Catatan : Opini ini telah dimuat di Harian Umum Victory News, Rabu, 15 Januari 2014
Beberapa bulan lalu, sebuah pertemuan kecil dilakukan
di Taman Nostalgia oleh anggota Rumah Poetika Kupang, Dusun Flobamora dan
Blogger NTT. Bincang panjang di malam yang singkat itu mengantar kami pada
perbincangan tentang sastra NTT yang terus berkembang dari hari ke hari hingga
peluang-peluang yang mungkin bisa dilakukan untuk membuatnya semakin bersinar
ke segala penjuru. Ada optimisme, bahwa kelak NTT mampu menjadi kiblat sastra
Indonesia.
Perbincangan kami sampai pada keluhan tentang kritik
terhadap sastra NTT yang masih ada di titik hitam putih. Belum ada satu pun penulis
atau – kalau boleh dibilang - penyair atau sastrawan NTT yang maju sebagai
kritikus sastra. Banyak postingan puisi di media sosial dan koran-koran hanya
melahirkan pujian-pujian datar yang pada akhirnya tanpa disadari justru
membunuh nalar penyair untuk keluar dari zona nyaman.
Ini terjadi karena mungkin masih kuatnya kedekatan
antar sesama penulis NTT yang notabene masih ada dalam lingkaran yang sama.
Kritik terhadap karya seseorang masih ditakuti akan menjadi nila yang merusak
sebelanga susu solidaritas para penulis muda Flobamora. Ketakutan seperti ini
tidak disertai kekuatiran bahwa apabila sastra NTT berkembang tanpa kritik maka
sesungguhnya perjalanan menuju cita-cita besar akan terbatas pada sesuatu yang
monoton dalam retorika dan perspektif sastrawan. Memilih untuk tidak melakukan
kritik hanya akan membuat seseorang berada dalam zona nyaman tanpa pernah tahu
sebaik apa karya yang dihasilkannya.
Kritik adalah komunikasi yang efektif untuk
menggembleng seorang sastrawan tampil lebih mengkilap dengan karya-karyanya. Kritik
adalah fondasi dari solusi-solusi cerdas untuk menemukan perspektif terbaru.
Kritik mampu membangunkan alam tidur seseorang untuk melihat kenyataan dari
perspektif yang lain.
Kita tahu, bahwa sebuah hasil tanpa kritik akan membuat
hal tersebut seolah tanpa kelemahan. Sudut-sudut lemah yang tak mampu dijangkau
oleh pikiran sebelumnya akan mampu dilihat ketika ada ruang yang dibuka untuk
menerima kritik.
Beberapa teman yang saya harapkan bisa menjadi kritikus
sastra yang baik justru memilih untuk nyaman sebagai penulis. Frater Januario
Gonzaga, Mario Lawi, Ragil Sukriwul misalnya. Saya yakin orang-orang ini
memiliki kapasitas yang luar biasa untuk menjadi kritikus yang tajam dan
cerdas. Ketiga nama tersebut adalah sastrawan muda yang lahir di atas tajamnya
karang Kota Kupang, tetapi percumbuan mereka yang romantis dengan penyair
lainnya telah menutup mata batin mereka untuk tampil sebagai kritikus yang
berani.
Dari generasi sebelum nama-nama di atas muncul nama
Yohanes Sehandi. Tetapi, dosen asal Universitas Flores hanya mampu mencari
nama-nama sastrawan yang lahir dari NTT sejak pra kemerdekaan hingga medio
reformasi ini, kemudian mencatat karya-karya mereka sebagai bahan publikasi
yang tentu saja efeknya hanya terbatas keagungan nama tanpa kritik terhadap
hasil karya yang telah ditetaskan.
