Ijinkan Hati Bicara...: Sepotong Catatan dari Pentas Teater "CRASH+18, Suara Dari Gerbang Selatan NKRI google-site-verification: google642dcb3a3836b309.html

22 Nov 2013

Sepotong Catatan dari Pentas Teater "CRASH+18, Suara Dari Gerbang Selatan NKRI


CATATAN ini bukanlah bentuk penghakiman terhadap karya seni, tetapi ini adalah sebuah tradisi berkesenian yang harus dibangun sebagai bentuk perhatian dan apresiasi. Kreativitas dan dialog yang kritis adalah dua hal yang harus seiring sejalan sebagai cara mendewasakan manusia dengan karya yang dihasilkan.


***

Apa yang anda bayangkan jika saya menyebut TEATER atau PERTUNJUKAN TEATER? Mungkin anda akan berpikir seperti saya; sebuah pertunjukan peran atau akting di atas panggung dengan adegan demi adegan yang penuh dialog, mimik, gesture, blocking, juga tata lampu dan panggung. Menurut wikipedia, Teater adalah istilah lain  dari drama, kisah hidup dan kehidupan manusia yang diceritakan di atas pentas dengan media yaitu percakapan, gerak dan laku didasarkan pada naskah yang tertulis ditunjang oleh dekor, musik, nyanyian, tarian, dsb. Tetapi dalam pengertian yang lebih luas, teater adalah proses pemilihan teks atau naskah, penafsiran, penggarapan, penyajian atau pementasan dan proses pemahaman atau penikmatan dari public atau audience (bisa pembaca, pendengar, penonton, pengamat, kritikus atau peneliti). Proses penjadian drama ke teater disebut proses teater atau disingkat berteater. Teater bisa diartikan dengan dua cara yaitu dalam arti sempit dan dalam arti luas. Teater dalam arti sempit adalah sebagai drama (kisah hidup dan kehiudpan manusia yang diceritakan di atas pentas, disaksikan orang banyak dan didasarkan pada naskah yang tertulis). Dalam arti luas, teater adalah segala tontonan yang dipertunjukkan di depan orang banyak.

“CRASH+18” Suara Dari Gerbang Selatan NKRI

Bicara tentang teater, Kota Kupang barangkali termasuk salah kota yang geliat berteater masih terbilang sepi. Nyaris hanya satu kali pementasan dalam setahun, itupun baru terjadi dalam tiga tahun terakhir. Dimulai dengan Rumah Poetika Kupang yang dua tahun berturut-turut menyuguhi Republik Ko’uk dan Ratu Balonita. Di susul monolog dari Forum Akademia NTT bertajuk Monologia Flobamora. Dan beberapa hari lalu oleh Karnaval Art Project dengan judul CRASH+18, Suara dari Gerbang Selatan NKRI. Jika sebelumnya Rumah Poetika menghadirkan sastrawan nasional seperti Gerson Poyk, Putu Wijaya dan Radhar Panca Dahana, Karnaval Art kali ini menghadirkan Cornelia Agatha yang turut memberikan nyawa dalam pementasan ini.

Adalah Mario Lema, sang penulis naskah, sutradara sekaligus pemeran sosok Raka menggambarkan niatnya membuat pementasan ini karena motivasinya untuk membangun seni dan budaya di NTT. Pementasan teater ini menyoroti masalah HIV/AIDS di Kota Kupang yang kian tumbuh subur dari hari ke hari dan dimainkan oleh anak-anak muda Kota Kupang sendiri.

Sayangnya, dalam pementasan ini Mario mungkin terlalu fokus pada gerak dan bukan pada kualitas teater secara menyeluruh. Gerak yang dimaksud di sini pun bukan gerak dalam keseluruhan adegan tapi hanya pada adegan dance. Sayangnya lagi, ternyata ini pun tidak dikuasai dengan baik sosok bernama Rere yang terlihat melakukan kesalahan pada adegan dance. Dalam adegan lainnya, gesture menjadi sesuatu yang monoton diantara dialog panjang yang membosankan. Para pemain terlihat ragu-ragu menghayati gerak. Beruntung ada sosok Jack yang menyelamatkan keadaan dengan keaktorannya yang kocak.

Persoalan gerak atau gesture ternyata tidak bisa ditutup dengan dialog yang baik. Mungkin karena sibuk berlatih gerak tari, Mario lupa untuk melatih vokal para pemain. Artikulasi dan volume dihampir semua adegan sangat tidak jelas. Alur drama atau konflik yang seharusnya bisa dinikmati penonton hilang ditelan ketidakjelasan ini. Selain itu, enam pemain yang menguasai panggung dari awal sampai akhir pementasan dengan kostum yang terus berganti membuat pergantian dari adegan ke adegan menjadi sangat lama karena harus menunggu pemain berganti kostum. Penonton pun menjadi bosan dalam penantian menuju adegan berikutnya.

