Asnat dan Buruh
Jalanan kota jakarta macet total. Kali ini bukan macet
karena terlalu banyak kendaraan, tapi karena demo ribuan buruh. Demo kali ini
entah yang keberaparatus kali mereka lalukan untuk menuntut kenaikan upah.
Ribuan massa buruh yang tergabung dalam beberapa organisasi buruh ini bahkan
tak segan-segan bertindak anarkis. Tercatat puluhan kendaraan bermotor dan
fasilitas umum dirusak. Ini baru yang sempat terhitung, kerugian materiil dan
non-materiil lainnya belum sempat dihitung. Kerugian materi lain misalnya adalah
kerugian perusahaan yang pada hari demo ini harus berhenti beroperasi,
non-materi bisa berupa efek ke depan akibat hilang kepercayaan investor luar
negeri terhadap Indonesia.
Namun, nyatanya tidak semua buruh menuntut hal yang sama.
Sebagian buruh memilih tetap bekerja meski akhirnya mereka dipaksa keluar untuk
ikut dalam demo. Ada hal menarik yang nampak ketika demo ini berlangsung.
Beberapa kelompok buruh yang melakukan demo dengan konvoi kendaraan bermotor,
entah disengaja atau tidak menggunakan sepeda motor yang kisaran harganya di
atas 25- 60 juta rupiah. Sebut saja kawasaki ninja yang harganya nyaris 55 juta
ini ada diantara barisan pendemo.
Tentu saja ini hal yang aneh dan lucu. Di kala mereka
berteriak upah mereka tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup di kota Jakarta, saat
itu juga mereka memamerkan harta yang bahkan mungkin tidak bisa dibeli oleh
lain saking mahalnya.
Tuntutan mereka ini hanya didasarkan atas survey biaya hidup atau kita sebut saja Cost of Living Survey. Survey ini dilakukan untuk mengetahui pengeluaran yang dilakukan oleh seorang pekerja dalam waktu satu bulan, mulai dari hal yang paling kecil sampai pengeluaran besar lainnya. Tentu saja hasil survey ini tidak bisa dengan begitu saja dijadikan standar upah minimum, sebab setelah pengisian, biasanya akan terjadi over budget yang tidak sesuai dengan yang sebenarnya terjadi. Nah, standar hasil survey inilah yang ternyata dijadikan alasan para buruh melakukan demonstrasi menuntut upah yang layak.
Saya tidak ingin masuk lebih jauh ke ranah mereka. Tetapi
tuntutan buruh yang berlebihan tanpa memikirkan hal lain-lain ancaman terhadap
industri juga perekonomian Indonesia. Jika gaji buruh tetap naik sesuai
tuntutan mereka, maka untuk menyelamatkan perusahaan hanya ada tiga cara yang
bisa dilakukan oleh pengusaha. Pertama mengurangi jumlah tenaga kerja dan
mengganti peran manusia dengan mesin. Ini berarti bahwa akan ada ribuan
pengangguran baru mengisi statistik Indonesia. Kedua, menaikan harga hasil
produksi. Ini adalah yang paling berbahaya karena dampaknya bukan hanya Jakarta
tapi seluruh Indonesia. Semakin tinggi harga barang, semakin turun minat beli
masyarakat atau bisa jadi semakin banyak masyarakat miskin di negeri ini, dan
bukan tidak mungkin para buruh pun akan merasa berat dengan harga baru dan
lagi-lagi mereka bisa saja menuntut lagi upah baru. Ketiga, memindahkan tempat produksi tidak lagi
di jakarta, tapi ke tempat lain yang jasa buruhnya masih murah. Tapi alternatif
terakhir ini membutuhkan waktu yang panjang dan biaya yang tidak sedikit.
Buruh memang manusia, apalagi jika tempat mereka adalah
Jakarta yang apa-apa serba uang. Tetapi tuntutan yang tidak logis hanya akan menjebak
mereka pada tuntutan demi tuntutan hidup. setelah ini, bukan tidak mungkin akan
adalagi tuntutan lain terhadap perusahaan atas nama hidup layak mereka.
Hidup layak di sini adalah buruh secara ekonomi dapat
memenuhi kebutuhan dia dan keluarganya setiap bulan dengan upah yang cukup. Tuntutan
hidup layak ini mengingatkan saya pada seorang Asnat Bell, seorang guru dengan
gaji Rp. 50.000 per bulan di pedalaman kabupaten TTS. Asnat yang sederhana tak
pernah menuntut kenaikan upah selama sepuluh tahun pengabdiannya. Asnat yang
dengan tulus mengabdi demi menciptakan generasi-generasi berotak Habibie. Asnat
yang sempat dipecat hanya karena menerima sumbangan dari orang-orang yang
peduli padanya. Asnat yang luar biasa, yang mampu menahan perut lapar karena
menyadari kemiskinan negerinya, meski ia tahu, bahwa seharusnya dia bisa saja
menuntut upah yang layak untuk kehidupannya.
Asnat memang bukan seperti buruh di Jakarta yang pada
akhirnya tuntutan mereka disetujui oleh Jokowi meski hanya 2,4 juta per bulan. Tetapi
Asnat harusnya bisa menjadi inspirasi bagi banyak orang untuk mengabdi tanpa
menuntut secara berlebihan. Asnat tidak punya organisasi yang kompak seperti
para buruh, tetapi ia memiliki kepribadian sederhana yang jauh melebihi pikiran
siapapun akan kehidupan.
Share
Tidak ada komentar:
Posting Komentar