Budaya di Atas Kepala Kita
Perkembangan teknologi dewasa ini berhasil mengajak orang untuk tidak lagi harus berpikir susah-susah tentang apa yang harus dilakukan. Hal-hal praktis yang dulunya rumit menjadi instan. Apa yang dulunya hanya bisa dinikmati orang kaya, kini bisa juga dinikmati bahkan mungkin oleh orang paling miskin menurut catatan statistik.
Teknologi baru memang diciptakan untuk membuat hidup manusia menjadi lebih mudah. Tetapi kreatifitas para ahli dengan beberapa inovasi teknologi justru menjerumuskan generasi berikutnya menjadi tidak lagi produktif sebagai orang kreatif juga komunikasi face to face menjadi sesuatu yang tidak lagi penting.
Jika dulu seorang anak kecil dengan segala upaya menciptakan mainannya sendiri dari bahan yang bisa ia temukan di alam, kini kita lebih banyak menemukan banyak anak kecil yang merengek di toko atau mall untuk sebuah mainan mahal yang rusak setiba di rumah. Jabat tangan dari rumah ke rumah ketika natal kini berganti dengan sepotong SMS yang dirasa sudah cukup sebagai bagian dari silaturahmi.
Banyak pakar memiliki pendapat yang bertolak belakang tentang teknologi baru yang muncul akhir-akhir ini. Games di smartphone oleh beberapa ahli diklaim mampu meningkatkan kreatifitas anak. Namun, ada ahli lain yang berpendapat bahwa games tersebut membuat anak menjadi malas belajar dan menurunkan minatnya terhadap hal yang lain. Meski secara empiris belum ada kejadian yang membuktikan pendapat pertama, tapi pendapat kedua adalah fakta yang tidak bisa dibantah.
Selain berdampak pada perkembangan anak, teknologi juga secara perlahan meruntuhkan kekekalan sebuah tradisi yang telah dijalani manusia dari abad ke abad. Budaya komunikasi yang terjalin dalam pertemuan fisik perlahan sirna seiring berkembangnya media komunikasi seluler. Misalnya tradisi “okomama” orang Timor yang mulai ditinggalkan berganti dengan undangan via telepon atau SMS.
Okomama dalam budaya Timor adalah silahturahmi antar keluarga. Biasanya Okomama dipersembahkan sebagai undangan dari keluarga yang satu kepada keluarga yang lain untuk menghadiri acara atau pesta yang dibuat oleh keluarga yang mengantar okomama. Secara fisik, okomama adalah tempat sirih dan pinang yang dianyam dari daun lontar dengan corak tradisional Timor. Di dalamnya akan diisi dengan sirih dan pinang yang dalam perkembangan selanjutnya diisi dengan sejumlah uang. Semakin tinggi nilai uang dalam okomama, semakin penting arti kehadiran orang yang diundang tersebut dalam acara yang akan dimaksud. Okomama biasanya dibawa oleh tokoh adat atau utusan adat dari keluarga yang mengutus. Orang yang diutus tidak sembarangan. Dia harus menguasai pantun atau syair orang timor yang harus dikatakan ketika menyampaikan undangan.
Okomama tidak hanya berlaku untuk pesta tetapi juga ketika seseorang meninggal. Keluarga jauh atau tokoh adat yang memiliki pengaruh langsung terhadap yang meninggal harus diundang secara adat dengan okomama untuk melayat. Tanda bahwa yang bersangkutan akan memenuhi undangan adalah dengan diambilnya isi dalam okomama. Jika tidak diambil, maka yang diundang berkeberatan untuk hadir dengan alasan-alasan tertentu.
Kisah okomama kini hanya menjadi nostalgia budaya. Dan sekali lagi perkembangan teknologi komunikasi menjadi kambing hitam dari hilangnya tradisi ini.
Selain okomama, permainan tradisional anak-anak kini tak berbekas. Tidak ada lagi anak meluncur dengan pelepah pisang ketika musim hujan tiba. Di kota besar bahkan tidak lagi kita temukan anak kecil bermain mobil-mobilan dari bahan-bahan alam maupun bahan daur ulang. Jika dulu anak-anak berlomba membuat petasan dari bahan daur ulang yang bisa dipakai berkali-kali, kini orang tua harus menyediakan budget khusus menjelang natal untuk membeli petasan mahal yang tidak berbekas dalam sekali ledak. Jika dulu mobil-mobilan dari kayu yang bisa diperbaiki ketika rusak, kini sudah berganti barang plastik berbahaya tanpa garansi bisa diperbaiki apabila rusak.
