Ijinkan Hati Bicara...: Mendikbud dan UU Perlindungan Anak* google-site-verification: google642dcb3a3836b309.html

7 Nov 2016

Mendikbud dan UU Perlindungan Anak*

Opini ini dimuat di Pos Kupang, 14 Oktober 2016

(Tulisan berikut adalah opini pribadi saya dan tidak mewakili lembaga mana pun)

Saya terkejut ketika muncul berita di beberapa media tentang wacana dari Mendikbud Muhadjir Effendy untuk memberlakukan sistem belajar satu hari penuh di sekolah (full day school/FDS) dengan alasan agar para siswa bisa mendapatkan lebih banyak pendidikan karakter dan etika. Alasan kedua, agar anak bisa dijemput oleh orang tuanya yang baru pulang kerja setelah jam 5 sore. Menurut saya, ini alasan yang sangat tidak logis sebagai orang Indonesia, juga kebijakan ini sangat tidak berpihak pada anak.

Hakikatnya, sebuah kebijakan dibuat dengan mempertimbangkan kebijakan lainnya atau untuk mendukung kebijakan lainnya, bukan sebaliknya. Gagasan FDS berpeluang akan bertentangan dengan upaya-upaya perlindungan anak yang sudah disuarakan dalam UU No 23 tahun 2002 dan 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU No 23 thn 2002 tentang perlindungan Anak (selanjutnya disebut UU Perlindungan Anak/PA). Di mana dalam UU ini, aspek-aspek perkembangan anak telah diperhatikan dengan sangat baik oleh pemerintah.

Mari kita lihat definisi anak; pasal 1 ayat 1 UU Perlindungan anak mengatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak dalam kandungan. Ini berarti murid SD – SMU masuk dalam kategori anak. Jika sampai gagasan FDS penuh menjadi kebijakan, tentu akan sangat bertentangan dengan UU PA dan Mendikbud patut disangkakan melanggar UU PA karena telah merampas sebagian hak anak sebagaimana yang tertuang dalam pasal 11 yang menegaskan bahwa anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.

Berikutnya, Pak Mentri kita yang baru ini lupa bahwa Indonesia bukan hanya di Jawa. Indonesia tidak hanya kota beserta fasilitas pendidikan nan mapan. Indonesia disusun oleh gugus pulau dan desa terpencil yang sangat sulit baik infrastruktur maupun informasi. Jika pun kebijakan ini berlaku dan hanya terjadi di kota, maka sekolah-sekolah kota akan semakin maju karena infrastruktur dan sarana pendukung FDS diperhatikan, sementara mereka yang di desa akan tetap menjadi penonton bagaimana sekolah di kota mempertontonkan segala kelebihan mereka. Ini sangat diskriminatif dan menyakitkan.

Pak Mentri juga lupa, bahwa perkembangan mental anak bukan diukur dari berapa lama waktu dia di sekolah dan menerima setiap pelajaran tentang pembentukan karakter dan etika, tapi lingkungan tempat anak bermain yang supportif terhadap perkembangan anak memiliki dampak yang lebih besar daripada seharian dalam kelas. Sehari penuh di lingkungan sekolah tidak menjamin bahwa seseorang akan lebih beretika dibanding jika di luar, karena belum tentu lingkungan sekolah itu sendiri supportif terhadap perkembangan anak.

Kembali ke pasal 11, dalam hal bermain, anak-anak harus diberi kebebasan untuk memilih permainan apa yang dia sukai. Menghabiskan waktu di sekolah jelas hanya akan menjebak mereka terpaku pada permainan yang itu-itu saja, yang bisa jadi cara bermainnya juga akan diatur dalam kurikulum yang monoton dan tidak berpihak pada kepentingan terbaik anak. Ini seperti memberi tali kekang pada leher mereka karena tidak diberi ruang untuk berkreasi sesuai dengan minat dan bakat. Jika terjadi terus-menerus, maka sekolah tidak ada bedanya lagi dengan Lembaga Pemasyarakan Anak.