Dari Undana muncul nama Dr Marcell Robot dan Prof Felix
Sanga. Lagi-lagi, nama dua budayawan ini sudah sangat sibuk dengan jam mengajar
yang tinggi sehingga tidak memiliki waktu untuk membaca karya apalagi
menuliskan kritik yang menguji mental para penerusnya. Telaah terhadap buah
pena penyair NTT pada akhirnya hanya menjadi kewajiban yang dipaksakan kepada
mahasiswa untuk menyelesaikan tugas akhir. Skripsi yang seharusnya menjadi
nilai tambah, toh tetap menjadi koleksi di Undana sementara penulisnya setelah
diwisuda malah mencari kiblat lain yang tidak ada kaitannya dengan apa yang
telah ditulis.
Fakultas Bahasa dan Sastra Indonesia di kampus-kampus
yang tersebar di seantero Flobamora yang diharapkan bisa melahirkan kritikus
sastra teryata hanya mampu mendidik mahasiswanya sebagai calon pegawai. Jika
pun dari sana ada yang lahir sebagai penulis atau sastrawan itu bisa jadi
karena memang bakat alamnya dan bukan karena didikan dari tempat dia menimba
ilmu.
Seorang teman berpendapat bahwa agak susah mengharapkan
seorang kritikus lahir dari hasil didikan kampus. Ini karena dari dosennya
sendiri tidak pernah siap dikritik. Mahasiswa yang kritis dianggap pembangkang,
maka sebaiknya diam demi nilai yang aman. Selain itu, kritik dianggap bukan
sebuah budaya yang baik untuk membentuk karakter seseorang dan membuatnya lebih
maju, masih banyak cara lain. Saya kurang sepakat dengan pendapat yang terakhir
ini.
Kritik memang bukan untuk membentuk karakter. Tetapi
membuatnya selangkah lebih maju adalah pasti. Persoalan sesungguhnya adalah
ketika kritik dikatakan sebagai bukan budaya yang baik karena orang yang
dikritik tidak siap dikritisi, sehingga akan lahir gejolak yang tidak penting
menanggapi hasil kritik itu sendiri.
Sebagai contoh kasus; beberapa bulan lalu, setelah
menonton sebuah pertunjukan teater di Taman Budaya, saya menulis kritik
terhadap hasil pementasan tersebut, tentunya setelah sebelumnya meminta ijin
kepada sutradaranya. Tulisan yang kemudian saya muat di facebook ini mendapat
tanggapan beragam. Namun, rupanya sang sutradaranya kaget karena tidak
menyangka akan ada kritik seperti itu. Ketidaksiapan menerima kritik
ditunjukannya dengan tanggapan yang ditulisnya.
Setelah terbitnya tulisan tersebut, kini mulai
berdatangan kritik positif terhadap tulisan-tulisan yang lain. Terakhir, Mario
Lawi dengan berani mulai membuka selubung pujian dengan kritik yang bernas terhadap
terhadap novel terbaru karya Robby Fahik berjudul “Likurai untuk Sang Mempelai”
dan saya anggap ini sebagai langkah maju dunia sastra NTT.
Seni, entah apa pun bentuknya, adalah dunia yang
seharusnya dipenuhi kritik. Seni adalah bumi, dan kritik adalah udara yang
melingkupinya. Siapapun yang tinggal di bumi pasti harus bernafas. Demikian
pula yang memilih jalur seni sebagai bagian hidupnya harus menerima kenyataan
untuk bernafas dalam kritik, setajam apa pun kritik itu. Atmosfer ini
seharusnya hakiki dalam atma seni siapapun jika ingin tetap eksis.
Kritik pun harus ditulis dengan jelas pada inti
persoalan yang harus dikritisi dan bukannya sindiran penuh metafora. Orang yang
mampu membuat kritik cerdas menunjukan kemampuannya menelaah masalah, tetapi
kritik dalam bentuk sindiran tak jelas menunjukan iri hati dari orang yang
melakukannya. Sindiran berbeda dengan kritik. Sindiran adalah milik mereka yang
memiliki pikiran dan hati tak jernih yang tak mampu keluar dari bayang-bayang
ketidakmampuan untuk menghasilkan hal-hal produktif. @dodydoohan
Share