Komodo, Kalian Memang Ajaib
“Itu nama tempat???” Ini pertanyaan
lazim ketika kita bicara tentang Kupang dengan orang-orang tipe di atas.
Ibukota provinsi Nusa Tenggara Timur yang di dalamnya ada Komodo dan pulaunya
ini ternyata tidak dikenal di belahan nusantara lain. Lebih memprihatinkan
lagi, ketika kita menjawab Kupang itu ada di Pulau Timor, spontan dengan gaya
sok tahu mereka langsung menimpali “oooo... Timor Leste...”
Pada saat ini terjadi, sebaiknya
segera ambil langkah mundur dan pergi sejauh mungkin sebelum anda punya niat
mencaci maki orang tersebut.
Prihatin memang, ketika orang lebih
mengetahui seluk beluk komodo daripada ibukota provinsi yang lambangnya seekor
komodo lagi menjulurkan lidah seakan menghina manusia-manusia dibalik lambang
itu. Apalagi ketika komodo menjadi salah satu dari tujuh keajaiban dunia hasil
polling masyarakat dunia yang diselenggarakan oleh sebuah lembaga yang
keberadaannya dipertanyakan.
Komodo memang unik. Liar, beracun
dan sudah sangat tua. Konon keberadaannya di dunia ini sudah seumuran
dinosaurus yang bahkan fosilnya nyaris punah jika tidak digali cepat-cepat oleh
para ahli geologi. Keunikan komodo inilah yang mendorong pemerintah negara ini
mempromosikan binatang langka ini ke level internasional. Apa??? Level
Internasional??? Yang benar aja bro...!!!
Baru-baru ini dalam sebuah
pertemuan pemuda di Filipina, saya coba bertanya kepada banyak peserta apakah
mereka mengetahui tentang Komodo? Dan wow...!!! Tidak ada satu pun yang tahu
tentang binatang ini. Saya mencoba berpikiran positif, mungkin promosi komodo
sampai ke negara mereka, hanya saja orang-orang ini yang mungkin kurang membaca
informasi dunia. Saya lalu menjelaskan apa itu komodo sampai akhirnya diakui
sebagai salah satu keajaiban dunia, dan mereka hanya terperangah seraya berkata
“.... wow... selamat, kalian memang ajaib...” BAH!!!
60 Milyar Untuk Binatang
Pemerintah kita ternyata tak
setengah hati mengurus komodo yang telah menjadi keajaiban ini. Guna
mendongkrak jumlah wisatawan mancanegara untuk mengunjungi komodo, digelarlah
sail komodo yang dananya menembus angka triliunan rupiah. Puncak acara yang
mendatangkan presiden dan jajaran kabinetnya sukses menghabiskan dana 60 milyar
rupiah. Fantastis!!!
Dalam laporan panitia yang
diberitakan di koran-koran, sail komodo sangat sukses mendatangkan ribuan
wisatawan yang ingin bersilaturahmi dengan komodo. Saking banyaknya sehingga
penginapan di kota Labuan Bajo tidak sanggup menampung mereka yang datang.
Buntutnya, rumah penduduk pun dijadikan penginapan. Kondisi ini sangat kontras
dengan yang terjadi di Sikka, ribuan pengungsi akibat letusan Gunung Rokatenda
terlunta-lunta tanpa perhatian pemerintah. Pengungsi-pengungsi ini tersaingi
oleh popularitas komodo setelah sebelumnya mereka juga dibungkam oleh gemuruh
pilkada. Ketika milyaran rupiah berjalan mulus untuk memberdayakan potensi
binatang, mereka di Palue yang notabene manusia justru sekarat dalam
ketidakberdayaan. Ketika sebuah negara berdiri kokoh karena cinta rakyat,
tetapi perhatian terhadap binatang lebih baik ketimbang kepada rakyat sendiri,
maka sesungguhnya kemanusiaan di negara tersebut berada dalam kondisi kritis.
Lebih Banyak Turis Lokal
Kembali ke persoalan komodo,
benarkah tamu-tamu yang datang itu adalah turis mancanegara? Tentu saja tidak.
Seorang kompasiana melaporkan langsung dari Bau-bau, Sulawesi Selatan, tentang
perayaan sail komodo yang salah satu rangkaian acaranya dilakukan di sana.
Persiapan matang panitia lokal ternyata tidak sebanding dengan turis yang
datang ke sana. Ia menghitung dengan pasti bahwa saat itu hanya ada 21 orang
turis yang datang dan betapa para turis itu terkejut karena disambut dengan
sangat meriah di sana. Ratusan penari daerah itu diturunkan hanya untuk 21
orang ini. Acara yang dihadiri juga oleh Marie Elka Pangestu ini dipadati oleh
masyarakat lokal, tidak ada yang lain.
