Sebenarnya tulisan ini sudah sejak tgl 2 Januari kemarin, tp karena jaringan internet di Kota Kupang lagi trouble jadi baru bisa diposting sekarang.
Manusia diciptakan bukan untuk menikmati hidup dengan begitu saja, tetapi setiap hari dia ditempa untuk menjadi lebih matang dan berguna baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Ketika seseorang melewati sebuah proses menuju pada kematangan hidup, tidak sedikit dia harus berhadapan dengan rintangan yang kadang menyurutkan semangat untuk terus ada menjalani setiap waktu hidup yang diberikan oleh Sang Kuasa. Tidak sedikit manusia yang akhirnya menyerah pada keadaan tersebut namun tidak sedikit juga yang terus mencoba untuk tetap eksis dengan berjalan menempuh dan melewati setiap rintangan yang ada sebagai sebuah keharusan dari hidup. Orang-orang yang putus asa dan menyerah pada akhirnya memilih jalan singkat mengakhiri hidup daripada terus berada pada hidup yang disebutnya penderitaan. Sedangkan yang kuat akan semakin memantapkan posisinya dan berusaha lagi untuk menanjak pada level berikutnya. Ibarat sebuah game, siapa yang pintar mengatur strategi dia akan tetap bertahan dan akan naik pada level berikutnya, siapa yang ceroboh akan harus siap menghadapi “GAME OVER”. Siapa menabur dialah yang akan menuai.
Sudah banyak perjalanan saya tempuh. Saya pernah berada pada dunia yang memanjakan saya dan membuat saya tak ingin keluar dari dunia itu, tetapi saya dihujat untuk segera lepas darinya dan segera mencari dunia baru agar saya bisa tau sebesar apa dunia ini. Dengan alasan bahwa saya sudah cukup dituntun maka saya harus dilepas agar bisa melangkah sendiri.
Pada saat melangkah pada dunia baru inilah saya mulai berhadapan dengan yang nama kerasnya hidup. Ketika Pemda NTT mengeluarkan Perda No. 2 Tahun 1996 tentang tata niaga kayu cendana, maka mulailah saya dengan profesi pertama sebagai seorang “pencuri” kayu cendana. Sasaran saya bukan hutan cendana, saya juga tak perlu berjalan jauh hingga ke pelosok hanya untuk mencari sekilo kayu cendana. Saya cukup mangkal di depan kantornya pak polisi dan menunggu truk yang mengangkut cendana datang, lalu ketika mereka sibuk dengan segala tetek bengek surat ijin dan segala macam birokrasi di pos polisi saya, beraksi di atas truk tersebut. Terkadang saya cukup nekad menunggu sampai dini hari ketika pak polisi sudah terbuai mimpi lalu dengan santainya kayu cendana di gudang polsek saya ambil satu persatu seolah-olah itu milik saya sendiri. Saya tak perlu jauh-jauh juga untuk memasarkan hasil “kerja keras” saya, karena tidak jauh dari polsek tersebut tinggal seorang penadah yang siap dua puluh empat jam nonstop untuk menerima hasil usaha saya.
Meski yang saya lakukan ini tergolong pencurian tapi saya tak mau menyebut itu sebagai pencurian. Saya tetap beranggapan bahwa saya hanya ingin mengambil hak saya dan masyarakat lain yang dirampas oleh perda tersebut di atas. Terkadang ada rasa takut ketika saya melakukan itu, tapi rasa takut itu justru menjadi tantangan tersendiri bagi saya.
Ketika kayu cendana di hutan sudah habis terkuras oleh keserakahan penguasa dan pencuri kelas kakap, saya terpaksa harus beralih profesi dari seorang pencuri kelas teri menjadi seorang penjudi amatir yang melanglang buana dari satu pasar tradisional ke pasar tradisional lainnya. Di sini saya mulai tau sebesar apa dunia. Di sini saya bertemu dengan orang-orang yang tak pernah saya bayangkan. Di sini juga mental saya ditempa untuk menjadi semakin kuat, agar bisa bertahan dalam kondisi dan posisi apapun dan berusaha untuk tidak boleh lari dari keadaan itu, sekalipun saat itu setiap belati yang ditujukan pada saya siap mengantar saya pada maut. Menjadi yang ditakuti adalah tujuan kelompok saya, walaupun orang-orang yang takut itu belum tentu mau menghormati seorang berandal. Saya menikmati setiap taruhan di arena judi yang digelar. Jika menang, sudah pasti ada pesta. Jika kalah, saya tak pernah takut untuk mengambil kembali sebagian modal saya pada orang yang menang.
