Beberapa kata diterjemahkan secara bebas lantas kita menyelipkan arti baru didalamnya. Secara harfiah dapat kita pahami bahwa kata-kata ini pada akhirnya menjadi lazim sebagai gaya komunikasi baru. Kata-kata yang seharusnya menempati makna tertentu berpindah tugasnya untuk menerjemahkan maksud tertentu. Dan tentunya, ini hanya berlaku pada pergaulan yang terbatas alias tidak berlaku umum. Meski demikian, kata-kata ini bisa dikonsumsi masyarakat umum bahkan yang awam dalam komunikasi tak resmi dengan intensitas yang tidak sesering dan sefasih di kalangan kata-kata itu diciptakan. Ketika kata-kata tersebut semakin hari semakin populer dan terus digunakan lebih luas, bukan tak mungkin pada akhirnya kata-kata tersebut akan diakui sebagai bahasa serapan yang bisa digunakan sebagai bahasa yang resmi.
Bahasa Indonesia adalah salah satu bahasa yang diakui dunia internasional sehingga dapat digunakan sebagai media komunikasi antar negara. Beberapa negara di kawasan Asia dan Australia bahkan membuka jalur khusus dalam perguruan tinggi mereka untuk mempelajari Bahasa Indonesia. Sayangnya, harus kita akui bahwa penghargaan bangsa sendiri terhadap Bahasa Indonesia masih terbilang minim. Ini dibuktikan dengan banyaknya tulisan-tulisan yang banyak menyelipkan istilah-istilah asing di dalamnya. Laporan presiden SBY bahkan selalu terselip bahasa inggris yang sebenarnya jika dibahasaIndonesiakan akan lebih mudah dimengerti oleh masyarakat kalangan bawah.
Pada akhirnya, istilah-istilah asing ini dirubah sesuai dengan struktur keIndonesiaan lalu diakui sebagai Bahasa Indonesia yang sah. Kata-kata serapan ini menjadi “bahasa tinggi” yang sering latah diucapkan orang-orang terpelajar bahkan masuk dalam tulisan-tulisan mereka yang penuh teori. Masyarakat tidak terpelajar yang notabene tidak paham kata-kata serapan ini akhirnya hanya bisa menjadi pendengar yang setia. Di sinilah ketimpangan komunikasi terjadi, yang terpelajar merasa puas karena misinya menyampaikan maksud tercapai, sementara yang tidak terpelajar mendengar dengan seksama tapi tidak mengerti apa-apa.
Akhir-akhir ini Bahasa Indonesia dibanjiri banyak kosa kata baru. Orang-orang menyebutnya bahasa ALAY karena gaya penulisannya yang aneh dan kadang menggunakan kombinasi angka di dalamnya. Apa yang ditulispun berbeda jika harus dibaca. Bahasa ini menjadi tren pergaulan di kalangan remaja Indonesia bahkan hingga kalangan mahasiswa. Dan inilah satu-satunya bahasa yang paling banyak dihujat generasi di atas mereka karena faktor-faktor tersebut di atas. Toh, bahasa ini tetap hidup dan tumbuh subur di kalangan remaja kita. Mereka bahkan terkadang tanpa beban meng-SMS kita dengan gaya bahasa itu dan kita pun dipaksa untuk mengerti maksud yang tertulis di situ.
Selain bahasa alay, sebelumnya sudah lahir bahasa gaul orang Jakarta yang tak kalah hebohnya. Entah dari mana kata-kata itu dipetik, yang jelasnya tidak satupun kata-kata itu datang dari Bahasa Indonesia yang baku.
Kita belum paham betul makna dari dua bahasa di atas, baru-baru ini kembali heboh gaya bahasa baru yang tak kalah menggelitik ketika seorang Vicky berhasil menghipnotis penonton setia telivisi Indonesia dengan cara bicaranya yang penuh “teka-teki.” Hebatnya, gaya vickynisasi ini langsung booming di media sosial, mengalahkan dua bahasa sebelumnya yang sudah malang melintang di jagad kosa kata kita.
Saya tak ingin menyebut contoh-contoh dari bahasa-bahasa di atas, sebab tulisan ini akan menjadi sangat panjang karenanya, dan lagian, saya sangat yakin bahwa kita semua pernah menjadi korban yang meski sekali dua kali pernah latah mengucapkannya.