Kesalahan fatal dalam pementasan ini sebenarnya bukan hanya pada gerak dan dialog, tapi peran multimedia yang mengambil alih pementasan. Multimedia yang seharusnya hanya sebagai pendukung ternyata dijadikan film layar lebar hanya untuk menggambarkan bahwa para pemain berada di tempat lain. Alhasil, penonton pun disuguhi beberapa adegan yang diputar dari proyektor.

Dalam pementasan teater, ini hal yang tidak boleh terjadi. Sebab apapun peristiwa yang terjadi dalam naskah harus digambarkan di atas pentas oleh sutradara lewat tata panggung dan kemampuan pemain di atas panggung. Penggambaran adegan lain lewat film yang mengambilalih peran panggung hanya akan memunculkan spekulasi atas ketidakmampuan sutradara dalam mengelola naskah dan panggung. Padahal jika dilihat, tata panggung yang ada sangat cukup untuk memunculkan adegan-adegan tersebut di atasnya. Kesalahan lain dalam pengelolaan multimedia ini juga sangat mengganggu pementasan ketika di tengah-tengah dialog antara Tata dkk, tiba-tiba muncul foto seorang lelaki yang tidak jelas untuk apa wajah narsisnya ditampilkan.

Meski tata panggung sangat baik, ternyata lighting menjadi masalah baru yang tidak bisa dimanfaatkan dengan maksimal oleh para pemain sebab masih ada yang gemar bermain di area shadow. Selain itu, banyaknya lighting ternyata hanya sebagai pendukung panggung dan bukan sebagai pendukung adegan yang disajikan karena tidak ada perbedaan warna lampu untuk setiap suasana yang terus berganti dari menit ke menit.

Tata busana yang sederhana dan tata rias yang menimalis sudah sangat mendukung setiap peran yang dimainkan. Kehidupan sehari-hari memang tidak perlu digambarkan dengan dandanan yang wah. Kesan minimalis sebagai gambaran realitas sehari-hari kehidupan anak muda kupang sudah sangat diwakili oleh hal ini. Demikian pula dengan tata suara cukup baik sehingga menghasilkan kualitas suara musik yang pas. Hanya sedikit masalah dengan mic yang dikenakan Cornelia Agatha pada saat membacakan puisi yang kedua.

Sampai akhir pementasan, saya lagi-lagi harus kecewa karena cerita berakhir di klimaks tanpa anti klimaks. Rere yang menangisi dirinya karena HIV ditutup oleh suara MC sebagai tanda berakhirnya pementasan. Padahal saya masih penasaran apa yang terjadi setelah itu dengan Rere, minimal yang ingin saya tahu adalah tanggapan sahabat-sahabat Rere atas kondisinya. Atau juga, apa sebenarnya makna “Suara dari Gerbang Selatan NKRI.” Apakah hanya sekedar informasi bahwa dari selatan NKRI ini ada juga penderita HIV/AIDS?

Penutup
Apresiasi tentunya harus diberikan kepada Mario Lema dan Karnaval Art yang sudah berhasil menyuguhkan hiburan langka bagi warga Kota Kupang. Pementasan teater yang kontinyu semoga bisa menjadi salah satu cara mengajak warga kota ini lebih mencintai dunia teater, dunia yang masih ditirikan di sini. Semoga Karnaval Art tidak menjadi seperti lainnya yang pentas hari ini untuk mati esok pagi, tetapi terus menghadirkan semangat berteater yang semakin berkualitas dari hari ke hari. Tentunya untuk menghadirkan ini bukanlah hal yang mudah karena harus terus dibarengi dengan latihan tanpa henti untuk meningkatkan kualitas vokal, gerak dan penghayatan terhadap peran.

Secara keseluruhan, naskah “CRASH+18” Suara Dari Gerbang Selatan NKRI memang belum maksimal secara dramaturgi meski sepertinya ini penuh dengan pesan moral. Tetapi, harus dimaklumi sebab Mario adalah pendatang baru dan niat untuk belajar sudah tentu menjadi nilai tambah. Dari sisi keaktoran dan blocking harus bisa lebih dimaksimalkan termasuk sinkronisasi keduanya dengan panggung dan lighting. @dodydoohan




Share

Tidak ada komentar:

Posting Komentar