Budaya di Atas Kepala Kita
Artikel ini sudah dimuat di Harian Umum Victory News
Share
google-site-verification: google642dcb3a3836b309.html
Kemarin, setelah keluar dari ATM di ujung
Ruko Oebobo, seorang anak laki-laki berusia 9 tahun dengan adiknya yg
berusia 3 tahun menghampiri saya lalu menadahkan tangan sambil berkata
“oom, minta uang do, kita belom makan…”
Saya kaget dan marah. Keduanya berpakaian
sangat kotor di mata saya. Ingus si balita tampak mengalir panjang di
bawah hidung. Area sekitar hidungnya juga tampak hitam oleh ingus yg mengering karna diseka dengan terpaksa.
Saya lalu
bertanya di mana orangtuanya dan alasan mereka menjadi peminta di situ.
Setelah itu mengantar mereka pulang ke rumah mereka di belakang pasar
oebobo. Rumah mereka terbuat dari dinding bebak beratap seng dan
terlihat sudah tua termakan hujan dan panas, dekat dengan sebuah kantor
LSM Lokal yg cukup punya nama di kota kupang. Tidak ada orangtuanya di
rumah itu. Dari cerita tetangganya, saya tau bahwa ibu anak-anak itu
berjualan sayur di pasar oebobo dan bapaknya di pasar oeba. Mereka
bersekolah di SD Bertingkat Oebobo. Setiap pulang sekolah, mereka selalu
bermain di pasar tempat ibunya berjualan. Entah siapa yg menyuruh
mereka jadi pengemis.
Saya lalu
meminta tolong kepada ibu tetangga itu memberi maka anak-anak itu.
Setelah melihat mereka makan, saya pulang tanpa memberi mereka uang.
Beberapa hari
lalu, ketika sedang makan di sebuah warung di daerah oebufu, saya juga
dihampiri anak kecil yg meminta uang kepada saya dengan alasan belum
makan. Karena tidak ingin memberi dia uang, saya mengajak dia makan.
Tetapi anak yg mengaku lapar ini menolak dan memilih pergi.
Diperempatan
lampu merah kantor gubernur dan juga patung kirab, ada banyak anak kecil
menjadi penjual koran. Gaya menjual mereka yg kadang memelas membuat
kita kadang tak sampai hati dan membeli koran mereka. Mereka bahkan
berjualan sampai malam di tempat itu.
Saya
membayangkan eksploitasi berlebihan dilakukan terhadap anak-anak ini.
Eksploitasi di depan mata dan hidup kita sehari-hari tapi tak pernah
kita hiraukan. Saya heran jika ada yg berkata bahwa di kota ini tidak
ada pengemis. Adakah mereka pernah melintas di tempat-tempat yg saya
sebutkan di atas ataukah kaca jendela mobil mereka terlalu hitam utk
melihat ke samping sepanjang perjalanan mereka?
Saya heran
ketika ada yg menyebut kemiskinan kita telah dieksploitasi utk
kepentigan corporate tertentu tanpa melihat realitas. Saya kuatir kita
terlalu banyak menggunakan angan-angan lantas membungkam fakta yg sedang
menari-nari di hadapan kita. Saya kuatir kita terjebak dalam fanatik
egosentrisme sehingga tidak lagi melihat jauh ke luar jendela. Saya
kuatir kita tidak menggunakan hati nurani utk menggugah diri kita
sendiri ketika kita berupaya menggugat orang lain. Saya kuatir kita
hanya melihat emas di ujung tugu monas tanpa sadar bahwa di mata kita
melintang balok hitam.
Saya percaya
bahwa perubahan besar dimulai dari kelompok kecil. Saya percaya utk
tidak melihat masalah hanya dari satu sisi. Saya percaya bahwa kekuatan
mimpi mampu merubah diri saya jauh lebih baik dari saat kemarin dan hari
ini. Saya percaya bahwa dlm diri seorang terdapat kekuatan luar biasa.
Saya percaya bahwa kita harus kritis, kritis dengan nilai yg melihat isi
gelas setengah penuh dan akan diisi penuh, bukan gelas setengah kosong
yg akan menjadi kosong. Saya percaya bahwa kreatifitas lahir dari dalam
jiwa terdalam seseorang, jika kita memberi apresiasi, bukan tidak
mungkin itulah awal masa depan yg lebih baik.
Saya pernah
mengalami, rasa malu terhadap diri dan keadaan membuat saya bangkit,
tetapi kemarahan menjerumuskan saya jauh lebih ke dalam jurang
kekelaman. @dodydoohan
Salah satu teknik pemicuan dalam STBM adalah masyakat harus dibuat malu
dengan keadaan mereka. Dibuat jijik dengan keadaan di sekitar mereka. Teknik
ini ternyata berhasil merubah pola hidup mereka menjadi lebih sehat.