Christian Dicky Senda, saya lupa kapan nama ini pertama
kali saya dengar, mungkin dipenghujung tahun 2007 atau awal tahun 2008 lewat sebuah
blog yang dengan bangga memperkenalkan dirinya sebagai anak Mollo yang lagi merantau
di negeri orang. Karena saya juga blogger baru, iseng-iseng saya komen pada
salah satu tulisannya, sekedar kasih tau lah ke dia kalau saya lagi memantau pergerakan
*cieh* dia di dunia blogger memblogger. Apalagi saat itu lagi heboh yang
namanya blog walking ditambah semangat ngeblog saya yang masih tinggi *maklum,
pemain baru*
Berminggu-minggu saya menunggu balasan dari orang ini. But,
dia tetep cool di negeri sana. Meski demikian tulisan tulisan terbarunya terus
muncul dari minggu ke minggu. Akhirnya, saking jengkelnya, link blog dia di
sidebar saya hapus. Saya marah, jengkel. Ini orang kampung dari kampung kok
sombong banget...!!!
Demikianlah saya menyimpan dendam saya terhadap anak
mollo ini tanpa dia tau sampai tulisan ini saya buat. Tetapi kejengkelan saya
terhadap orang ini semakin menjadi jadi ketika salah satu iklan yang kami buat
dengan susah payah di pedalaman Timor dengan segala perhitungan yang matang dan
mempertimbangkan semua resiko andai iklan itu dimuat diprotes oleh Dicky Cs
lewat sebuah milis yang berisi para akademisi di NTT. Intinya, saat itu dicky mengirim
sebuah tulisan protes atas iklan itu yang ditulis tanpa rasa malu oleh temannya
karena iklan itu menjatuhkan reputasi mereka di dunia perantauan. Sebagai anak
timor dengan gengsi yang tinggi, mereka merasa bahwa iklan itu sangat
menjatuhkan kredibilitas orang timor. Mungkin dicky ini gak salah sih, dia
hanya meneruskan sebuah curhat temannya, tapi diskusi di milis tentang iklan
tersebut akhirnya menjadi panjang sampai sampai beberapa orang mengusulkan
untuk melakukan investigasi terhadap aliran dana untuk pelaksanaan program itu
sampai apa yang didapat si anak yang akhirnya jadi bintang iklan terkenal itu.
Saya yang semula hanya menjadi silent reader di milis
itu tentu saja berang. Hasil kerja saya dan team untuk membangun kehidupan
masyarakat di sana hingga proses pembuatan iklan untuk mengangkat tanah timor
diprotes begitu saja tanpa pertimbangan hanya karena dialeg timor yang sangat
kental dalam iklan tersebut. saya akhirnya bicara banyak di milis itu,
mempertanyakan kapasitas mereka untuk memprotes iklan tersebut juga rasa malu
mereka. Mengapa harus malu dengan budaya sendiri jika memang demikianlah budaya
kita. Lihat dong film denias yang meledak karena sukses mengangkat gaya bicara
orang papua dan budayanya. Mereka tidak malu, tidak ada yang protes, tidak ada
yang malu. Mereka bahkan sangat membanggakan film itu. Lalu kenapa orang timor
harus marah?
Setelah itu, saya semakin tidak menyukai Dicky, blognya
tidak lagi saya baca sekali pun saat itu saya adalah penggemar setianya. Saya bahkan
meninggalkan dunia bloggernisasi *eh* hanya karena kejengkelan saya terhadap
Dicky Cs. Cukup lama lah pokoknya saya berhenti ngeblog.
Waktu berlalu, Dicky pulang kampung!!! Membawa pulang
dengan bangga gelar sarjana untuk orang tua tercinta dan buku kumpulan puisi
Cerah Hati. Ahhh anak ini luar biasa. Tapi saya hanya diam, gak mungkin dong
saya jungkir balik sambil bilang Palateeee...!!! atau Wow...!!! sambil tepuk
tepuk tangan kan???
Dia pulang kampung saat saya dan teman-teman sedang
gencar gencarnya dengan promosi sastra di Kupang lewat Temu Sastra Bulanan yang
tiap bulan kami gelar di Taman Nostalgia. Lewat pengumuman yang saya buat di
facebook, dia menyatakan kesediaannya untuk hadir, itupun kalau punya waktu. Bah... alasan lagi orang ini. Kalo mo hadir ya
hadir aja, gak perlu ngeles bro...
