis ini kembali memohon padaku setelah dua tahun yang hilang kembali mempertemukan kami. Dua tahun yang hilang, dan hingga saat ini belum ada yang mampu meluruhkan seluruh perasaan kami. Rindu memuncak di tiap hari yang terlewat. Cinta masih berdetak sama layaknya dulu. Tapi pertemuan kali ini hanya untuk mempertegas masa silam kami akan kebersamaan yang tak mungkin lagi. Kebersamaan yang harus rela dipisahkan oleh pikiran kolot zaman Siti Nurbaya.
Aku menatapnya sambil memegang tangan yang semakin kurus itu. Mata itu, yang pernah melepaskan segala kesedihanku, kini tak mampu menyembunyikan duka meski bibirnya berusaha menutup itu dengan senyumnya yang meluruhkan kesepianku selama ini.

“Dua tahun lebih aku bersembunyi. Dua tahun pula aku menyimpan semua kepinganku sambil berusaha menyusunnya kembali seperti sediakala agar kelak aku mampu bangkit dan tak seorang pun yang tahu bahwa aku pernah hancur. Kau tahu, itu tak pernah mudah bagiku. Ini jalan terberat yang pernah kutempuh dan tak seorang pun yang datang untuk menopang aku. Kini kepingan itu nyaris sempurna kususun. Aku siap untuk bangkit, tapi aku ingin kau ada jika saat itu tiba agar bisa kau saksikan bagaimana seorang yang pernah hancur karena mencintaimu bisa bangkit dari kehancurannya tapi tetap mengagungkanmu dalam cintanya. Aku tak mungkin bangkit tanpamu. Kepingan ini harus ditopang ketika akan berdiri agar tak jatuh dan hancur lagi untuk kesekian kali. Dan kamu, hanya kamu yang bisa menopangnya.

“Tidak! Bukan aku. Kamu bisa bangkit bahkan berlari tanpa aku. Kehadiranku hanya akan membuatmu melangkah dalam bayang-bayangku yang tak mungkin lagi meneduhimu. Kamu harus bisa sendiri. Yang kamu butuhkan kini hanya satu keyakinan, bahwa akan ada orang lain yang mampu membuatmu jauh lebih baik. Bukan aku. Buka matamu. Dunia ini sangat luas dan aku bukan satu-satunya perempuan yang tinggal di dalamnya.”

Matanya beralih ke pintu yang setengah tertutup dengan pandangan kosong, menerawangi gersangnya rumpun pisang yang nyaris kering terbakar terik. Aku berharap ia dapat merenungi hidupku dari rumpun pisang itu. Hidup yang nyaris kering. Untuk terus hidup, harus ada yang menyiramnya dengan cinta dan perhatian yang tulus.

***
Memang benar apa yang dikatakan Evania. Evaniaku yang kini telah merintis deritanya dalam kesepian di negeri batas. Kesepian yang sengaja ia ciptakan untuk untuk menghalau lebih banyak duka berkecamuk dalam dadanya yang telah penuh dengan goresan luka masa lalu. Aku mengaguminya. Ketegaran Evania untuk terus bertahan menghadapi kehidupan yang bukan mimpinya. Dan bukan mimpi semua perempuan, tentu saja. Mimpi-mimpi yang ia ciptakan semenjak gadis harus ia buyarkan kala ia harus menikah dengan seorang lelaki yang tidak lebih dari pecundang. Lelaki yang tak pernah peduli apa yang dimakan seorang Evania dan anaknya. Lelaki yang menggunakan bajunya sirahnya agar selalu terlihat bijaksana dan berwibawa.

