Sepotong Catatan dari Pentas Teater "CRASH+18, Suara Dari Gerbang Selatan NKRI
CATATAN ini bukanlah bentuk penghakiman terhadap karya seni,
tetapi ini adalah sebuah tradisi berkesenian yang harus dibangun sebagai bentuk
perhatian dan apresiasi. Kreativitas dan dialog yang kritis adalah dua hal yang
harus seiring sejalan sebagai cara mendewasakan manusia dengan karya yang
dihasilkan.
***
Apa yang anda bayangkan jika saya menyebut TEATER atau
PERTUNJUKAN TEATER? Mungkin anda akan berpikir seperti saya; sebuah pertunjukan
peran atau akting di atas panggung dengan adegan demi adegan yang penuh dialog,
mimik, gesture, blocking, juga tata lampu dan panggung. Menurut wikipedia, Teater adalah istilah lain dari drama, kisah hidup dan kehidupan manusia
yang diceritakan di atas pentas dengan media yaitu percakapan, gerak dan laku
didasarkan pada naskah yang tertulis ditunjang oleh dekor, musik, nyanyian,
tarian, dsb. Tetapi dalam pengertian yang lebih luas, teater adalah proses
pemilihan teks atau naskah, penafsiran, penggarapan, penyajian atau pementasan
dan proses pemahaman atau penikmatan dari public atau audience (bisa pembaca,
pendengar, penonton, pengamat, kritikus atau peneliti). Proses penjadian drama
ke teater disebut proses teater atau disingkat berteater. Teater bisa diartikan
dengan dua cara yaitu dalam arti sempit dan dalam arti luas. Teater dalam arti
sempit adalah sebagai drama (kisah hidup dan kehiudpan manusia yang diceritakan
di atas pentas, disaksikan orang banyak dan didasarkan pada naskah yang
tertulis). Dalam arti luas, teater adalah segala tontonan yang dipertunjukkan
di depan orang banyak.
“CRASH+18” Suara Dari
Gerbang Selatan NKRI
Bicara tentang teater, Kota Kupang barangkali termasuk salah
kota yang geliat berteater masih terbilang sepi. Nyaris hanya satu kali
pementasan dalam setahun, itupun baru terjadi dalam tiga tahun terakhir. Dimulai
dengan Rumah Poetika Kupang yang dua tahun berturut-turut menyuguhi Republik Ko’uk
dan Ratu Balonita. Di susul monolog dari Forum Akademia NTT bertajuk Monologia
Flobamora. Dan beberapa hari lalu oleh Karnaval Art Project dengan judul
CRASH+18, Suara dari Gerbang Selatan NKRI. Jika sebelumnya Rumah Poetika
menghadirkan sastrawan nasional seperti Gerson Poyk, Putu Wijaya dan Radhar Panca
Dahana, Karnaval Art kali ini menghadirkan Cornelia Agatha yang turut
memberikan nyawa dalam pementasan ini.
Adalah Mario Lema, sang penulis naskah, sutradara sekaligus
pemeran sosok Raka menggambarkan niatnya membuat pementasan ini karena motivasinya
untuk membangun seni dan budaya di NTT. Pementasan teater ini menyoroti masalah
HIV/AIDS di Kota Kupang yang kian tumbuh subur dari hari ke hari dan dimainkan
oleh anak-anak muda Kota Kupang sendiri.
Sayangnya, dalam pementasan ini Mario mungkin terlalu fokus
pada gerak dan bukan pada kualitas teater secara menyeluruh. Gerak yang
dimaksud di sini pun bukan gerak dalam keseluruhan adegan tapi hanya pada
adegan dance. Sayangnya lagi, ternyata ini pun tidak dikuasai dengan baik sosok
bernama Rere yang terlihat melakukan kesalahan pada adegan dance. Dalam adegan
lainnya, gesture menjadi sesuatu yang monoton diantara dialog panjang yang
membosankan. Para pemain terlihat ragu-ragu menghayati gerak. Beruntung ada
sosok Jack yang menyelamatkan keadaan dengan keaktorannya yang kocak.
Persoalan gerak atau gesture ternyata tidak bisa ditutup
dengan dialog yang baik. Mungkin karena sibuk berlatih gerak tari, Mario lupa
untuk melatih vokal para pemain. Artikulasi dan volume dihampir semua adegan
sangat tidak jelas. Alur drama atau konflik yang seharusnya bisa dinikmati
penonton hilang ditelan ketidakjelasan ini. Selain itu, enam pemain yang
menguasai panggung dari awal sampai akhir pementasan dengan kostum yang terus
berganti membuat pergantian dari adegan ke adegan menjadi sangat lama karena
harus menunggu pemain berganti kostum. Penonton pun menjadi bosan dalam
penantian menuju adegan berikutnya.