Tapi ternyata profesi saya yang baru ini tidak bertahan lama. Modal saya sebagai bandar habis ketika saya tergiur untuk memasang taruhan dibandar judi yang lain. Alhasil saya harus melepas atribut saya sebagai penjudi dan mencoba profesi baru yang lebih halal dan penuh kerja keras sebagai seorang kondektur truk, bis, angkot, tukang ojek. Apapun saya lakukan waktu itu hanya agar supaya saya tak menerima sumpah serapah ibu saya ketika saya minta uang untuk beli rokok.
Saya menikmati, mencintai semua pekerjaan saya dengan tulus dan penuh tanggung jawab. Apapun itu. Jika saat ini saya masih bisa menikmati pekerjaan saya, saya yakin kejujuranlah yang telah mengantar saya hingga terus bertahan sampai sejauh ini, berjalan sampai sejauh ini. Satu hal yang tak akan pernah saya lakukan dan saya yakin saya tak akan pernah mencobanya yaitu menjadi seorang yang bekerja di bidang pemerintahan alias PNS. Saya benci pekerjaan ini, walaupun saya tak pernah membenci orang-orang yang bekerja di dalamnya. Saya benci dengan birokrasi yang berbelit-belit, aturan-aturan yang diciptakan, yang tak pernah memihak yang lemah malah semuanya menyengsarakan rakyat dan semakin membuncitkan perut orang-orang yang membuat aturan tersebut. Dan saya tak ingin dituding oleh rakyat sebagai salah satu dari pembuat aturan itu.
Memasuki tahun ini, dengan bercermin pada tahun-tahun sebelumnya, tidak sedikit yang memberi saya pelajaran tentang arti dari hidup yang sesungguhnya, memberi saya pengalaman-pengalaman berarti yang ingin saya sebut itu sebagai proses menuju pada hati yang lebih bijaksana. Dalam proses melewati setiap tantangan yang selalu saya hadapi ketika akan melangkah pada level berikutnya saya harus berhadapan dengan sekian banyak godaan untuk menyerah, tapi kata menyerah yang ada di kamus saya telah dirubah artinya oleh pribadi saya dan bukan lagi berarti bertekuk lutut, tetapi telah berubah arti menjadi lebih pasti melangkah bila perlu berlari untuk menggapai yang lebih baik dari kemarin dan hari ini.
Saya bersyukur karena saya masih diberi kepercayaan oleh-Nya untuk melihat matahari pagi ditahun ini, mendengar kicau burung, dan bernafas tanpa beban. Saya bersyukur ketika bisa memasuki tahun ini tanpa alkohol seperti tahun-tahun sebelumnya. Saya bersyukur sampai saat ini masih ada sahabat, saudara, dan orang tua yang selalu memperhatikan dan masih mendoakan saya. Saya bersyukur bisa mengenal orang-orang yang mau berbagi rasa dengan saya, entah suka, entah itu duka. Orang-orang yang terus mendorong saya untuk terus maju tanpa rasa ragu dan takut. Orang-prang yang ingin merubah hidup saya menjadi lebih baik. Saya tak akan pernah melupakan orang-orang ini sampai kapanpun. Sampai kapanpun. Seribu terima kasih tak seharga dengan apa yang sudah mereka lakukan untuk saya, dan itu membuat nama mereka tak akan pernah luput dari doa-doa saya sebagai ganti terima kasih yang tak mampu saya ucapkan itu. Dan saya masih bersyukur atas tahun sebelumnya yang penuh dengan pelajaran bermakna bagi saya dalam melangkah dengan lebih baik tahun ini. Saya tak pernah mempunyai resolusi khusus disetiap tahun baru, termasuk tahun ini. Dan saya juga tak ingin menggantung gambar khayalan saya setinggi bintang. Tapi saya hanya terus berdoa dan berharap agar suatu saat saya bisa memiliki hidup yang lebih baik dan jiwa yang kian bijaksana. Bukankah segala sesuatu akan indah pada waktunya?
Jangan tidur jika kamu bisa duduk, jangan duduk jika kamu bisa berdiri, jangan berdiri jika kamu bisa berjalan, jangan berjalan jika kamu bisa berlari dan jangan hanya berlari jika kamu bisa terbang.
My best thanks to : DW, yg su bawa beta datang di ini dunia. Enter yg sonde perna bosan maen gila dgn beta. Yappy yg hamper jadi kompor gas. Tasya yg hanya senyum kalo beta dikerjain (moga langgeng dgn yappy). Unu yg tamba kamomos. Aro yg tamba antik. Bos Donal ‘n Ibu Sisca, thanks 4 ur belief. Heri, Ingat pesan tu... Alle, lu pung maitua yg mana??? Oom Elcid, makasih utk supportnya Oom. Noven, su di mana ni bu??? All Crew SC GMKI, CIS Timor n all fren yg beta sonde bisa sebut satu-satu..... semoga botong masih bisa batahan sampe taon depan.