Ijinkan Hati Bicara...: Maret 2013 google-site-verification: google642dcb3a3836b309.html

12 Mar 2013

Saya Ingin menjadi dirut PLN

Lagi-lagi PLN secara sepihak melakukan pemadaman listrik dan kali ini, sekali lagi berlaku untuk seluruh area di Kota Kupang. Pemadaman yang berulang-ulang ini mendorong naluri keingintahuan saya. Berbekal ilmu investigasi yang saya dalami selama bertahun-tahun di dasar laut Sabu, saya pun mencari tahu ada apa dibalik alasan pemadaman listrik yang hampir tiap jam terjadi di kota ini.

Hasilnya sungguh membuat saya sangat terharu. Dan ketika hasil ini saya ceritakan kepada seorang nenek yang sedang menjual udang di daerah Pasir Panjang, sang nenek pun menangis sambil meninju-ninju tiang listrik di sampingnya dengan sekuat tenaga.

Ternyata, ketika hampir semua meteran listrik di rumah-rumah sudah berganti menjadi prabayar, PLN pun melakukan hal yang sama dengan mesin-mesin mereka. Semua mesin PLN diganti dengan mesin prabayar, bahkan bahan bakar pun adalah bahan bakar prabayar. Sebenarnya tidak masalah sih jika semua jadi serba prabayar atau apapunlah sebutannya. Yang jadi masalah adalah ketika tiba saat pengisian pulsa dan orang yang bertugas di bagian tersebut tidak ada di tempat. Dan, masalah akan kian besar ketika bukan hanya petugasnya yang tidak ada di tempat, tapi juga pulsa yang harusnya selalu ada dalam stok ternyata habis pada saat kritis tersebut. Masalah pemadaman akan kian lama ketika pulsa harus dipesan lagi dari Surabaya karena stok di Kupang sudah habis sejak beberapa minggu lalu. Ini berarti, akan ada sangat banyak waktu yang kita habiskan tanpa cahaya.

Saya tidak perlu detail membahas hasil investigasi ini. Terlalu panjang dan saya yakin bahwa sedetail apa pun hasil ini saya paparkan pasti tidak akan dimengerti oleh yang membaca.

Singkat kata, saya ingin merekomendasikan diri saya untuk mengatasi persoalan listrik yang ada di negara ini. Bukan untuk menjadi konsultan, tapi saya ingin menjadi orang yang menjadikan apa yang saya pikirkan sebagai sebuah keputusan. Karena itu saya ingin mengajukan diri untuk menjadi Direktur Utama PT. PLN. Apabila saya dipilih, maka persoalan pemadaman tidak akan pernah terjadi lagi, karena saya memiliki cara paling jitu untuk mengatasi persoalan yang terjadi ini. Cara saya sederhana, agar listrik tak padam lagi, maka jangan pernah padamkan mesinnya listriknya. Aman kan??




Share

Catatan Solidaritas

Dunia seni di kota kupang, saat ini seolah mati enggan hidup pun tak mau, mereka terjepit di antara ketiak-ketiak pemegang otoritas bau-rokrasi yang busuk dan tak tahu malu. Komunitas-komunitas yang didirikan atas nama seni dan budaya, selalu berjalan terseok-seok dalam lipatan-lipatan aturan kota yang menjadikan para pelaku seni adalah penonton kepentingan segelintir manusia yang haus akan kekuasaan. Reputasi seni kota ini, diselingkuhi roh prostitusi para elit politisi yang selalu mencari jalan terbaik untuk meraup setingginya-tingginya nilai uang yang masuk dan bukan pada setinggi-tingginya nilai berkesenian yang harus dicapai dengan jalan murni. Maka tidaklah heran ketika para politisi ini, mencari nama dengan menciptakan rekor-rekor seni di luar daerah sebagai kuantitas bukan pada kualitas seni itu sendiri. Masih segar dalam ingatan kita di bulan silam, kala ja’i massal di-record sebagai yang terakbar. Pertanyaan sederhana saya muncul dengan keprihatinan; apakah mereka yang menari itu memang memahami makna dari tarian itu atau hanya ada di situ hanya untuk menambah jumlah?

Berkesenian bukan tentang rekor, bukan pula tentang di mana kesenian itu dipentaskan. Tapi agar kita memahami apa yang kita lakukan sehingga darinya akan lahir kebijaksanaan-kebijaksanaan hidup. Berkesenian tidak melulu tentang berapa banyak orang harus terlibat, tapi tentang berapa banyak orang yang benar-benar militan untuk menjadikan seni sebagai bagian dari kehidupan yang bijaksana dan bukan sebagai tempat mencari hidup.

