Ijinkan Hati Bicara...: Balada Anak Petani google-site-verification: google642dcb3a3836b309.html

27 Sep 2013

Balada Anak Petani



Dia kecewa karena menurutnya, wajahnya pas-pasan, tidak cantik, tidak bisa menarik perhatian lawan jenis. Maka olehnya, dengan uang kiriman orang tua, dibelinya pakaian seksi. Beberapa ia beli dari mall mall ternama, beberapa ia beli dari tempat pakaian rombengan. Tak apa, katanya, asal masih layak pakai.

Kesederhanaannya seketika berubah keseksian. Belahan dada yang selama ini tabu ditunjukan, kali ini ia pamerkan setengah bagian atas. Dada padatnya tak lagi dibungkus BH murahan tapi kali ini, ia benar benar menabukan BH. Di usia yang masih 20 ini, BH baginya hanyalah pengganjal penampilan seorang perempuan sepertinya yang sangat butuh diperhatikan lawan jenis.

Dia tak butuh waktu lama untuk menggaet perhatian kaum adam sejak pakaian seksi mulai membungkus tubuh mungilnya. Celana 5 cm di atas lutut, baju 3 cm di atas pinggang dan 4 cm di bawah leher jadi andalannya kini, termasuk juga, tentu saja, bahasa bahasa gaul semakin mentereng ia ucapkan.

Dia tak lagi memikirkan pulang kampung, toh bapaknya yang petani itu tinggal ia teriaki minta duit sudah terbirit birit dari sana mengantarkan untuknya. Tentu saja bukan sedikit, uang ortunya harus memenuhi semua kebutuhan gaulnya. Dia tak peduli bagaimana perjuangan orangtuanya di kampung demi semua ambisinya. Baginya, sekali teriak, apa yang ia teriaki harus segera tersedia.

Namun, ortunya hanya tahu bahwa semua uang yang mereka berikan karena pendidikan anaknya. Mereka tak pernah bertanya untuk apa uang-uang itu. Bagi mereka, seberat apa pun kehidupan yang dijalani, harus ada generasi penerus mereka yang sukses dalam pendidikan, jangan seperti mereka yang hanya bisa mengecap pendidikan sebatas SD.

Hari demi hari, si anak dalam tahun ke tahun pergaulannya terus menerus menjelma dari satu dunia ke dunia lainnya. Ketika di tempat lain, ia merasa kurang dihargai, berpindahlah ia ke dunia yang lain. Begitulah seterusnya ia berpindah dunia hingga akhirnya ditemukannya dunia yang ia ingini. Dunia yang penuh kebebasan dan menurutnya, penghormatan terhadap upayanya untuk terlihat seksi. Dunia ini baginya adalah segala-galanya. Dunia yang tak pernah mengenal tidur. Dunia yang mampu memuaskan hasratnya yang menggebu-gebu. Dunia inilah, segala yang ia butuhkan tersedia cuma-cuma.

Ia tak perlu lagi berteriak kepada sang petani di desa untuk mengantarkan uang. Sebab uang dari sang petani kini tak lagi cukup membiayai hidupnya. Sekarang ini, ia tinggal melepaskan celana atau menaikan roknya yang selalu di atas lutut dan pundi-pundi rupiah akan mengalir deras di atas perutnya.

Rumahnya kini adalah hotel-hotel, bukan lagi kamar kost butut yang dindingnya ditempeli kertas. Temannya adalah pengusaha-pengusaha ternama yang dengan sukarela memberikan apa yang diinginkan atau berapapun yang di-mau selama ia tak mengganggu kebahagiaan rumah tangga mereka. Teman-teman sekampusnya yang dulu sering menghinanya, kini ada dibawah kekuasaannya. Tugas kuliah tak perlu lagi ia kerjakan, sebab kini ia pun telah berteman sangat baik dengan beberapa dosen, bahkan yang terkenal paling killer sekalipun. Untuk mata kuliah yang dosennya perempuan pun ia tak perlu ragu sebab tugas dari mereka akan dengan sangat sukarela dikerjakan oleh teman-temannya, asalkan ia bisa sedikit bermurah hati membagikan rejekinya kepada mereka. Atau paling tidak, tidur bersama di kost temannya untuk memberikan balas jasa atas apa yang telah dikerjakan. Tentunya, setelah ia memastikan bahwa tugasnya telah dikerjakan dengan baik.

Begitulah cara ia hidup dalam tahun-tahun pergumulannya. Hingga suatu hari dalam kepanikan ia ditemukan telah terkapar tak berdaya di sebuah kamar kost, tertidur dalam telanjang di sisi seorang manusia baru yang ia bunuh dalam rahimnya.

Ia pergi selamanya bersama keseksian yang selalu ingin ditunjukan kepada semua orang, tetapi juga meninggalkan kelegaan bagi mereka yang selalu memberinya uang atas nama tubuh seksi itu. Sementara itu, sang petani malang tak henti menangisi dukanya. Satu-satunya kebanggaan keluarga telah pergi membawa seluruh harapan tapi meninggalkan malu tiada terkata. Kekecewaan sang petani lebur dalam tangis nestapa berwaktu-waktu hingga akhirnya ia sadar untuk membiarkan kepergian itu terjadi.

Tetapi, sang petani tak jua melupakan malu yang dibuat sang anak meski telah berganti musim panen demi musim panen. Sehari-hari ia pergi ke ladang dengan topi yang menutupi wajah dan telinga agar tak perlu ia dengar ataupun melihat pergunjingan seantero kampung atas duka yang ia alami. Hari-harinya ia lewatkan dengan mencangkul duka sambil berharap akan datang harapan baru yang akan membuat ia mengerti mengapa sang anak tega melakukan semua itu.




Share

3 komentar:

  1. Ini kaka tulis berdasarkan kisah nyata yg kaka dengar ato liat ato fiksi ne kaka??

    BalasHapus
  2. sodaraku berdua... masih ingat kejadian seminggu lalu dengan salah satu mahasiswa yang meninggal setelah menggugurkan kandungannya? Mungkin cerita di atas datang dari kejadian di sana...
    Terima kasih sudah mampir...
    Salam bae... :)

    BalasHapus