Saya lalu menanyakan kepada teman-teman, emangnya si
Dicky itu kerja di mana sih. Lalu dari hasil penelusuran teman teman dan dari
intel yang bisa dipercaya saya tau bahwa setelah balik kupang dia bekerja di
salah satu perusahaan provit. Pantas aja gak bisa hadir, lha dia harus kejar
target, apalagi ditambah frekuensi pulang kampungnya yang nyaris seminggu
sekali di akhir minggu, jelaslah sampai kapan pun dia gak akan pernah bisa
hadir, lha acara kita ini buatnya di akhir minggu.
Instruksi saya hanya untuk teman teman saat itu, jangan
lagi percaya sama si Dicky. Dalam hati, saya semakin tidak menyukai orang ini. Saya
benci, benci...!!!
Hingga tibalah di suatu malam yang cerah, ketika itu
bintang sudah saya hitung sampai angka dua puluh dua ribu tiga ratus *apa sih*
dan bulan sedang nongkrong dengan indah di atas kegelapan yang merdu. Kejutan yang
tidak disangka sangka dari Dicky untuk saya datang menghampiri. Dicky dan
seorang teman penyair yang juga baru saya kenal menyambangi gubuk deritaku. Saking
menderitanya sampai gubuk itu tidak punya tempat duduk selain bekas spanduk
caleg yang dicopot dari jalanan dan dijadikan tempat lesehan. Silahturahmi Dicky
mengurai kebencian saya selama ini jadi takdir untuk saya harus mengenal
seorang Dicky menjadi lebih baik. Dalam hati, saya menarik kembali semua sumpah
serapah yang pernah dilontarkan untuk anak ini *emangpernahya?* :D
Akhirnya, saya dan dicky menjadi satu geng, sahabat
yang seia sekata dalam aktivitas sastra di Kota Kupang. Sampai akhirnya,
kejutan baru dari Dicky datang lagi. Buku kumpulan cerpennya siap terbit,
menghampiri dunia sastra NTT. Sialnya bagi saya, kumpulan cerpen yang akan dia
terbitkan secara indie ini akan dilakukan saat saya sudah berhenti kerja dan saya
membutuhkan dana yang besar untuk sebuah perjalanan jauh menyusuri garis
khatulistiwa untuk berpromosi tentang keadilan dan perdamaian di dunia, juga
tentang adaptasi perubahan iklim dan manajemen resiko bencana. Padahal, untuk buku
ini hanya bisa terbit jika ada preorder oleh orang-orang yang tertarik membeli
sekaligus hasilnya akan disumbangkan ke perpustakaan perpustakaan dan rumah
baca yang ada di NTT. Intinya, Buku ini akan diterbitkan dengan sistem crowd
funded.
Pada akhirnya, saya hanya bisa mendukung teman saya
yang baik hati, rajin sembahyang karena masih jomlo, tidak pernah tidur lewat
dari jam 10 malam, suka menolong, rendah hati, tidak sombong, dan suka menabung
untuk membayar belis ini dalam doa. Dicky telah memulai hal hal positif untuk
perkembangan sastra di bumi Flobamora yang penuh dengan padang sabana kesusastraan
namun selalu terlihat gersang dan dahaga. Kanuku leon tentunya akan memberi
inspirasi dan mendorong semua penulis muda di tanah ini untuk terus berkarya. Semoga
buku ini akan menghijaukan bumi flobamora lebih luasnya Indonesia dengan
semangat mudanya.
Saya pasti akan membeli kanuku leon, mungkin bukan
sekarang tapi yang jelasnya bukan bulan depan apalagi tahun depan. Rasa penasaran
saya dengan cerpen-cerpen yang saya baca
di sini membuat saya harus membeli bukunya
begitu terbit.
Dicky, jangan Menghapus Ilona sekalipun itu adalah Suatu
Malam yang Penuh Hujan dan Aku Gila karena Ada Kisah Tentang Lukisan
Ikan di Fetonai yang memberi inspirasi Kanuku Leon untuk memberi Namaku
Neontuaf dan Soleman, lihatlah Dicky, Sakura dari Fujikawaguchiko
tak pernah mengenal Suanggi’ yang harus Sifon ketika Menikahi Anjing . Kabut
Kota Ini telah membuatku Tersesat di Netmetan sambil mengenang Gugur
Sepe Usapi Sonbai oleh Dua
Aktor Mamatua yang menyanyikan Klang-klang dibawah Pohon Kersen dan Batman.
Oh ya, Dicky, sorry ya, jika kamu pernah begitu menjengkelkan di hati saya... hahahaha... lagian, saya butuh dua botol sopi untuk curhat tentang kamu di tulisan ini. Sorry ya....
Share