Alasan berikutnya dari upaya melegalkan FDS adalah menyesuaikan dengan waktu kerja orangtua. Sekali lagi Pak Mentri ini lupa diri bahwa dia sedang tinggal di Indonesia. Saya curiga alasan ini hanya muncul ketika argumentasi lain belum dipikirkan dan kebetulan argumen inilah yang muncul tanpa dipikirkan. Karena argumen tanpa dipikirkan, maka ini seolah keluar dari isi kepala seseorang yang bukan guru besar. Kita tahu, seorang guru besar tentunya akan berbicara berdasarkan sebuah kajian mendalam terhadap suatu masalah bahkan melewati serangkaian riset yang hanya orang-orang berjenis akademisi saja yang tahu. Pernyataan ini adalah bukti bahwa Pak Mentri ini kurang riset, juga kurang piknik. Alasan saya sederhana. Pertama, belum semua daerah di Indonesia memberlakukan jam kerja sampai pukul 5 sore. Kabupaten TTU - NTT misalnya, jam kerja di instansi pemerintah hanya sampai pukul 2 siang dan tetap masuk kerja pada hari sabtu. Kedua, kalaupun di tempat lain yang sudah berlaku jam kerja hingga pukul 5, tapi tidak semua orang tua murid bahkan yang di kota terikat dengan waktu kerja sampai jam 5 sore. Ketiga, setengah bagian lebih jumlah siswa SD-SMA bersekolah di desa-desa, yang  orang tuanya adalah petani atau peternak yang menyediakan waktu lebih setelah waktu pulang sekolah untuk mengajari anak-anaknya bagaimana cara bertani dan beternak sesuai dengan pengalaman mereka. Anak-anak petani inilah yang sudah tahu menanam padi lebih hebat dari gurunya yang hanya membaca bagaimana menanam padi. Mereka sudah mengenal bentuk sapi dan setiap hari berhadapan dengan sapi jauh sebelum kaki mereka menyentuh halaman sekolah lalu diperkenalkan dengan gambar sapi. Mereka sudah melihat langsung usus sapi terburai jauh sebelum mereka ke sekolah dan ditunjukan anatomi sapi. Mereka adalah anak petani yang tidak hanya belajar dari buku tapi juga belajar langsung pada kehidupan itu sendiri. Akhlak mereka yang teruji oleh alam jauh lebih mulia daripada harus terpenjara dalam lingkungan sekolah sehari penuh dan menghasilkan kebosanan. Keempat, tidak semua orang tua mampu memberi uang jajan untuk anak-anak mereka yang berangkat ke sekolah setiap hari. Siapa yang akan memberi jaminan bahwa anak-anak ini tidak akan kelaparan selama seharian di sekolah?

Hak anak berikutnya adalah hak untuk beristirahat. Tapi istirahat dalam UU PA berarti berhenti sejenak dari aktifitas yang membebani psikis dan fisik seorang anak. Sejalan dengan ini, bahkan jauh sebelum UU PA digulir, sudah wajib hukumnya bagi kebanyakan orang tua untuk memberi anak mereka waktu untuk tidur siang. Dari sisi kesehatan, ini adalah cara untuk mereset sistem dalam tubuh agar kembali lebih segar. Hal ini sudah dibuktikan oleh banyak riset bahwa anak yang terbiasa tidur siang lebih cerdas dan lebih kreatif dari anak yang jarang atau tidak pernah tidur siang. Sebaliknya, bila otak anak dibebani oleh seharian penuh aktifitas yang menguras pikiran tanpa istirahat, maka efeknya adalah anak menjadi stress. Anak yang stress akan mudah melakukan hal-hal diluar kendali untuk melampiaskan semua hal yang membebani pikirannya, yang oleh orang dewasa diberi nama kenakalan atau kejahatan. Jika ini sampai terjadi, bukan tidak mungkin sekolah akan dikambinghitamkan karena telah gagal mengajarkan etika kepada anak.

Selanjutnya, para ahli kita dahulu sudah memikirkan banyak hal sebelum memutuskan jam belajar di sekolah hanya tujuh jam. Salah satu pertimbangan adalah bahwa anak tidak hanya dididik dalam sekolah tapi juga dalam lingkungan keluarga sebagai unsur terkecil dari masyarakat. Hubungan yang lebih dekat dan intens antara anak dan orang tua adalah hal paling utama dalam perkembangan anak. Anak yang menghabiskan waktu lebih banyak bersama orang tua atau keluarga akan lebih baik perkembangan psikologisnya dibandingkan dengan anak yang tidak tinggal bersama orang tua atau keluarga terdekat. Jika sekolah sehari penuh diterapkan, maka justru akan memotong waktu interaksi anak dan keluarga yang tentu akan berakibat fatal terhadap perkembangan psikologis anak.

Saya sampai pada kesimpulan, bahwa sebaiknya ide pak mentri ini cukup sudah sebatas ide. Jangan sampai ini menjadi sebuah kebijakan yang malah akan menjadi boomerang bagi anak-anak. Kebijakan ini juga tidak perlu dicoba di sekolah mana pun. Dan kalaupun sudah ada sekolah yang telah menerapkan FDS ini, sebaiknya dihentikan.





Share

Tidak ada komentar:

Posting Komentar