Di negeri barunya, Evania harus menciptakan juga mimpi-mimpi baru untuk hidupnya dan membangun semua itu dalam waktu satu malam. Bagaimana tidak, ia seperti memasuki belantara yang sangat kelam dan asing. Ia harus bergulat antara rasa takut oleh kekelaman itu atau mencari jalan agar mampu beradaptasi. Bertahan dengan rasa takut hanya akan membuat ia dikuasai oleh ketakutan itu sendiri dan kekelaman akan semakin menjerumuskan ia ke dalam ngarai yang kian dalam. Evania sungguh perempuan tangguh. Ia berhasil melawan arus, membalik ketakutan dan menerangi kekelaman jalannya, dan pada akhirnya dialah yang memegang pelita dikendalinya dalam hitungan waktu yang singkat.

Namun, sehebat-hebatnya seseorang dikehidupannya, toh ia memiliki rasa rindu untuk menggenggam kembali mimpi-mimpinya di masa silam. Inilah yang tak mampu ia kendalikan. Prahara rumah tangganya dari hari ke hari kian menjadi ruwet. Rasa cinta kian hari hanya sebuah kata untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan formal. Nyaris tak lagi bergetar.

Aku memahami semua yang terjadi pada Evaniaku akhir-akhir ini. Ia bangun mimpi tapi harus kandas oleh ego seorang bajingan. Dan bajingan itu juga yang memporak-porandakan ruang hati yang kusiapkan khusus untuk Evania tapi tiba-tiba hancur oleh undangan pernikahan yang sampai ke rumahku. Berhari-hari aku kehilangan selera makan, hanya tidur dan meratapi nasib hingga akhirnya aku merasa sadar, bahwa mungkin inilah jalan Tuhan untuk memberi kebahagiaan bagi Evaniaku. Mungkin pernikahannya akan mampu memunahkan luka dan duka yang sebelumnya sering digoreskan dengan sempurna oleh sekian jumlah lelaki dalam hatinya. Aku mencoba iklas meski tak iklas oleh kenyataan ini. Dengan segala kekuatan, aku menggenggam tangannya, memberikan kecupan terakhir tatkala ia dipinang secara adat, lalu pergi dari kehidupannya selama berwaktu-waktu.

Aku pergi darinya untuk membuang segala perasaan tentang dia dengan susah payah. Berbulan-bulan kugembalakan kehidupan ini dalam padang kritis dukaku. Menjaga hakikat rindu sestabil mungkin agar tak terperosok ke dalam ngarai duka yang kelam. Hingga pada satu titik dan aku merasa percuma dengan perjuanganku menghalau bayang-bayangnya. Ia kurindukan kala malam dan siang, kala panas dan hujan. Pada akhirnya, ia menjadi alasan mengapa aku harus berdoa. Ia menjadi alasan aku harus menjadi kian tegar. Ia menjadi alasan bagiku untuk kembali menemukan dunia yang hilang, mencari lagi kepingan yang telah terbuang dan menyatukannya lagi.

Kami bertemu di sudut peradaban yang telah lama kutinggalkan setelah perpisahan yang sangat lama. Perjumpaan ini meninggalkan kesedihan yang teramat sangat, menambah lagi sehasta duka dalam cerita kelamku. Evania bukan lagi seperti yang kubayangkan. Sosok magis itu kian kurus tubuhnya termakan derita kesendiriannya. Pundaknya dipenuhi tanggungjawab kehidupan yang berat, melebihi apa yang mampu ia pikul.

Saat itu aku sadar, yang ia butuhkan bukan hanya doa. Tapi juga pelukan agar ia tak merasa sendiri menjalani hidupnya. Ia butuh teman berbagi duka. Teman yang mampu mengerti segala hal dalam pergumulan hidupnya. Ia butuh aku untuk mengurangi lingkar matanya yang menghitam termakan airmata. Ia butuh pundakku untuk berbagi beban hidupnya. Ia adalah cintaku. Maka kurelakan hatiku, jiwa dan ragaku untuk memberi setiap hal yang ia butuhkan untuk menemukan kembali kebahagiaan sejati yang sekian lama menghilang dari kehidupannya.

