Teknik Pemicuan Mengatasi Kemiskinan di NTT
Salah satu teknik pemicuan dalam STBM adalah masyakat harus dibuat malu
dengan keadaan mereka. Dibuat jijik dengan keadaan di sekitar mereka. Teknik
ini ternyata berhasil merubah pola hidup mereka menjadi lebih sehat.
Menimbulkan rasa malu dalam diri seseorang ternyata memang sangat efektif. Seseorang yang merasa malu dengan keadaan yang buruk dalam dirinya akan berusaha untuk menjadi lebih baik di hadapan yang lain. Seorang pencuri akan diarak keliling agar ia merasa malu dan tidak mengulangi perbuatannya. Seorang koruptor diberitakan dgn heboh, dicibir dan dipenjarakan agar malu dgn perbuatannya dan tidak mengulangnya lagi. Seorang mahasiswa yang nyaris DO akan dibuat malu agar termotivasi untuk menyelesaikan kuliahnya.
Rasa malu bisa membuat seseorang depresi, tapi setelah itu ia akan bangkit
dengan tekad perubahan menjadi lebih baik.
NTT adalah propinsi penuh gengsi yang mencoba bangkit dari kemiskinan yang
memilukan. Hasil perangkingan terbaru masih menempatkan propinsi ini ada di
buntut propinsi lainnya dalam persoalan kemiskinan sejak propinsi ini berdiri.
Tetapi gengsi propinsi ini sangat tinggi, rasa malu atas kemiskinan yang
mendera tidak menyurutkan gengsi untuk menerima keadaan yang ada. Mulai dari
pejabat pemerintah sampai klaster paling bawah menolak disebut miskin. Kekayaan
alam yang tidak seberapa dipertontonkan sebagai kekayaan yang membanggakan agar
tidak disebut miskin. Potensi pariwisata dikembangkan dengan trilyunan rupiah
dana untuk menutupi keadaan sebenarnya bahwa yang miskin adalah rakyatnya.
Stigma NTT miskin yang seharusnya menjadi pemicu kebangkitan rakyat untuk
melawan ternyata tidak menjadi tindakan perubahan malah stagnan sebatas argumen
sampah dengan validitas absurd. Berita dan iklan di media tentang kemiskinan di
NTT dianggap sebagai eksploitasi berlebihan yang bertentangan dengan realitas
yang ada. Tentunya masih jelas ingatan kita pada iklan Lifebuoy yang menuai
kontroversi. Sebelumnya, pernah ada iklan aqua yang tidak kalah hebohnya ketika
dengan sengaja mereka mempertontonkan dialek dan kondisi di pedalaman Kabupaten
TTS. Dua iklan tersebut mendapat penolakan karena dianggap mengeksploitasi
kemiskinan untuk keuntungan perusahaan.
Aneh memang, jika sebuah fakta ditunjukan dengan data akurat saja sudah mendapat
penentangan, entah bagaimana jika fakta tersebut berubah menjadi prokem yang
terdengar lebih kasar atau kiasan yang menyembunyikan fakta.
Atas nama gengsi, kekayaan NTT dipertahankan dengan argumen dalam hampir
semua diskusi atau debat tanpa tindakan konkrit. Tidak ada yang dihasilkan dari
diskusi panjang sepanjang dekade kemiskinan ini. Program pengentasan kemiskinan
berakhir meninggalkan nama dan kenangan tanpa strategi mempertahankannya agar
tetap berjalan. Ratusan koperasi didirikan untuk mendongkrak ekonomi ternyata
hanya berupa pinjaman untuk mempertahankan hidup, bukan sebagai modal usaha
jangka panjang. Kelompok-kelompok ekonomi kreatif banyak dibentuk oleh
pemerintah dan LSM-LSM ternyata juga hanya menjadi program sesaat yang gulung
tikar setelah program itu berakhir. Ratusan program pemberdayaan lagi-lagi
hanya sebuah simbol pengentasan kemiskinan.
Jika berpijak pada konsep pemberdayaan masyarakat yang digadangkan oleh
PBB, maka sesungguhnya kita bukan pada taraf itu. Terjemahan yang salah oleh
pelaku program malahan tidak lagi menjadikannya sebagai standar atau pedoman
pemberdayaan, sialnya kesalahan menerjemahkan konsep ini dilakukan juga oleh
badan-badan PBB dan NGO-NGO Internasional yang saat ini bekerja di Timor Barat.
Atas nama quantitas, penerima manfaat tidak dipicu untuk melakukan perubahan
tetapi dipicu untuk memenuhi target program. Inilah alasan utama mengapa
program-program pemberdayaan selalu kandas ketika masyarakat tidak lagi
didampingi.
Saya setuju bahwa NTT adalah propinsi miskin. Ini akan menjadi dorongan
bagi siapapun untuk keluar dari zona yang tidak mengenakan ini. Tetapi untuk
keluar dari situ bukan hal sepele yang bisa diselesaikan dengan argumen atas
nama gengsi. Masyarakat NTT harus menerima kenyataan memalukan ini dengan
lapang dada, melepaskan kepentingan pribadi dan kelompok, dan menerima dengan
positif pihak luar yang hendak membangun masyarakat tanpa merusak budaya dan
alam di sini.
Selama beberapa dasawarsa disebut sebagai propinsi miskin, seharusnya kita
bisa melepaskan nilai itu dengan tidak mempertahankan gengsi kita. Sebab ketika
kita menolak disebut miskin dengan alasan harga diri, maka saat itu juga kita
telah kehilangan harga diri. Kehormatan adalah ketika kita dengan tulus
mengakui diri kita apa adanya. Kita memang harus berpikir kritis, tapi
kekritisan kita harus memiliki latar belakang dan memperhitungkan masa depan.
Jika tanpa ini, maka kita ada di zona kritis, menunggu waktu diterkam krisis.
Share
Tidak ada komentar:
Posting Komentar