Kesalahan fatal dalam pementasan ini sebenarnya bukan hanya
pada gerak dan dialog, tapi peran multimedia yang mengambil alih pementasan. Multimedia
yang seharusnya hanya sebagai pendukung ternyata dijadikan film layar lebar hanya
untuk menggambarkan bahwa para pemain berada di tempat lain. Alhasil, penonton
pun disuguhi beberapa adegan yang diputar dari proyektor.
Dalam pementasan teater, ini hal yang tidak boleh terjadi. Sebab
apapun peristiwa yang terjadi dalam naskah harus digambarkan di atas pentas
oleh sutradara lewat tata panggung dan kemampuan pemain di atas panggung. Penggambaran
adegan lain lewat film yang mengambilalih peran panggung hanya akan memunculkan
spekulasi atas ketidakmampuan sutradara dalam mengelola naskah dan panggung.
Padahal jika dilihat, tata panggung yang ada sangat cukup untuk memunculkan
adegan-adegan tersebut di atasnya. Kesalahan lain dalam pengelolaan multimedia
ini juga sangat mengganggu pementasan ketika di tengah-tengah dialog antara Tata
dkk, tiba-tiba muncul foto seorang lelaki yang tidak jelas untuk apa wajah
narsisnya ditampilkan.
Meski tata panggung sangat baik, ternyata lighting menjadi
masalah baru yang tidak bisa dimanfaatkan dengan maksimal oleh para pemain
sebab masih ada yang gemar bermain di area shadow. Selain itu, banyaknya
lighting ternyata hanya sebagai pendukung panggung dan bukan sebagai pendukung
adegan yang disajikan karena tidak ada perbedaan warna lampu untuk setiap
suasana yang terus berganti dari menit ke menit.
Tata busana yang sederhana dan tata rias yang menimalis sudah
sangat mendukung setiap peran yang dimainkan. Kehidupan sehari-hari memang
tidak perlu digambarkan dengan dandanan yang wah. Kesan minimalis sebagai
gambaran realitas sehari-hari kehidupan anak muda kupang sudah sangat diwakili
oleh hal ini. Demikian pula dengan tata suara cukup baik sehingga menghasilkan
kualitas suara musik yang pas. Hanya sedikit masalah dengan mic yang dikenakan
Cornelia Agatha pada saat membacakan puisi yang kedua.
Sampai akhir pementasan, saya lagi-lagi harus kecewa karena
cerita berakhir di klimaks tanpa anti klimaks. Rere yang menangisi dirinya
karena HIV ditutup oleh suara MC sebagai tanda berakhirnya pementasan. Padahal
saya masih penasaran apa yang terjadi setelah itu dengan Rere, minimal yang
ingin saya tahu adalah tanggapan sahabat-sahabat Rere atas kondisinya. Atau juga,
apa sebenarnya makna “Suara dari Gerbang Selatan NKRI.” Apakah hanya sekedar informasi
bahwa dari selatan NKRI ini ada juga penderita HIV/AIDS?
Penutup
Apresiasi tentunya harus diberikan kepada Mario Lema dan
Karnaval Art yang sudah berhasil menyuguhkan hiburan langka bagi warga Kota
Kupang. Pementasan teater yang kontinyu semoga bisa menjadi salah satu cara
mengajak warga kota ini lebih mencintai dunia teater, dunia yang masih
ditirikan di sini. Semoga Karnaval Art tidak menjadi seperti lainnya yang
pentas hari ini untuk mati esok pagi, tetapi terus menghadirkan semangat
berteater yang semakin berkualitas dari hari ke hari. Tentunya untuk
menghadirkan ini bukanlah hal yang mudah karena harus terus dibarengi dengan
latihan tanpa henti untuk meningkatkan kualitas vokal, gerak dan penghayatan
terhadap peran.
Secara keseluruhan, naskah “CRASH+18” Suara Dari Gerbang Selatan NKRI memang belum maksimal secara
dramaturgi meski sepertinya ini penuh dengan pesan moral. Tetapi, harus
dimaklumi sebab Mario adalah pendatang baru dan niat untuk belajar sudah tentu
menjadi nilai tambah. Dari sisi keaktoran dan blocking harus bisa lebih
dimaksimalkan termasuk sinkronisasi keduanya dengan panggung dan lighting. @dodydoohan
Share
Tidak ada komentar:
Posting Komentar