Malam minggu kemarin, insan seni kota kupang berbangga ketika sekelompok anak muda kembali hadir memberi warna pada dunia seni peran kota kupang dalam tajuk Monologia Flobamora. Mereka hadir sebagai orang yang haus dan lapar pada tempat bereskpresi. Ya, sekian lama terkungkung dalam aturan yang entah darimana, mereka mencoba berontak dengan menghadirkan lagi pentas teater di tempat yang kini sering dijadikan ajang dugem para ABG. Bahana paduan suara yang menyayat dan merindingkan bulu kuduk dari Unkris Artha Wacana membuka pentas malam itu. Lalu masuk pada pentas sesungguhnya yang dimainkan dengan penjiwaan karakter yang mendalam dari sang aktor Abdi Keraf sekaligus membuktikan bahwa sesungguhnya dunia peran di Flobamora pantas digambarkan segaris dengan Benua Amerika. “Jika di sana mereka memiliki Amerika Latin, maka di Indonesia ini, Indonesia Timur adalah Indonesia latin” kata Ragil Sukriwul sang Sutradara.

Indonesia latin bukan hanya karena perempuan-perempuannya yang cantik tapi karena seni di amerika latin terbilang lebih baik secara kualitas meski kuantitas memang masih kalah dengan kemahakuasaan Hollywood.

Tidak terlepas dari Monologia Flobamora yang dalam dua pementasan kemarin dipenuhi ratusan penonton, saya pun ingin menggugat eksistensi dewan kesenian kota atau apa pun namanya yang alkisah pernah didirikan beberapa tahun silam dan sekarang antah berantah. Dewan yang katanya dipimpin para orangtua ini harusnya merasa malu ketika ada anak-anak muda dengan kreatifitas tinggi melebihi mereka yang sudah usur ini. Mereka adalah anak-anak muda yang tanpa para dewan dan anggaran pemerintah pun tetap menunjukan eksistensi, sekaligus sebagai gugatan terhadap eksistensi para dewan kesenian dan pemerintah terhadap seni itu sendiri. Mereka adalah anak-anak muda dengan visi yang tak muluk-muluk meski tak pernah mulus-mulus mencapainya. Mereka adalah anak-anak muda yang tak pernah peduli pada kompetisi yang selalu menyebabkan atrisi dan erosi  pada perkembangan emosi. Mereka adalah anak-anak muda yang sudah muak dengan hipokrisi para farisi kesenian. Merekalah milisi-milisi yang mempresisikan militansi kehidupan mereka pada dunia seni sesungguhnya. Dari merekalah, orang-orang harus belajar bahwa tidak semua anak muda seglamour anak-anak pejabat yang mentereng dengan mobil hasil korupsi. Eksebisi yang mereka demonstrasikan kemarin, adalah bagian kecil dari kreatifitas yang harus kita sanjung dan puja.

Kembali ke dewan kesenian. Entah di mana ruang pertapaan mereka saat ini, jika tapa mereka masih lama, ada baiknya mereka keluar dan memberikan mandat kepada yang muda untuk melanjutkan estafet lalu mereka boleh kembali bertapa sambil menunggu waktu mati. Sayangnya, ruang tapa para dewan ini ada di sisi mata air anggaran, menyerahkan kepada yang lebih muda berarti menutup sumber mata air mereka. Seakan tanpa mata air ini, mereka akan tenggelam dalam lautan luka dalam, kata sebuah lagu.

Realitas ini, menjadikan kepasrahan sebagai jawaban atas harapan yang coba dibangun berlandaskan keberadaan dewan kesenian ditambah perhatian pemilik otoritas yang acuh tak acuh. Namun, kepasrahan ini tidak harus menjadikan karya-karya seni anak muda setenggelam keberadaan dewan kesenian yang senioritas mereka kian absurd dalam sekularitas mereka. Kepasrahan ini adalah cara lain mencari jalan menuju ruang pentas yang lebih besar dengan mengandalkan solidaritas sesama anak muda pelaku seni. Yup, hanya solidaritas yang bisa kita atasnamakan ketika semakin tebal sekat antar ruang dan ruang. Hanya solidaritas yang mampu menjadikan ihwal yang pelik alias mustahil menjadi sederhana tapi bukan inferioritas, karena dari kesederhanaan inilah akan lahir superioritas kekaryaan yang bestari.




Share