Intan dan Indonesia
Hari minggu, 13 November 2016 sampai sore hari saya hanya
tiduran di kost mungil saya di pinggiran kota Kefa sampai siang menjelang. Rasa
laparlah yang memerintahkan saya segera keluar dan mencari makan. Kebetulan,
kost saya cukup dekat dengan warung makan khas jawa sehingga saya hanya
membutuhkan waktu beberapa menit untuk tiba.
Seporsi makanan saya pesan, menikmatinya dengan lekas karena
suhu udara yang sangat panas. Sebuah televisi kecil tepat menghadap ke arah
saya dari meja kasir tidak saya pedulikan. Acaranya tidak menarik untuk
ditonton. Selesai makan, saya lalu membayar dan segera keluar dari warung itu
mencari udara terbuka. Tapi udara di luar juga sangat panas. Langit di atas
kepala saya sangat cerah, sementara jauh di bagian timur, awan hitam menggantung
pertanda hujan telah jatuh di sana.
Saya segera bergegas pergi. Satu-satunya tempat rindang yang
bisa memberi kesejukan hanya kantor tempat saya bekerja selama ini. udara di
sekitar kantor selalu sejuk karena banyak tumbuhan yang tumbuh subur sebab
disiram setiap hari.
Tidak ada orang di kantor, selain penjaga yang saya ajak
bercerita tentang hal-hal sepele. Lalu HP butut di saku saya berdering. Ah,
hanya misscall dari orang iseng. Saya mengabaikannya, lalu membuka aplikasi
facebook. Sekedadr menengok timeline karena sudah hampir seharian penuh saya
mengabaikan banyak notifikasi yang muncul.
Dan, status seorang teman membuat saya terperanjat nyaris
tak percaya. Ada boom di samarinda. Di gereja. Korbannya anak-anak. Rata-rata
usia balita. Saya belum terlalu percaya. Situs berita langganan langsung saya
buka mencari-cari berita tentang boom samarinda. Dan benar.
Kembali saya membuka facebook. Lalu foto-foto korban mulai
menghiasi timeline. Rata-rata foto yang sama yang diposting ulang. Bukan dishare.
Sehingga tidak bisa lagi dilacak siapa yang paling pertama mengunggah foto para
korban.
Usia korban hampir sama dengan usia Elleora, putri saya. Ini
usia di mana seorang anak sedang lucu-lucunya. Bahkan, terkadang semua tingkah
sang anak adalah hiburan bagi orangtuanya dan orang-orang di sekitarnya. Saya
merasakan benar bagaimana kerinduan pada putri saya tatkala setiap hari minggu
malam harus kembali ke Kefa meninggalkan dia dan ibunya sendiri. Rasa rindu itu
langsung tumbuh subur bahkan ketika saya baru berencana untuk pergi. Dan rasa
rindu padanya selalu hampir tak bisa terbendung, beruntung jaman sudah canggih,
sudah ada jaringan telepon yang bisa kami pakai melepas rindu, meski hanya
dengan mendengar suaranya. Meski setelah menutup telpon, ribuan kesedihan
berkecamuk dalam batin saya.
Sebagai orang tua yang jauh dari anak, saya merasakan betapa
kesedihan adalah teman paling setia tatkala malam merangkum hari dan kesepian
adalah teman setia. Membayangkan gelak tawa Elleora, pertanyaan-pertanyaannya, cara
dia berlari, cara dia mencari perhatian. Sungguh, saya selalu ingin ada di sana
berteman ia. Sungguh, tiada kebahagiaan selain melihat dia bertumbuh dalam
kebahagiaan di dekap ini. Terkadang, di saat sejauh ini, berita yang paling tak
enak didengar adalah jika dia tiba-tiba sakit. Batuk dan pilek adalah teman
buruk di masa pertumbuhannya ini. Bukan sekali dua ini terjadi. Dan sudah
berulang-ulang saya harus meninggalkan aktifitas kantoran saya hanya agar bisa
menemani dia selama masa pemulihannya. Berita bahwa Elleora sakit adalah
bencana bagi saya. Tetap berada di kantor sementara anak yang dicintai sedang
sakit hanya akan membuat saya sangat tidak produktif. Dan saya, akan melakukan
segala hal, agar dia yang saya cintai tidak pernah merasa saya tinggalkan.
Elleora adalah segala-galanya bagi saya. Bila ada perasaan di atas rasa cinta,
maka itulah perasaan saya baginya.
Elleora tidak kaitannya dengan boom di samarinda. Tetapi
hati saya memiliki ikatan yang sama tatkala melihat anak-anak seusia Elleora harus
menjadi korban dari kekerasan yang dengan sengaja kita ciptakan mengatasnamakan
agama. Saya bisa membayangkan bagaimana kedekatan orangtua Intan Intan seperti
saya dan Elleora. Usia mereka sama. tingkah laku Intan pasti tidak akan
jauh-jauh dari yang selama ini saya lihat dari Elleora. Saya, maupun orangtua Intan
pasti memiliki kebanggaan yang sama terhadap anak kami.
Saya dan Elleora hanya terpisah jarak. Rindu masih mampu
kami bayar dengan canda lewat telepon. Seminggu sekali saya bisa pulang memeluk
dan mencium Elleora. Tapi Intan?? Bocah tak berdosa ini telah pergi untuk
selamanya. Meninggalkan ribu duka mendalam bagi ayah dan ibunya. Tidak ada
telepon yang bisa dipakai untuk saling berbicara satu sama lain tatkala mereka
saling merindu. Tak ada waktu seminggu sekali untuk bertemu. Intan telah pergi.
Sangat jauh. Sangat jauh dari ayah dan ibunya.
Intan pergi bukan karena cinta orang tuanya. Tapi jiwanya
telah direnggut dengan paksa dan tak berperikemanusiaan. Intan telah pergi
sebagai martir. Sebuah bayaran yang sangat mahal dan tak dapat dinilai dengan
apa pun hanya karena beberapa orang yang merasa diri paling benar, paling suci
secara laknat dan bajingan telah membunuhnya.
Intan diambil secara paksa dari depan gereja, tempat ia baru
saja menghabiskan waktu doanya bersama ayah dan ibunya. Ia harus merasakan
perihnya neraka akibat luka bakar di sekujur tubuh sebelum menghembuskan nafas
terakhir. Ia pergi dengan penderitaan yang tak terkatakan. Meninggalkan hati
yang hancur berkeping-keping orangtuanya. Sementara orang yang telah merenggut
hidup Intan percaya bahwa dengan membunuh sesama manusia maka kematiannya akan
disambut seribu bidadari.
Entah ajaran agama apa yang dipakai si pembunuh. Sebab
setahu saya perintah Tuhan sangat jelas “Jangan membunuh!!!”
Jika mereka dapat berkoar bahwa kematian sebagai jihadis
akan disambut seribu bidadari. Berarti
mereka tidak pernah tahu, bahwa kami dijanjikan sebagai warga kerajaan
sorga. Janji yang diberikan kepada kami adalah pasti. Bukan janji politik. Ini
janji sorga. Dan ketika kami mati, seluruh sorga akan bernyanyi menyambut kami.
Bukan hanya seribu bidadari.
Selamat jalan, nak. Selamat jalan Intan. Damailah bersama
Tuhan Yesus di sorga. Biarlah kami yang masih diijinkan tersisa, terus berjuang
pada jalan kebenaran. Memang terjal dan berliku, tapi pasti akan sampai pada
tujuan. Tujuan menciptakan Indonesia yang saling menghargai, saling
menghormati, saling mencintai.
Share
Tidak ada komentar:
Posting Komentar