***
Aku kembali memegang tangan itu. Tangan Evaniaku yang malang, memberinya isyarat agar melihat aku yang di sisinya. Tapi Evania tetap menujukan matanya ke arah pintu dan gersang rumpun pisang di depannya. Dan aku merasakan gemuruh di dadanya, pergumulan batinnya antara menahan airmata agar tak mengalir atau membiarkan semua kesedihannya mengalir deras di hadapanku.


“Evania, kau tahu? Jiwa kembaraku mengarahkan langkah untuk kembali kepadamu. Hatiku setiap hari berseru-seru dalam dada untuk datang padamu. Bukan karena aku tak mampu menemukan perempuan lain, bukan. Bukan itu. Aku kembali, karena aku harus kembali kepadamu. Aku tidak datang untuk menawarkan kebahagiaan yang dulu pernah kusiapkan. Tidak. Aku juga tak datang untuk mengambil sisa kebahagiaanmu. Tidak. Sama sekali tidak. Aku tak datang untuk itu. Aku terlahir bukan untuk berbagi kebahagiaan denganmu tapi untuk mengambil semua duka dari hatimu menjadi milikku. Untuk memberikan pundakku agar kau bisa bersandar. Kau tahu, Evania, untuk alasan apa pun, kau tak pantas memiliki semua kepedihan ini.”

Kalimat terakhirku menyentaknya. Hentakan yang pelan tapi ternyata mampu membobol airmata yang sedari tadi ia bendung. Kubiarkan ia merebut dadaku dan jadikan tempat menangis, melepaskan semua perih yang selama ini membelenggu dan mengekang jiwanya. Kupeluk ia seerat aku memeluk dukanya. Aku tak akan melepasnya lagi untuk pergi menderita di sana. Sendiri.
“Menangislah sayang, sepuasmu. Karena ini adalah hari terakhir kau berduka.”

*Penulis adalah seorang pegiat Sastra di Kota Kupang – NTT dan tergabung dalam komunitas sastra Rumah Poetika Kupang. Beberapa karya pernah dimuat dibeberapa harian lokal Kota Kupang. Kompas merupakan salah media yang pernah memuat puisi-puisinya. Salah satu sajaknya juga menghias antologi karya Fiksi Surat Cinta hasil garapan bersama di Kompasiana, Antologi Puisi Sastrawan NTT, dan Antologi Cerita Pendek Sastrawan NTT. Sering berkicau tak jelas di twitter @dodydohan




Share

2 Nov 2013

Asnat dan Buruh

Jalanan kota jakarta macet total. Kali ini bukan macet karena terlalu banyak kendaraan, tapi karena demo ribuan buruh. Demo kali ini entah yang keberaparatus kali mereka lalukan untuk menuntut kenaikan upah. Ribuan massa buruh yang tergabung dalam beberapa organisasi buruh ini bahkan tak segan-segan bertindak anarkis. Tercatat puluhan kendaraan bermotor dan fasilitas umum dirusak. Ini baru yang sempat terhitung, kerugian materiil dan non-materiil lainnya belum sempat dihitung. Kerugian materi lain misalnya adalah kerugian perusahaan yang pada hari demo ini harus berhenti beroperasi, non-materi bisa berupa efek ke depan akibat hilang kepercayaan investor luar negeri terhadap Indonesia.


Namun, nyatanya tidak semua buruh menuntut hal yang sama. Sebagian buruh memilih tetap bekerja meski akhirnya mereka dipaksa keluar untuk ikut dalam demo. Ada hal menarik yang nampak ketika demo ini berlangsung. Beberapa kelompok buruh yang melakukan demo dengan konvoi kendaraan bermotor, entah disengaja atau tidak menggunakan sepeda motor yang kisaran harganya di atas 25- 60 juta rupiah. Sebut saja kawasaki ninja yang harganya nyaris 55 juta ini ada diantara barisan pendemo.