Contoh-contoh di atas hanya segelintir masa lalu yang makin jarang ditemukan di Kota Kupang. Salah satu lagi yang kemungkinan akan hilang ketika hari natal tiba adalah kebiasaan warga kota ini mengunjungi rumah ke rumah tetangga dan keluarganya untuk merayakan natal bersama. Hidangan minuman dan kue khas natal yang disajikan biasanya akan diikuti cerita penuh gelak tawa yang menambah keakraban hingga cerita-cerita inspiratif yang mengilhami orang lain untuk membuat hal yang lebih baik setelah natal berakhir dan tahun berganti. Kebersamaan setahun sekali ini kian langka dilakukan. Hidangan natal akhirnya hanya menjadi santapan bagi keluarga dalam rumah itu sendiri dan bertoples-toples kue tetap penuh hingga tahun berganti.
Jabat tangan natal kini bisa dilakukan di jalan-jalan, warung makan, kantor, mall, atau di mana pun ketika tanpa sengaja sesama kita bertemu di sana. Itu pun hanya sekedar basa-basi sambil menunggu waktu untuk urusan yang lain selesai dilakukan. Natal yang hangat di bulan desember kian mendingin. Hidup individualis telah menggantikan solidaritas natal. Kesibukan individu menjadi hakikat tunggal sementara kesibukan bersama kala natal tidak lagi menjadi nostalgia kebersamaan.
Pohon natal yang kreatif di gereja-gereja tidak lagi dirakit dari tangan terampil para pemudanya. Kewajiban majelis di gerejalah yang dengan telaten merangkai pohon natal yang dibeli di toko. Sekali lagi, kewajiban. Bukan panggilan nurani yang digugah untuk membuat natal kian bermakna.
Teknologi memang mampu menyediakan pohon natal yang indah tapi tidak kreatif. Gereja-gereja besar dengan dukungan jemaat kaya raya berlomba-lomba membeli pohon natal terbaik. Pemudanya didorong menciptakan pohon natal tertinggi. Sayangnya, inisiatif ini lahir karena ingin menonjolkan diri sebagai yang terbaik, bukan untuk menciptakan natal yang bisa mengajak semua orang merenungi dirinya.
Tradisi baru hari natal yang hanya memamerkan kekuatan telah meninggalkan kesederhanaan yang lahir bersama Yesus. Gemerlap pakaian baru di hari natal mengalahkan lampin yang membungkus sang bayi natal. Kemilau perhiasan mengalahkan cahaya tulus persembahan para gembala yang hanya membawa emas, kemenyan dan mur. Kemegahan gedung gereja nan hangat diagungkan melebihi dinginnya kandang tempat Yesus dilahirkan. Sementara di hati para janda, balu, yatim piatu, Yesus masih terbaring di sana sebagai bayi natal yang agung itu. IA kedinginan di sana, tanpa satu orangpun yang peduli. Merekalah yang setiap minggu selalu memberikan persembahan terbaik meski dihargai dengan diakonia yang tidak berarti jika diberi nilai.
Melihat hal yang jamak ini, pantaslah jika sang penyair dari Libanon menulis “Yesus tidak lahir untuk membangun kuil yang megah di dunia tapi untuk membangun bait yang agung dalam hati kita.” Gibran menuliskan keprihatinannya yang mendalam melihat gereja dan jemaatnya pada masa itu yang lebih mengagungkan kemewahan fisik daripada hati. Jika Gibran masih hidup hingga saat ini, mungkin ia juga akan menulis dengan penuh kesedihan bagaimana kita lebih mengagungkan apa yang kita pamerkan dari kemampuan kita menguasai teknologi tingkat tinggi dan bukan setinggi-tingginya keagungan natal.
Namun, sesungguhnya mengkambinghitamkan teknologi bukanlah hal yang bijaksana. Tidak ada ahli yang berpikir untuk menghancurkan budaya suatu bangsa ketika ia mulai merekayasa sebuah teknologi baru. Kesalahan terbesar adalah manusia itu sendiri yang menjadi konsumtif terhadap teknologi baru lantas mendewakannya dan meninggalkan nilai atau filosofi budayanya.
Bangsa yang kuat tradisi kebudayaannya tidak akan mudah terjerembab oleh kuatnya arus luar yang datang menerpa dari segala sudut. Justru terpaan itu menciptakan kekuatan baru untuk menunjukan eksistensi budayanya ke dunia yang lebih luas. Maka yang harus dipikirkan setelah ini bukanlah bagaimana menciptakan generasi yang menjunjung tinggi teknologi di atas kepalanya, tapi menjadikan teknologi sebagai pondasi baru yang menopang nilai-nilai budaya di atas kepala masing-masing. @dodydoohan
Artikel ini sudah dimuat di Harian Umum Victory News
Artikel ini sudah dimuat di Harian Umum Victory News
Share
Mantap
BalasHapus