Di Labuan Bajo lain lagi. Armada
kapal perang Republik Indonesia menguasai pesisir pantai di sana. Yacth-yacth
mewah yang diharapkan ada lebih banyak ternyata kalah banyak dari kapal perang
kita. Ujung-ujungnya, atraksi armada perang kita lebih menarik dari kehadiran
para turis. Ribuan turis lokal memenuhi pesisir pantai Pedhe untuk sekedar
melihat presiden dan ibu negara mereka, sekaligus menjadi saksi pesta termahal
di dunia ini.
Mahal Tapi Tidak Berkualitas
Sayangnya, di lokal NTT, acara yang
mahal ini tidak dikelola oleh orang-orang yang kompeten untuk mengurus sebuah
event internasional. Persiapan yang asal-asalan hingga nelayan yang harus
dikorbankan demi sail komodo adalah salah satu indikator untuk mengukur
kemampuan para pengelola. Atraksi budaya yang ditampilkan dalam bentuk
tari-tarian lebih ke komtemporer alias tariannya sudah dimodikasi sehingga
kekentalan budaya dan filosofi tarian tersebut akhirnya hilang tertelan ambisi
modernitas budaya.
Hanya berharap pada seven wonder
agar dunia mengenal komodo tanpa promosi yang intensif sama saja berkenalan
dengan orang asing yang sedang lewat, setelah meneruskan perjalanan, dia lupa dengan
siapa berkenalan tadi. Sialnya lagi, dinas pariwisata provinsi NTT yang
seharusnya menjadi ujung tombak promosi ini justru tidak memiliki website alias
situs sendiri. Kejayaan dana promosi yang milyaran habis hanya untuk mencetak
baliho raksasa bergambar wajah pejabat kita sedang berdampingan dengan komodo.
Sangat ironis ketika informasi pariwisata NTT justru bisa kita baca di
blog-blog para traveller, ini pun hanya sekelumit kisah perjalanan mereka dan
tidak bisa dijadikan referensi utuh untuk perjalanan ke Pulau Komodo.
Lalu apa manfaat sail komodo untuk
NTT, terutama untuk penduduk lokal dan komodo itu sendiri? Dalam konteks
pariwisata, bisa saja acara ini memiliki gaung ke seluruh dunia. Diharapkan
nanti, setelah ini, ribuan turis mancanegara akan berdatangan ke pulau komodo -
dan membantu tim ranger di sana untuk memberi makan komodo – sehingga
bisa meningkatkan pendapatan daerah dan negara. Penduduk lokal akan semakin
maju secara ekonomi dengan dijualnya tanah-tanah mereka kepada investor lalu mereka
akan mundur ke hutan dan menetap di sana sebagai orang miskin setelah uang
hasil tanahnya habis. Sepuluh tahun mendatang, Labuan Bajo akan mengalahkan
Bali. Ribuan investor akan menanamkan modal di sana. Setiap jengkal tanah
kosong saat ini, kelak akan bernilai puluhan juta rupiah. Tak adalagi garis
pantai yang kosong karena sudah dikepung ratusan hotel. Kapal-kapal nelayan
tidak lagi memiliki dermaga mereka sendiri. Tuan tanah akan bergeser menjadi
tuan tanganga yang hanya ternganga
melihat tanahnya dulu telah menjulang beton-beton kokoh.
Bagi komodo sendiri, ini adalah
ancaman terbesar terhadap habitat mereka. Sekian lama hidup dalam ketenangan
tanpa terlalu banyak keriuhan, kali ini mereka harus siap diganggu oleh
keingintahuan manusia. Sebuas-buasnya binatang, pasti memiliki tingkatan stress
yang harus kita antisipasi. Ketika habitatnya terus diganggu, bukan tidak
mungkin mereka akan mengalami stress dan berakibat pada menurunnya kemampuan
bereproduksi. Ketika hal ini terjadi, kepunahan komodo sudah di depan mata dan
kita harus siap kehilangan kebanggaan.
Seharusnya, masyarakat disiapkan
untuk menghadapi kenyataan yang akan terjadi ke depan agar kemungkinan-kemungkinan
seperti di atas dapat diminimalisir. Promosi komodo pun tidak harus dengan
event milyaran rupiah. Di jaman digital seperti ini, seharusnya pemerintah
dapat memanfaatkan dunia mayantara untuk mengenalkan komodo ke dunia
internasional, sehingga dana lain bisa digunakan untuk peningkatan
infrastruktur yang bisa mendukung pariwisata dan ekonomi. Apalagi event ini
menggunakan dana rakyat yang seharusnya peruntukannya dikembalikan kepada
rakyat, bukan kepada komodo apalagi calon investor. Sebab, ketika infrastruktur
sudah memadai, komodo dengan sendirinya akan semakin dikenal oleh dunia karena adanya
akses yang samakin mudah ke sana. @dodydoohan
Share
Tidak ada komentar:
Posting Komentar