Tentu saja ini hal yang aneh dan lucu. Di kala mereka berteriak upah mereka tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup di kota Jakarta, saat itu juga mereka memamerkan harta yang bahkan mungkin tidak bisa dibeli oleh lain saking mahalnya.

Tuntutan mereka ini hanya didasarkan atas survey biaya hidup atau kita sebut saja Cost of Living Survey. Survey ini dilakukan untuk mengetahui pengeluaran yang dilakukan oleh seorang pekerja dalam waktu satu bulan, mulai dari hal yang paling kecil sampai pengeluaran besar lainnya. Tentu saja hasil survey ini tidak bisa dengan begitu saja dijadikan standar upah minimum, sebab setelah pengisian, biasanya akan terjadi over budget yang tidak sesuai dengan yang sebenarnya terjadi. Nah, standar hasil survey inilah yang ternyata dijadikan alasan para buruh melakukan demonstrasi menuntut upah yang layak.

Saya tidak ingin masuk lebih jauh ke ranah mereka. Tetapi tuntutan buruh yang berlebihan tanpa memikirkan hal lain-lain ancaman terhadap industri juga perekonomian Indonesia. Jika gaji buruh tetap naik sesuai tuntutan mereka, maka untuk menyelamatkan perusahaan hanya ada tiga cara yang bisa dilakukan oleh pengusaha. Pertama mengurangi jumlah tenaga kerja dan mengganti peran manusia dengan mesin. Ini berarti bahwa akan ada ribuan pengangguran baru mengisi statistik Indonesia. Kedua, menaikan harga hasil produksi. Ini adalah yang paling berbahaya karena dampaknya bukan hanya Jakarta tapi seluruh Indonesia. Semakin tinggi harga barang, semakin turun minat beli masyarakat atau bisa jadi semakin banyak masyarakat miskin di negeri ini, dan bukan tidak mungkin para buruh pun akan merasa berat dengan harga baru dan lagi-lagi mereka bisa saja menuntut lagi upah baru.  Ketiga, memindahkan tempat produksi tidak lagi di jakarta, tapi ke tempat lain yang jasa buruhnya masih murah. Tapi alternatif terakhir ini membutuhkan waktu yang panjang dan biaya yang tidak sedikit.

Buruh memang manusia, apalagi jika tempat mereka adalah Jakarta yang apa-apa serba uang. Tetapi tuntutan yang tidak logis hanya akan menjebak mereka pada tuntutan demi tuntutan hidup. setelah ini, bukan tidak mungkin akan adalagi tuntutan lain terhadap perusahaan atas nama hidup layak mereka.

Hidup layak di sini adalah buruh secara ekonomi dapat memenuhi kebutuhan dia dan keluarganya setiap bulan dengan upah yang cukup. Tuntutan hidup layak ini mengingatkan saya pada seorang Asnat Bell, seorang guru dengan gaji Rp. 50.000 per bulan di pedalaman kabupaten TTS. Asnat yang sederhana tak pernah menuntut kenaikan upah selama sepuluh tahun pengabdiannya. Asnat yang dengan tulus mengabdi demi menciptakan generasi-generasi berotak Habibie. Asnat yang sempat dipecat hanya karena menerima sumbangan dari orang-orang yang peduli padanya. Asnat yang luar biasa, yang mampu menahan perut lapar karena menyadari kemiskinan negerinya, meski ia tahu, bahwa seharusnya dia bisa saja menuntut upah yang layak untuk kehidupannya.

Asnat memang bukan seperti buruh di Jakarta yang pada akhirnya tuntutan mereka disetujui oleh Jokowi meski hanya 2,4 juta per bulan. Tetapi Asnat harusnya bisa menjadi inspirasi bagi banyak orang untuk mengabdi tanpa menuntut secara berlebihan. Asnat tidak punya organisasi yang kompak seperti para buruh, tetapi ia memiliki kepribadian sederhana yang jauh melebihi pikiran siapapun akan kehidupan.




Share