Saya tidak tahu apa motivasi Vicky dengan gaya bahasanya, tapi pada intinya adalah semua kasus di atas hanya satu anak tangga yang dipakai orang-orang untuk dapat mempermudah pergaulan dengan kalangan mereka di ruang yang mereka ciptakan sendiri. Tidak jauh beda dengan Vicky, bahasa alay atau pun bahasa gaul seakan menjadi keharusan yang harus dipakai para remaja agar dapat diterima di kelompoknya. Juga, dengan menggunakan gaya yang sama, seseorang diharapkan dapat memiliki idealisme kelompoknya, dan memiliki gaung yang bisa didengar. Paling tidak, dari sini saya menangkap satu cara pandang baru tentang bagaimana dunia sekarang dan tempo doeloe membangun interaksinya. Dunia sekarang tidak lagi hanya mengandalkan intensitas pertemuan tetapi juga gaya bahasa yang sama. Di sini idealisme seseorang dan kemampuan bersosialisasinya diuji dihadapan yang lain. Jika sanggup mengikuti arus maka ia akan diterima, jika tidak, ia akan dianggap tidak gaul.
Namun, untuk menjadikan kosakata bahasa alay sebagai kosa kata baru yang diserap Bahasa Indonesia adalah hal yang tidak mungkin alias mustahil meski bahasa ini telah bergaung luas di seantero Nusantara, sebab bahasa tersebut terbatas dan tidak seragam dalam gaya penulisan juga pelafalan. Ini jelas berbeda ketika beberapa kata dari bahasa asing diserap sebagai Bahasa Indonesia karena memiliki unsur-unsur untuk diakui sebagai kosakata baru.
Lalu, apakah munculnya gaya bahasa baru ini bisa mengancam bahasa indonesia? Tentu saja bisa. Mari kita lihat bahasa-bahasa daerah yang nyaris punah ketika generasi muda Indonesia dipaksa untuk selalu berbahasa Indonesia. Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris dijadikan mata pelajaran wajib di semua jenjang pendidikan tanpa ada satupun kurikulum yang berbicara tentang bahasa lokal suatu daerah. Mata pelajaran muatan lokal yang ada pun, adalah sesuatu yang sangat dipaksakan untuk ada, sehingga pendalaman terhadap lokalitas kebudayaan daerah tidak terjadi tetapi lebih ke konteks yang lebih umum.
Bahasa Indonesia memiliki peran yang sangat besar terhadap punahnya bahasa daerah tanpa kita sadari. Proses pemunahan ini dilakukan dengan sangat rapi oleh sistem negara hingga kita pun tidak pernah menyadarinya. Ironisnya, pemerintah lokal kita melakukan pembiaran tanpa ada upaya pelestarian. Lembaga seni budaya yang didirikan hanya untuk menjembatani tarian-tarian tradisional dan bukan bahasa lokal. Sialnya lagi, tarian-tarian daerah dirubah seenak perutnya oleh mereka yang mengaku ahli tari hanya agar tarian lokal bisa go international tanpa memikirkan orisinalitas dan filofosi mendalam dibalik tari-tarian itu.
Sadar atau pun tidak, bahasa-bahasa yang baru-baru muncul juga menjadi ancaman terhadap bahasa indonesia, memang belum sampai ke konteks suatu negara, tetapi generasi di bawah 20 tahun saat ini terancam tidak bisa menulis kosa kata bahasa indonesia dengan benar.
Pernah seorang teman yang berprofesi sebagai dosen bercerita kepada saya tentang beberapa orang mahasiswinya yang beberapa kali membuat janji pertemuan dengannya via sms. Tidak ada satu pun dari sms yang masuk ke Hpnya bisa dia baca. Akhirnya, teman saya ini menunjukan sms alay itu kepada mahasiswa yang ada di situ, barulah teka teki sms itu bisa terjawab.
Ada lagi, seorang teman yang mengajar di SMU ternama di Kota Kupang. Pada awal-awal tahun ajaran baru dimulai, dia langsung memberi pekerjaan rumah untuk anak didiknya. Seminggu kemudian, hanya tugas dari dua orang siswa yang bisa ia baca. Selebihnya harus dikembalikan karena bahasa alay.
Jika menilik kasus-kasus di atas, bukan tidak mungkin Bahasa Indonesia di kalangan pelajar indonesia berada dalam titik kritis. Ketegasan para pengajar mutlak diperlukan untuk mengembalikan mereka ke jalan yang benar. Orang tua dan lingkungan sekitar pun memiliki peran yang ini. Dan tentunya kita semua memiliki peran untuk mengatakan tidak terhadap bahasa alay.
Saya menerapkan hukuman sederhana untuk adik-adik yang mengirim sms dengan gaya bahasa yang tidak saya mengerti itu, yakni dengan tidak pernah membalas sms mereka. Hal ini ternyata sangat efektif, karena sejak hukuman ini berlaku, tak ada lagi sms alay saya terima.
Share